Oleh Tabrani Yunis
Kasus-kasus kejahatan seksual secara umum terus terjadi di tengah masyarakat kita. Kejahatan seksual tidak hanya menyasar kaum perempuan yang gadis dan dewasa, tetapi juga banyak membawa korban terhadap anak-anak perempuan bahwah umur. Celakanya lagi, dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut pelakunya juga anak-anak yang menjadi teman atau pun bukan.Â
Lebih celaka lagi, ketika kasus-kasus kejahatan seksual itu terjadi dan menjadi berita media, kasus-kasus ini kalah penting disbanding kasus Setya Novanto. Kalah penting dengan berita-berita politik lainnya. Karena kalah penting, maka ketika muncul berita tentang kasus kekersan seksual terhadap anak, berita-berita tersebut berlalu begitu saja. Kalau ada berita lagi, kalau ada terjadi kasus serupa.Â
Yang jelas menjadi berita yang hilang timbul. Sayangnya kasus kekerasan atau kejatahan seksual terhadap anak terus terjadi. Walau ada yang berkata ada penuruan angka kasus kejahatan itu, namun dilihat dari sudha pelakukanya anak-anak, maka kasus ini sebenarnya sangat berbahaya dan akan sangat membahayakan masa depan anak-anak di masa depan, baik anak-anak perempuan, maupun anak-anak laki-laki yang menjadi korban atau penyintas.
Masih segar dalam ingatan kitam terutama masyarakata Aceh. Ada dua berita kejahatan seksual yang terjdi di Serambi Makkah pada bulan April 2017 yang lalu.  Tampaknya  kedua kasus ini juga tidak menjadi berita yang mengejutkan lagi dan tidak menjadi perbicangan hangat di kalangan masyarakat kita. Bahkan tidak menjadi ulasan editorial media local.Â
Ditilik dari umurnya, mereka rata-rata masih SMP dan SMA. Namun, tindakannya sudah luar biasa, melakukan aksi bisnis seks, bisnis prostitusi anak di bawah umur. Aduh, sangat mengerikan. Lalu mengapa para orang tua yang katanya mendukung pelaksanaan syariat Islam, membiarkan kasus itu tenggelam dan tanpa reaksi? Ya, kasus itu kini sudah tidak terdengar lagi. Mangepa tiba-tiba hilang begitu saja?
Padahal, Kapolres  Aceh Tamiang juga sudah membeberkan peran dari masing-masing remaja putri tersebut. Serambi menyamarkan nama mereka. Sebut saja Bunga (14), berperan sebagai pelayan seks, Mawar (16) dan Asoka (17) berperan memperkenalkan Bunga kepada pemuda Af, Kamboja (14) berperan sebagai pemberi nomor hp Bunga kepada Af, Tulip (16) berperan sebagai "penjual" Bunga, dan Anggrek (16) berperan sebagai pengantar Bunga ke user.Â
Semua mereka warga Aceh Tamiang. Selain enam siswi tersebut, polisi juga menciduk pemuda berinisial Af (22), warga Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Ia diyakini polisi sebagai user (pemakai) salah satu siswi tersebut. Keduanya dipergoki warga sedang "bercinta" di sebuah rumah dalam Kompleks BTN Desa Kebun Tanah Terban, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang. Mungkinkah ini sudah menjadi hal yang biasa, sehingga tidak lagi menjadi perhatian bersama? Sungguh sangat memprihatinkan.
Peristiwa kedua yang tidak kalah menyedihkan  seperti diberitakan oleh acehTrend adalah  kasus Suci (6) Bocah asal Kecamatan Sawang, Aceh Utara, tewas pada Jumat (28/4/2017) setelah diperkosa oleh M bin Z (13) (awalnya ditulis 18 tahun-red) yang merupakan warga sekampung dengan korban. Setelah membunuh korban, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sempat menunaikan shalat Jumat dan ikut mengevakuasi jenazah Suci.Â
Informasi yang berhasil dihimpun aceHTrend, Suci ditemukan sudah tidak bernyawa oleh warga di dalam hutan kecil, tidak jauh dari Sekolah Dasar Negeri 25 Sawang. Kapolres Lhokseumawe Hendri Budian melalui Kapolsek Sawang Iptu Ridwan ketika dihubungi oleh aceHTrend mengatakan, setelah pihaknya menerima informasi dari kepala Desa setempat langsung melakukan koordinasi dengan anggota Unit V Resmob Sat Reskrim Polres Lhokseumawe pada pukul. 13.00 WIB. Nah, berita ini  yang pelakunya juga anak-anak inipun sudah dilupakan oleh masyarakat kita.Â
Ya, kita memang cepat sekali lupa. Padahal, kala membaca berita itu, mulut kita berdecak-decak merasa bahwa kasus ini sudah keterlaluan. Namun, kita tidak tahu seperti apa penyelesaian kasus ini. Entahlah.
Agaknya, kasus-kasus kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak, akan terus menjadi ancaman serius bagi anak. Apalagi kondisi masyarakat kita yang semakin individualistis, apatis dan permisif serta mudah lupa. Maka, tidak dapat dipungkiri kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, karena tidak ditangani dengan tuntas, akan terus berulang dan terjadi.Â
Sekali lagi, kita hanya berdecak-decak kala membaca kasus-kasus yang menjadi berita. Â Bahkan baru-baru ini kasus pelcehan seksual terhada anak di bawah umur yang terjadi di Tangse, Pidie yang pelakunya orang dekat korban yang sudah berumur 60 tahun, juga sudah hilang dari pembicaraan dan pemberitaan.
