Oleh Tabrani Yunis
Malam itu, tanggal 18 Oktober 2017, merupakan malam penutupan acara "The 6th Action Asia Peace Builders' Forum yang diselenggarakan atas kerja sama AMAN Indonesia dengan Action Asia di hotel Le Meredien, Jalan Sudirman, Jakarta. Pada acara penutupan itu, aku diminta menyampaikan sepatah kata, untuk mengawali acara pembukaan itu. Dengan penuh percaya diri saja, aku maju ke pentas untuk menyampaikan sesuatu. Aku pun memulainya,
"Good evening all. Thank you so much for giving me an opportunity to talk for several minutes. I am really honored for the space given. It is still not late to say welcome, even at the end of our meeting or at the farewell party, ha ha. I believe that you enjoy Jakarta. Even you can not go out of the hotel. I like Jakarta. I love Jakarta, because it is the capital city of Indonesia. But, do you know that I do not like to come and stay in Jakarta. I hate the terrible traffic jam. The people in Jakarta are very patient and they are able to stay on the way or street for a long time. They are very patient driving the car even until hours on the street. I really appreciate and admire their patience"
Itulah sebagian ungkapan yang aku sampaikan kepada para peserta yang berasal sejumlah negera itu. Ya, ada  lebih dari 20 negara di Asia, Australia hingga Inggris dan Amerika itu.  Mereka pada tertawa. Apa lagi gayaku menyampaikannya dengan penuh canda. Ya,  walau sambil tertawa, aku ingin jujur saja mengatakan begitu, karena setiap kali mereka mau keluar dari hotel mencari pusat perbelanjaan, lalu ke luar ke gerbang hotel untuk naik Taxi atau memanggil UBER, lalu melihat kenderaan di jalan merangkak tak bergerak, mereka akhirnya lebih memilih tidak ke pusat perbelanjaan atau mall. Mereka banyak yang takut kelelahan duduk di kenderaan.Â
Beberapa teman dari The Philippines, langs berkata, oh no. It is really bad. It is better for us to go to city walk, ujar mereka. Nah, apa yang mereka rasakan, sebenarnya sama seperti apa yang aku rasakan. Bagiku, Jakarta itu menjadi harapan banyak orang, menjadi destinasi banyak orang dari daerah, seperti aku yang datang dari kota kecil di Banda Aceh. Dulu, ketika aku belum pernah ke Jakarta, atau baru sekali dua kali, atau tiga kali ke Jakarta, aku masih enjoy dengan Jakarta.Â
Walau kemacetan juga masih sulit diurai. Terbukti, pada tanggal 19 Oktober 2017, peserta acara kembali ke daerah dan Negara masing-masing. Aku dan beberapa teman, masing-masing dari India, Nepal, Sri Lanka dan aku dari Aceh naik angkutan yang sudah dipesan online oleh panitia. Tak dapat dielakkan, ketia keluar dari gerbang hotel, van yang kami tumpangi sudah mulai terjebak macet. Macet bukan saja karena padatnya jumlah mobil yang merangkak pelan, tetapi juga kepadatan kenderaan roda dua yang menghijaukan jalan raya itu. Aku merasa khawatir kalau nanti terlambat tiba di Bandara. Masalahnya, aku sangat tidak suka bermasalah. Tapi syukurlah, kami bisa sampai ke Bandara, satu jam sebelum keberangkatan pesawat.
Kemacetan di jalan-jalan di kota Jakarta adalah hal yang membuat aku selalu muak, bosa dan malas untuk ke Jakarta. Makanya, akhir-akhir ini, setiap ada undangan mengikuti acara, yang tempat penyelenggaraannya di Jakarta, aku sudah mulai uring-uringan, malas untuk ke Jakarta. Berangkat nggak ya? Walau, kadangkala  aku merasa rindu juga dengan Jakarta.Â
Tetapi begitulah. Bagiku dan mungkin juga kebanyakan orang, indahnya atau enaknya ke Jakarta itu adalah ketika berada di mall-mall besar atau di pusat-pusat perbelanjaan yang nyaman, dingin dan kaya dengan produk-produk konsumtif itu. Jakarta menawarkan banyak tempat untuk hiburan yang serba wah itu. Tergantung kemampuan kocek, isi dompet atau kartu ATM maupun kartu kredit. Semakin banyak uang, semakin banyak yang bisa dinikmati. Kecuali keadaan di jalan raya. Itu hampir tidak dapat dibantahkan.
Ya, bagiku hal yang paling aku tidak suka kalau ke Jakarta adalah berhadapan dengan kemacetan di jalan raya itu. Perjalananku dari Banda Aceh ke Jakarta dengan pesawat memakan waktu hanya dua jam, tiga puluh menit. Sementara dari bandara Soekarno-Hatta, ke tempat acara bisa lebih dari waktu itu. Melelahkan sekali bukan? Ya, tentu saja melelahkan dan membosankan ketika berada di tengah-tengah kemacetan itu. Untunglah belakangan ini, ketika kita lagi bosan bisa memainkan gadget sambil membunuh rasa bosan duduk di angkutan umum.
