Menjalani kebiasaan menulis, bukan tanpa risiko. Apalagi kalau tulisan-tulisan yang ditulis adalah tulisan yang bersifat mengkritisi kebijikan pemerintah di bidang pendidikan. Sebagai seorang guru, mengkritisi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, pasti menghadapi risiko. Aku sendiri pernah mengalami hal ini.Â
Di bulan September, tepatnya tanggal 3 tahun 1991, tulisanku yang berjudul " Hardikda dan Mutu Pendidikan" mendapat reaksi keras dari pihak Kanwil Depdikbud saat itu. Kala itu Aku dipanggil untuk menghadap Kakanwil Depdikbud. Saat itu aku disidang di ruang (kamar)nya Kakanwil dengan dihadiri oleh  5 kepala bidang saat itu. Aku ingat dengan ancaman, ya aku diancam untuk dipindahkan ke daerah terpencil, serta diperintahkan untuk meminta maaf di surat kabar. Ancaman dan instruksi tersebut aku tantang dan menolak untuk minta maaf.  Hanya aku diamkan. Akibatnya ada pihak lain yang menjadi korban.
Pengalaman lain yang juga berisiko tinggi adalah tatkala tulisanku yang berjudul "Dosa Sebuah kebijaksanaan"dimuat di harian Serambi Indonesia, rupaya menimbulkan keberangan seorang Kakandepdiknas kota Banda Aceh saat itu. Akibat pemuatan tulisan itu aku dipanggil untuk menghadap dan mempertanggungjawabkan isi tulisan. Perintah itu kuhadapi dan akhirnya aku mampu menghadapi gugatannya.Â
Di masa Aceh dalam konflik bersenjata, eksistensi saya sebagai sorang guru dan juga penulis yang sekali gus sebagai aktivis sebuah LSM, membuat nyali saya untuk menulis tulisan yang bersifat kritik menurun. Perasaan  takut datang menyelimuti. Karena dalam realitasnya, nasib guru di Aceh selama konflik tampaknya sangat buruk. Banyak guru yang menjadi korban selama konflik di Aceh. Ada yang cacat, ada yang diculik, ada yang dibunuh dan sebagainya. Lebih dari 500 guru melakukan eksodus pada awal meluasnya eskalasi konflik di Aceh. Lebih dari 100 guru tewas selama konflik.Â
Padahal Aceh kekurangan lebih kurang 13000 guru. Kondisi ini sangat mengerikan memang. Apalagi, dalam kenyataannya ketika sang guru itu mati atau tewas di dalam konflik karena dibunuh, tidak ada perlindungan hukum dan rendahnya perhatian pemerintah terhadap korban. Maka wajar saja banyak guru yang ketakutan.
Pendeknya, menulis yang berirama kritik itu telah menampakkan bahwa risiko selalu ada. Salah satu risiko yang hingga kini ada adalah saya menjadi orang sangat tidak disukai oleh para pejabat di Dinas Diknas di Aceh. Â Aku memang merasa terus menuai dampak dari semua yang aku tulis. Kalau ada kegiatan-kegiatan penataran guru, atau seminar-seminar pendidikan, aku tidak pernah diundang atau dilibatkan secara langsung dalam kegiatan-kegiatan di Dinas Pendidikan.Â
Namun di balik risiko itu, sebenarnya  kegiatan merangkai makna dan menulis di media massa, banyak membawa keuntungan bagiku sebagai seorang guru. Banyak pembelajaran (lesson learned) yang dapat  kupetik. Banyak keuntungan yang aku peroleh. Beberapa keuntungan itu seperti  Pertama, megantarkanku pada sebuah kondisi  atau status guru yang pembelajar. Selama  menggeluti dunia tulis menulis, aku terdorong untuk terus membaca dan membaca. Bukan saja membaca buku-buku, tetapi juga membaca zaman. Karena kunci untuk menulis adalah membaca. Aku jadi  rajin belajar, memperluas cakrawala berfikir. Kedua, kegiatan menulis, telah menumbuhkembangkan sikap kritis. Terbukti aku semakin gemar  mengkritisi setiap kebijakan yang bertentangan dengan prinsip yang sudah dibangun.Ketiga, bahwa sebagai seorang guru yang katanya penghasilannya pas-pasan, aku juga memperoleh keuntungan finansial dari kegiatan menulis tersebut. Ya, bisa menambah pendapatan dengan sering menulis di koran atau di media lain. Keempat, dengan menulis,  sebagai guru yang pada mulanya tidak dikenal, kemudian dikenal oleh banyak orang. Keuntungan yang kelima,  sangat relevan dengan profesi guru. Untuk kenaikan pangkat, ternyata tulisan-tulisan itu sangat membantu  dalam mengumpulkan angka kredit. Pengalaman pribadiku, tulisan-tulisan tersebut telah mempercepat proses kenaikan pangkat saya setiap dua tahun sekali. Keenam, semakin banyak yang kita tulis, maka semakin banyak yang dapat kita dokumentasikan. Minimal bisa kita jadikan sebagai sebuah warisan bagi anak-anak kelak.
Kini, sudah lebih kurang 20 tahun lamanya menggeluti profesi  guru yang pada mulanya tidak sukai ini, selama itu pula banyak memetik pahit getirnya menjadi guru. Namun, di antara sekian banyak hal yang pahit itu, ternyata menjadi guru itu banyak kenikmatan dan keindahan. Betapa indahnya hidup menjadi guru. Bukan keindahan dan kenikmatan material, tetapi sebuah kenikamatan yang hakiki, yakni sebuah kepuasan batin yang mungkin juga tidak dimiliki oleh profesi lain. Dan agar sebagai guru yang selama ini terbelenggu dalam kerangkeng kemiskinan material, aku pun mencari alternatif sumber kehidupan seperti menggeluti kegiatan menulis, di samping mendapatkan sumber kehidupan dan sumber pengembangan diri sebagai seorang aktivis LSM sejak itu.
Kiranya, sebuah profesi itu menjadi semakin nikmat, kalau kita mau mensyukuri dan menjaga eksistensi sebuah pekerjaan, mencintai pekerjaan itu dan  menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan penuh keiklasan. Mau mebuka dirti untuk terus meningkatkan kualitas diri dengan berbagai cara. Kata  orang  bijak, ya many ways to heaven.  Kita mau menjadi manusia pembelajar seperti kata Andreas Harefa, maka teruslah berbenah diri, melakukan self development. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H