Dalam menjalani kehidupan ini, kadangkala ada banyak hal yang  terjadi dengan tidak disangka-sangka, atau tak terduga. Kadangkala  ada banyak hal yang kita rencanakan, tetapi tidak bisa diwujudkan. Begitu irama kehidupan seseorang. Aku sendiri, sering mengalami hal seperti ini. Misalnya pada tahun 2016 yang lalu, aku berencana untuk mengikuti acara ke Cina, tetapi karena beberapa alasan, acara tersebut tidak jadi dilaksanakan di Cina, tetapi kemudian dilaksanakan di Jakarta. Sementara, ada tempat yang tidak pernah direncanakan untuk dikunjungi, eh tanpa ada rencana, karena sebuah kegiatan, aku bisa ke sana.
Kala itu, bulan November 2009, baru 11 bulan usia anak pertamaku Ananda Nayla. Aku mendapat kesempatan untuk pergi lagi ke Phuket, Thailand. Ya, kala itu aku ikut kegiatan "Final evaluation of of Tsunami initiative program meeting", karena organisasiku Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh bekerja sama dengan International Youth Foundation (IYF) yang kantor pusatnya di Baltimore, Amerika.Â
Di akhir program tersebut, organisasi-organisasi yang bekerja sama dengan IYF untuk program bantuan bagi para remaja di tiga Negara, masing-masing, Thailand, Srilanka dan Indonesia, dalam hal ini Aceh, mengadakan evaluasi akhir di Phuket, Thailand. Kala itulah, aku kembali lagi berkunjung ke Phanga, Thailand yang mengingatkan aku dengan Phanga, yang ada di Aceh jaya, Aceh, Indonesia seperti yang sudah aku tulis dalam tulisanku, Antara Dua Phanga, Aceh dan Thailand beberapa waktu lalu di Kompasiana.
Perjalanan kunjungan lapangan ke Phanga, Phuket, Thailand saat itu memang sangat menarik, karena banyak hal dan pelajaran menarik yang dapat dipetik. Paling tidak, aku bisa belajar bagaimana proses pendampingan terhadap para remaja yang dilaksanakan di Phanga tersebut oleh sebuah organisasi di Phuket saat itu. Selain itu, menikmati sajian kuliner Phanga dengan seafoodnya itu membuat kami menikmati sajian mereka dengan sangat lahap. Ya, memang sangat menarik.
Kendatipun apa yang kami nikmati di Phanga saat itu sangat menarik, namun ada perjalanan yang bagiku tidak disangka-sangka, ya aku tidak tahu kalau saat itu akan ada perjalanan membelah laut. Ya, perjalanan yang harus ditempuh dengan mengarungi laut dekat Andaman. Â Sehingga, hari itu di hari ketiga pertemuan kami di sebuah hotel di Phuket tersebut, pada pagi itu, sekitar pukul 08.00 waktu Thailand, kami harus sudah berada di pelabuhan penyeberangan di pantai Phuket.Â
Di sinilah, aku melihat kapal-kapal penangkap ikan yang besar-besar milik para nelayan atau mungkin pengusaha ikan di Phuket itu. Tidak ayal lagi, pada saat melihat kapal-kapal ikan itu, pikiranku malah tiba-tiba teringat akan cerita kapal Thailand yang mencari dan bahkan ada yang mengatakan mencuri ikan di perairan Indonesia, di lautan Hindia itu. Aku pun mengambil foto dan selfie di dekat kapal itu. Hingga kini foto itu masih ada dalam dokumenku.
Pagi itu, bagiku terasa agak takut, karena harus mengarungi laut. Apalagi aku sendiri sekian lama merasa tidak suka ke laut, apalagi untuk mengarungi laut. Ya, aku masih trauma dengan laut, karena pengaruh gempa dan bencana tsunami di Aceh yang aku alami. Namun, saat itu ada keinginan dan kemauan yang kuat untuk melawasn trauma itu.Â
Akhirnya, aku harus menghibur hatiku dan aku harus melakukannya. Maka, tidak lama kemudian, kami satu rombongan yang jumlahnya hanya sekitar 10 orang, Â mulai naik ke sebuah speed boat yang sudah siap menunggu. Aku merasa nyeri-nyeri sedap. Ya, karena speed boat itu tidak besar. Apalagi, ingatanku masih belum lepas dari trauma.
Boat mulai bergerak dan terus melaju dengan kecepatan tinggi. Kata nahkoda, perjalanan ke Kah Yao island akan memakan waktu 45 menit. Hmm, lama juga  kataku dalam hati. Dalam kecepatan boat yang tinggi itu, kami menyaksikan pulau-pulau kecil yang berbentuk batu-batu runcing di tengah laut.Â
Ada pula atoll atau pulau karang dan pulau kecil dengan pantainya berpasir putih, terlihat begitu indah. Dengan perasaan yang penuh cemas, takut tenggelam di tengah laut, yang apa lagi tidak memakai pelampung di badan, akhirnya kami tiba di Kah Yao Island, setelah speed boat menepi dan kami merangkak naik ke pantai lewat pelabuhan yang terbuat / tempat bersandar speed boat yang terbuat dari bamboo dan kayu itu. Kami menginjakkan kaki di pulau yang tidak pernah ada dalam pengetahuanku. Ya, itulah Kah Yoi island.