Kemacetan kota Jakarta, memang semakin sulit diurai. Ya, kata orang seperti semakin tidak adaa jalan keluar. Hingga kini belum ada satu Gubernur pun yang mampu menahan laju pertumbuhan kenderaan, baik roda dua, maupun roda empat. Persoalaannya, karena orang-orang yang hidup di Jakarta tidak enak hidup kalau tidak punya mobil. Tidak enak hidup, kalau ke kantor tidak menggunakan mobil. Padahal, mengguankan mobil di Jakarta itu, jauh lebih susah dibandingkan naik angkutan umum atau kenderaan sewaan. Walaupun di zaman  sebelum Ahok, hingga kini Anies Baswedan,  sudah berupaya dengan menyediakan banyak angkutan umum dan massal, seperti TransJakarta, Damri dan lain-lain. Macet masih menjadi langganan tetap di Jakarta.
Melihat persoalan kemacetan dan polusi udara di Jakarta, aku malah berandai-andai. Ya, andai aku Gubernur Jakarta, aku akan benah transporatasi Jakarta itu. Aku akan mengajak semua warga Jakarta untuk hidup lebih nayaman  dan nikmat di jalan raya. Caranya, di samping memperbanyak angkutan umum yang bisa membawa penumpang secara masal dan nyaman, seperti pengadaan bus Transjakarta, monorel dan juga MRT, masyarakat Jakarta yang kaya memang harus secara bersama-sama bertransformasi keluar dari persoalan kemacetan di jalan raya yang selama ini menjadi musuh bersama itu.Â
Tentu saja dengan membangun  kesadaran bersama. Hal yang harus dilakukan adalah melakukan pembatasan jumlah pemilikan kenderaan pribadi. Karena kalau setiap orang membawa mobil pribadi, di mana setiap rumah masing-masing ada satu dua dan tiga atau empat mobil, maka jalan raya akan penuh dengan kenderaan dan yang satu akan saling menjepit dan terus padat dan padat, maka kenikmatan membawa atau mengendarai mobil sendiri akan hilang. Nah, agar bertransportasi di Jakarta nyaman, maka  kalau aku Gubernur Jakarta, aku akan tegas membuat aturan pembatasan penggunaan mobil pribadi.Â
Untuk membatasi penggunaan mobil pribadi, menggantikannya dengan penggunakan angkutan umum yang besar dan nyaman yang mudah diakses kapan saja dan kemana saja dengan system satu kartu untuk penggunaan sesuai jangka waktu, misalnya sekali jalan, atau kartu yang berlaku seharian, bahkan perbulan dengan tariff yang tidak terlalu mahal, bahkan lebih murah dan mudah dibandingkan menggunakan mobil pribadi ke kantor atau ke tempat kerja. Aku akan berikan pilihan alat tarsportasi yang sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing penumpang atau pengguna jasa kenderaan itu. Pokoknya, warga Jakarta akan kubebaskan dari kemacetan.
Apalagi, untuk saat ini dengan adanya layanan transportasi online seperti Uber, yang bisa melayani penumpang dengan pelayanan yang serba digital itu, maka aku akan gandeng Uber untuk menjadi kenderaan pelayanan warga Jakarta dan orang-orang di Jakarta menggunakan Uber untuk mengantar jemput seseorang secara online,yang dijamin aman.Â
Nah, dengan dua cara ini saja, aku yakin akan bisa membuat warga Jakarta dan orang-orang yang datang ke Jakarta merasa sangat aman di jalan raya, tidak macet, dan tindak banyak polusinya. Penggunaan jasa Uber, di samping memberikan rasa aman terhadap pelanggannya, juga memperdekat jarak tempuh serta para penumpang atau pengguna jasa Uber tiak akan tertipu, karena senua sudah tersistem. Kita pun tidak bakal terlambat masuk kantor. Jadi sangat nidah dan murah bukan? Pasti sangat murah dan aman.
Nah, ingat. Kalau ingin tidak dikerubungi macet dan polusi udara yang tinggi, maka ikuti apa yang aku ajak. Sadarlah dengan cara mengurangi penggunaan mobil pribadi di jalan raya dan beralih ke layanan Uber, anda akan dengan mudah mengakses jalan raya dengan penuh rasa aman, nyaman serta selalu terjaga waktu untuk ke tempat kerja.Â
Oleh sebab itu, kalau nanti ada Pilkadal lagi, jangan lupa pilih aku. Jangan takut pilih aku, karena adalah sosok yang akan mengurai benang kemacetan itu. Kalau pun tidak memilih aku, karena aku tidak punya KTP Jakarta, maka pilihlah pemimpin Jakarta yang mau menjalankan aturan pembatasan penggunaan mobil pribadi dan juga mau menggaet atau menggandeng Uber untuk secara bersama melayani masyarakat dengan murah dan mudah, serta mudah diakses kapan saja. Penggunaan Uber dalam frame atau kerangka  model drive sharing atau ride sharing. Dengan demikian, maka, Jakarta akan lebih baik. Ayo. Makanya, jangan lupa pilih saya nanti" he he he.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H