Oleh Tabrani Yunis
Kata banyak orang, anak zaman sekarang yang disebut dengan generasi Y, generasi milenial dan bahkan generasi X adalah generasi hebat, karena mereka lahir di era keemasan kemajuan tekonologi informasi dan komunikasi yang canggih. Tersedianya fasilitas internet yang semakin kencang dan murah serta semakin canggih dan bervariasinya gawai yang ada di tangan generasi ini membuat mereka semakin mudah berselancar di dunia maya.Â
Kemampuan selancar ini, menjadi indicator pembeda antara generasi Y, Milenial dan generasi Z dengan generasi X yang dikatakan banyak mengalami gagap teknologi. Tentu saja, kalau kita bandingkan dengan generasi X yang juga kita sebut generasi zaman old dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih, memang generasi X tidak bisa berkutik.Â
Namun, dalam hal membaca, bahkan menulis, generasi milenial, Y dan Z, masih memprihatinkan. Â Budaya membaca di generasi ini malah rusak dan menjadi lebih buruk. Mengapa demikian?
Idealnya, semakin canggih dan mudahnya akses informasi, pengetahuan dan segalanya lewat teknologi informasi dan komunikasi tersebut, semakin tinggi budaya baca dan day abaca generasi ini.Â
Dikatakan demikian, karena sesungguhnya teknologi internet, gawai dan sejenisnya yang semakin canggih itu, memudahkan semua orang untuk meningkatkan minat baca, daya baca dan budaya baca.Â
Namun, faktanya, generasi sekarang malah memiliki minat baca yang rendah, memiliki daya baca yang rendah  dan bahkan budaya baca yang semakin rendah, terutama di kalangan mahasiswa yang sedang belajar di perguruan tinggi. Aneh bukan?
Mungkin saja hal itu aneh dan tidak mungkin. Kita pasti akan bertanya, bagaimana mungkin para mahasiswa kurang minat baca? Bagaimana mungkin mahasiswa memiliki kemampuan membaca yang rendah dan bagaimana mungkin sebagai mahasiswa berbudaya baca yang rendah? Begitulah mungkin rasa ketidakpercayaan kita, bila kita mengklaim bahwa mahasiswa zaman now, mahasiswa generasi Y, Milenial dan generasi Z berbudaya membaca yang rendah. Para pembaca boleh saja tidak percaya. Namun penulis sudah menemukan fakta tersebut.
Penulis sudah mengumpulkan fakta tersebut yang penulis tanyakan kepada lebih kurang 460 mahasiswa sebuah PT yang jawabannya mengejutkan. Sudah lima semester belajar di perguruang tinggi, hampir tidak ada mahasiswa yang menyelesaikan atau menghabiskan membaca satu buku. Kalau pun mereka membaca buku, hanya mencari bagian-bagian yang mungkin akan keluar soal dari dosen.Â
Ketika kita bertanya kepada mereka apakah dalam sehari ini anda ada membaca? Jawaban singkat adalah mereka menggeleng. Ya, artinya tidak ada. Lalu, pertanyaan lanjutan, kalau tidak membaca buku, tidak membaca surat kabar atau majalah, apa yang ada anda baca dalam seharian? Mereka menjawab membaca WA atau media social lainnya.
Nah, dapat dibayangkan seberapa besar daya membaca mereka kalau hanya membaca pesan-pesan di whatsapp dan media social? Tentu hasilnya akan jauh berbeda dengan membaca buku secara tuntas. Bila mahasiwa membaca buku tuntas, maka pemahaman dan kemampuan analisisnya pun akan sangat bagus.Â
Namun, ketika mereka hanya membaca pesan whatsapps secara parsial, wajar saja mereka mudah tersengat dengan berita-berita bohong atau hoax yang selama ini banyak menjamur.Â
Bukan hanya itu, sebelum pesan itu tuntas dibaca, mereka bisa langsung menyebarkan berita tersebut tanpa ada saringan karena membaca sempurna. Kalau begini kejadiannya, kehebatan apa yang kita harapkan dari para mahasiswa generasi milenial, Y atau Z? Â Kondisi seperti ini membuat kita galau melihat masa depan generasi ini yang akan berhadapan dengan persoalan literasi.
Kiranya, tak dapat dipungkiri pula bahwa selama ini, bahwa hingga saat ini, kemampuan literasi anak negeri ini sebenar  masih bermasalah. Minat membaca yang selayaknya harus terus meningkat dan meningkatkan kemampuan membaca, menganalisis serta memberikan solusi terhadap persoalan bangsa, secara nyata kini masih sangat rendah.Â
Wajar saja, kalau selama ini hasil-hasil ujian, hasil karya mahasiswa, terutama dalam hal menulis, banyak mahasiswa yang tidak mampu menulis skripsi yang menjadi kewajiban mahasiswa yang akan meraih gelar sarjana. Di level di bawahnya SD hingga SMA, menunjukan fenomena yang memprihatinkan ketika musim ujian tiba, semisal Ujian Nasional dan bahkan di Perguruang tinggi ketika ujian masuk perguruan tinggi yang masih diwarnai budaya nyontek, sebagai akibat dari kurang membaca tersebut. Berbagai kecurangan itu ada;ah bukti nyata rendahnya minat, daya dan budaya baca peserta didik kita di semua level pendidikan tersebut.
Melihat fakta seperti ini, semua tingkat lembaga pendidikan, mulai dari SD hingga ke Perguruan Tinggi, wajib membangun minat baca, meningkatkan kemampuan membaca serta membudayakan membaca sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa ini.Â
Semua lembaga pendidikan di negeri ini harus meletakkan prioritas pada upaya membangun kemampuan literasi anak bangsa, termasuk mahasiswa di perguruan tinggi yang masih malas membaca tersebut.Â
Tentu saja, pemerintah tidak boleh lalai dengan kondisi ini, apalagi terlena karena perasaan hebatnya kemampuan generasi milenial, Y dan Z dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini semua orang memiliki gawai di tangan. Karena kepemilikan gawai canggih di tangan hanya tipuan yang merupakan kemampuan semu.Â
Kemampuan yang hanya bertumpu pada media komunikasi canggih, tetapi memiliki kemampuan literasi yang rendah. Ini akan sangat membahayakan generasi mendatang. Tidak percaya? Kita akan saksikan nanti. Berbenahlah sejak dini.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H