Pada tahun 2002, Koh Yao Noi memperoleh perhatian dunia setelah menerima Penghargaan Legacy Dunia untuk Kepariwisataan Tujuan dari Conservation International dan majalah National Geographic Traveler untuk program homestay ramah lingkungan yang ditawarkan oleh penduduk setempat. Kegiatan lain yang tersedia di pulau ini termasuk demonstrasi pertanian (karet dan perikanan), kayak, hiking, snorkeling dan berenang.Â
Tak satu pun dari pulau-pulau memiliki fasilitas perbankan, namun layanan Internet, restoran dan beberapa toko dapat ditemukan di Yao Noi, termasuk merek baru 7-Eleven dengan pendingin udara yang sangat kuat, kesempatan bagus untuk menenangkan diri dan mendapatkan beberapa minuman manis dan es krim. Jadi jika Anda berencana untuk menginap, ingatlah untuk menarik sejumlah uang tunai sebelum Anda pergi, meskipun ada sedikit kesempatan untuk membelanjakannya!Â
Perhatikan bahwa penduduk pulau sangat ingin melestarikan cara tradisional mereka, jadi penting untuk menghormati budaya lokal dengan berpakaian sopan dan menahan diri untuk tidak minum alkohol di luar restoran / resor yang melayani pengunjung". Silakan dibaca lebih lanjut di sini.
Setelah kami mendarat di pulau itu, kami naik angkutan desa, seperti mobil pick up yang atapnya dari terpal dan tempat duduk yang serba minim dank eras itu. Tetapi karena ini adalah daerah atau wilayah baru yang belum pernah kami jelajahi, perjalanan itu menjadi terasa asyik. Sesampai di sebuah tempat pertemuan, kami disambut oleh para remaja yang menggunakan pakaian adat.Â
Kami disambut dengan tari selamat datang, seperti yang kita juga sering jumpai di Indonesia kala menyambut kedatangan tamu. Acara penyambutan tamu dan pertemuan dengan para remaja di pulau itu dimulai pada pukul 09.00 waktu Thailand.Â
Kami dijamu dengan suguhan air kelapa segar dan kue yang langsung dimasak di tempat pertemuan itu. Usai acara penyambutan dan mendapatkan penjelasan tentang masyarakat penduduk pulau dan luas pulau serta sumber daya alam serta ada istiadat, kami kemudian berkunjung ke sebuah sekolah setingkat SMP. Di sekolah itu kami juga diperkenalkan tentang tradisi masyarakat serta melihat kondisi belajar para siswa di sekolah itu.Â
Aku melihat penduduknya banyak penduduk pendatang seperti dari daerah Patani, Thailand, karena ada di antara mereka yang bisa berbahasa Melayu. Nah, sebagai orang yang menggunakan Bahasa Indonesia, aku mencoba berbicara dengan Bahasa Melayu dengan beberapa lelaki di situ.
Ketika sedang bercakap-cakap, beramah tamah, waktu makan siang pun tiba. Kami pun disuguhkan dengan sajian makan siang yang serba seafood itu. Aku yang takut dengan alergi dengan makanan sejenis udang, kepiting maupun cumi-cumi, memilih menikmati sajian ikan goring dan ikan bakar. Bagiku itu sudah sangat memuaskan, dar pada nanti harus menahan gatal karena alergi. Ya, nikmati saja.Â
Sementara teman-teman yang lain, dengan sangat lahapnya menikmati sajian makan siang yang cita rasanya tidak jauh berbeda dengan makanan sajian nasi dan gulai dari Indonesia, terutama masakan Aceh yang sering disebut asam pedas dan di Thailand lebih kental dengan sebutan Tomyam itu.
Ada sebuah pelajaran penting tentang kearifan lokal yang berkembang di pulau itu. Ternyata, setiap kali ada datang  tamu berkunjung, ya mungkin kunjungan resmi, bukan untuk traveling, para tamu yang datang wajib menanam pohon. Kami dan rombongan, masing-masing harus menanam pohon yang sudah disediakan oleh panitia atau warga yang menyambut kami.Â
Setao pohon yang disediakan sudah disiapkan nama, termasuk namaku. Kami menanam pohon di pinggir jalan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kelapa itu. Sontak saja, setiap peserta dari rombongan kami masing-masing memasang nama dan sekaligus mengabadikannya dalam foto.
Aku merasa ini adalah sebuah tradisi tanam pohon yang bagus, yang selayaknya ditiru oleh banyak orang, termasuk kita di Indonesia. Dari kegiatan penanaman pohon tersebut memberikan kami best practice dan lesson learned dari kebiasaan atau tradisi masyarakat di pulau ini yang jumlahnya tidak begitu banyak itu.Â
Terbukti jumlah penduduknya tampak sangat jarang, namun menyimpan berbagai pesona itu. Bangunan-bangunan rumah di pulau itu pun tampak berupa bangunan rumah kayu, yang bentuknya persis sama dengan rumah-rumah kayu yang ada di Aceh, terutama yang di pesisir pantai barat Aceh. Â
Ada banyak rumah panggung seperti cottage di sana. Mungkin disediakan untuk para pelancong yang datang. Aku merasa terpesona dengan suasannya. Namun, karena kami harus segera kembali ke hotel di Phuket, maka dengan berat hati harus segera menuju kembali ke tempat bersandarnya speed boat.
Ya, ada yang terpaksa muntah dan pusing.Aku sendiri hanya mengingat mati dan cemas. Andai speedboat ini tenggelam dihempas ombak besar, aku sudah tidak bisa pulang lagi. Ah, pikiranku memang sangat liar saat itu. Namun, alhamdulilah, kami bisa mencapai pantai dan berlabuh kembali di pelabuhan ikan di Phuket.Â
Setiba di darat, kami mendengar kabar bahwa ketika kami sedang di tengah laut, Padang, Sumatera barat diterjangan bencana tsunami. Betapa hatiku tidak terkejut. Pantas saja, gelombang di tengah laut yang kami arungi begitu besar. Aku bersyukur, karena kami tidak mengalami hal-hal yang menakutkan, seperti apa yang menghantam Sumatera barat saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H