Apabila membaca dan menulis itu sebagai hobi, dampaknya kedua kegiatan ini dianggap tidak penting dan tidak dibutuhkan, karena memiliki alternative. Artinya membaca dan menulis itu hanya akan dilakukan apabila suka atau hobi membaca. Bila tidak hobi, maka tidak perlu membaca dan menulis.Â
Jadi kalau banyak orang yang mengatakan bahwa membaca dan menulis itu hobi, mereka adalah orang-orang yang belum mengetahui hakikat membaca dan menulis.Â
DR. Rajib Al-Sirjany dalam bukunya Al Qira'ah manhajul hayah, beliau mengungkapkan dapatkah sebuah kegiatan membaca menjadi sebuah hobi. Dengan argumennya yang ringkas ia menjelaskan esensi membaca serta mengupas urgensi membaca dalam Islam dengan menyelipkan sedikit keadaan umat Islam belakangan ini.
Apa yang terjadi ketika membaca tersebut dikatakan atau dikategorikan sebagai aktivitas yang terkait dengan hobi? Agaknya dampak dari mindset masyarakat terhadap aktivitas membaca yang keliru, telah membawa dampak buruk yang sangat besar terhadap generasi bangsa ini. Akibat dari kekeliruan tersebut, minat membaca, kemampuan atau daya membaca masyarakat kita sangat rendah dan memprihatinkan kita.Â
Sudah sangat banyak fakta yang bisa kita jadikan bukti dari akibat sikap kita yang menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai hobi. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini bangsa kita memiliki masalah dengan minat dan budaya membaca.Â
Seperti yang pernah dirilis oleh banyak media tentang data hasil studi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyatakan bahwa persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0.01 persen atau 1 berbanding 10.000. Data yang mencengangkan bukan? Memang mencengangkan dan bukan hanya itu, KOMPAS.com -- edisi 26 Maret 2018 merilis pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada Senin (23/03/18).Â
Puan menyebutkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 bahwa "Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Sungguh memalukan.Â
Lebih memalukan lagi ketika membaca hasil studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Begitu rendahnya peradaban kita dalam hal membaca. Kita tidak memiliki budaya membaca sehebat bangsa-bangsa maju di dunia, bukan?
Memang memalukan. Oleh sebab itu, selayaknya masyarakat Indonesia, sebagai pengguna Bahasa Indonesia dengan jumlah pengguna Bahasa lebih dari 260 juta jiwa harus meluruskan kembali pemahaman mengenai posisi membaca dalam kehidupan kita. Harus ada inisiatif murni untuk mengembalikan makna Bahasa Indonesia bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak memanfaatkan masyarakat kembali dalam konflik.Â
Kalau mau hidup lebih baik, upaya peningkatan kapasitas harus dengan sigap ditangani. Rajin atau giat membaca dan menulis adalah sebuah tindakan yang cukup jelas. Sekali lagi, membaca dan menulis itu bukan pilihan atau kekuatan yang membuat pelajar mendatangi  dan melewati beberapa badan jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H