Pada bulan yang sama, di BERITAKINI.CO, Â memberitkan pula bahwa aparat Kepolisian Sektor Delima, Pidie berhasil meringkus SF (30) warga Gampong Ulee Tutue Raya ,Kecamatan Delima, Pidie, Selasa (4/7/2017). Pelaku sodomi terhadap 11 bocah, itu ditangkap di sebuah warung kopi di Gampong Mesjid Aree, Delima, dini hari. Kapolsek Delima Iptu Asnawi kepada BERITAKINI.CO mengatakan, kasus ini terungkap dari laporan orang tua korban.Â
SF dilaporkan RH, salah satu orang tua korban yang juga warga Gampong Sukon Lhong, Delima, Pidie. "RH melaporkan bahwa pelaku menyodomi anaknya yang masih di bawah umur," kata Asnawi. Dari laporan tersebut, tambah Asnawi, pihaknnya melakukan penyelidikan dan memeriksa beberapa saksi dan korban. Dari sana didapat ciri--ciri pelaku yang mengalami kelainan seksual tersebut. Setelah semua keterangan terkumpul, pihaknya melakukan pengejaran.
Begitu banyak sudah kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur yang pelakunya adalah orang-orang dekat korban termasuk anak-anak di bawah umur pula. Fakta ini baru-baru ini diungkapkan pula oleh Kepolisian Daerah (Polda) Aceh. Â Menurut data di Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, hingga September 2017 sudah menangani 389 kasus kejahatan seksual terhadap anak.Â
Jumlah itu masih dikategorikan tinggi, meski sedikit berkurang dibanding tahun 2016 yang mencapai 508 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, 30 persen pelakunya merupakan orang terdekat korban, seperti ayah, ibu, paman, dan sepupu. Sedangkan 60 persen merupakan kenalan atau teman lain yaitu pengasuh anak dan tetangga, dan sisanya adalah orang asing (tidak dikenal).
Jadi sangat memprihatinkan bukan? Jelas, ya jelas sangat memprihatinkan dan bahkan menjadi horror bagi anak-anak kita kini dan di masa mendatang. Kasus-kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi juga sangat banyak terjadi di daerah lain di Indonesia. Di Surabaya, Polrestabes Surabaya menangkap delapan anak laki-laki di bawah umur diduga sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap seorang anak perempuan 13 tahun warga Ngagel Kota Surabaya, Selasa (10/5).
"Para tersangka tersebut adalah tetangga korban sendiri," kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Imam Sumantri di Mapolrestabes Surabaya, Kamis. Para pelakunya yang berhasil diamankan aadalah MI (9), MY (12), JS (14), AD (14), BS (12), LR (14), AS (14), HM (14). Kombes Pol Sumantri mengatakan korban dicabuli oleh para tersangka sejak korban masih berusia 4 tahun. Saat itu, salah seorang tersangka, AS mencabuli korban terlebih dahulu. Merasa perbuatannya tidak diketahui orang lain, tersangka pun mengulangi perbuatannya berkali kali. Bahkan saat mengulangi perbuatannya, tersangka juga mengajak teman-temannya. ( Antara, 13 Mai 2016)
Di Solo, menurut data Yayasan Kakak, organisasi yang bekerja untuk perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa sejak 2013, sekitar 55 persen korban yang ia tangani adalah anak usia di bawah 15 tahun. Padahal, sebelumnya usia korban mayoritas korban adalah di atas 16 tahun atau usia SMA. "Kecenderungannya, korban kekerasan seksual didominasi anak-anak SMP. Pelakunya mayoritas pacar, teman dekat, atau orang dekat korban," kata Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati, kepada Rappler, Kamis, 12 Mei.
Kasus kekerasan seksualnya pun semakin beragam, bukan hanya pelecehan seksual dan pemerkosaan, tetapi juga bergeser ke perdagangan anak (trafficking) dan prostitusi online lewat Internet dan telepon seluler. Puluhan kasus perdagangan anak usia 14-17 tahun yang ditangani Yayasan Kakak lewat proses hukum rata-rata menggunakan modus yang sama, yaitu mempekerjakan anak ke luar daerah.
Betapa ancaman tindak kekerasan dan kehajatan seksual terhadap anak-anak, yang pelakunya sendiri juga anak-anak, semakin memprihatinkan dan menakutkan kita. Kasus-kasus ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi tanpa penanganan kasus secara tuntas. Sebab kasus ini akan terus berulang, ketika penanganan tidak tuntas dan tidak sampai ke tahap pemberlakukan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.
 Melihat banyaknya kasus kejahatan seksual yang terjadi terhadap anak-anak  selama ini, biasanya diikuti oleh pertanyaan mengapa kasus-kasus ini terus meningkat? Agaknya, sudah banyak orang tahu factor penyebabnya, baik internal, maupun eksternal.Namun, kendati sudah ditemukan banyak factor di dua ranah itu, sekali lagi akar masalahnya tidak pernah dicabut dan diselesaikan.Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi dan meningkatnya jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak dan pelakuknya anak-anak ini, karena factor dekadensi moral yang semakin diperburuk oleh kemajuan teknologi yang memperenggang nilai-nilai agama, social, budaya dan lainnya. Factor utama adalah factor dekadensi moral. Kita sekarang terus dibawa arus demoralisasi. Oleh sebab itu, semua harus berperan untuk menghentikan tindak kejahatan seksual terhadap anak. Waspadalah dan tegaslah terhadap para predator anak-anak tersebut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H