Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Guru Penulis, Jangan Takut Risiko

29 Oktober 2017   13:35 Diperbarui: 29 Oktober 2017   16:51 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Secara ideal, ketika seseorang itu memilih menjadi guru, ia memang harus memiliki kecakapan yang lebih. Maksudnya, bukan hanya bisa memotivasi peserta didik untuk bisa melakukannya, tetapi ia sendiri juga harus bisa dan bahkan menjadi model bagi peserta didik. Misalnya, seorang guru Bahasa Indonesia atau guru Bahasa Inggris, kala mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, maka ia bukan hanya bisa menaganjurkan peserta didik untuk menulis, tetapi ia juga harus lebih hebat kemampuannya dalam menulis. 

Ini perlu, sebab guru sering memberi tugas menulis kepada peserta didiknya. Nah, pertanyaannya, bagaimana guru bisa memeriksa dan menilai tulisan peserta didiknya, kalau ia sendiri tidak pernah menulis. Jadi tidak konsisten bukan? Ya, tentu saja itu namanya sebuah sikap yang tidak konsisten. Seharusnya, guru juga selalu menulis. Namun, faktanya, sangat sedikit guru yang mau dan bisa menulis seperti yang diharapkan dari peserta didik tersebut. Apalagi menulis di media masa, pasti sangat sedikit.

Aku bersyukur, karena aku agak cepat sadar dan terjaga. Karena aku mulai menjadi guru pada tahun 1984, yang kala itu juga belum mulai menulis di media. Maka, ketika pada tahun 1989 usai menerima ijasah sarajana (S1) di FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh, aku telah diwarisi dengan ketrampilan menulis. 

Selain sebelumnya sudah sangat suka dengan kegiatan mengisi TTS dan sangat suka menjawab soal-soal essay,  lalu  pada saat menyelesaikan study di lembaga pendidikan itu yang mewajibkan setiap calon sarjana menulis skripsi, ketrampilan menulisku kembali terasah. Apalagi  saat itu aku dibimbing oleh  Proffesor Bahrein T. Sugihen. Seorang dosen yang cukup senior di Universitas Syiah Kuala kala itu. Berbekal ilmu dan ketrampilan itu, sejelan dengan terbitnya sebuah Harian Lokal, pada tahun 1989 di Aceh. Ya, kala itu,  terbit koran harian pagi, Serambi Indonesia. Ini berarti ada peluang untuk bisa menulis di media massa.

Tanpa banyak menunggu, aku harus mencoba menulis dan mengirimkannya ke media. Hasilnya, pada pertengahan tahun 1989 aku mulai  merangkai makna (mengutip judul buku Pak Hernowo Hasim), menulis untuk dipubliksikan di media massa. Aku mulai menulis artikel opini  sekitar dunia pendidikan dan permasalahannya. Tulisanku yang pertama dimuat di harian itu adalah sebuah tulisan yang berjudul "Tinjauan Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah"  yang dimuat pada hari Rabu,14 Juli 1989. 

Pemuatan tulisan yang pertama itu, membakar semangatku dan mengalirkan darah baru untuk menulis lagi. Aku menulis lagi dan tulisan itu dimuat pada  minggu depan. Permulaan yang mengejutkan ini, mendorongku untuk terus belajar menulis di media. Caranya, dengan belajar dari banyak buku yang memaparkan tentang kiat-kiat menulis. Aku pun mulai membeli buku-buku itu. Aku sempat membeli buku " Writing with A purpose" yang ditulis oleh Mc.Crimmon. 

Banyak lagi yang dibeli setelah itu, buku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, "Menulis itu gampang".  Buku " Menggebrak Dunia Mengarang" yang dituliskan oleh Eka Budianta serta  sejumlah buku lain yang menjadi sumber inspirasi dalam menulis. Tidak luput juga saat itu, sebuah buku yang tergolong best seller, yang dituliskan oleh Pak Hernowo, Merangkai Makna.

Buah dari pencarian ilmu dengan membaca buku-buku tersebut telah ikut menambah sikap kritis pada diriku. Aku semakin produktif menulis untuk media. Sejalan dengan hadirnya dua media massa yang lain di Aceh, aku pun mengirimkan tulisan ke surat kabar lain seperti ke Atjeh Post, dan Aceh Express. Didorong oleh keinginan untuk bisa merambah ke koran nasional,  pada tahun 1992 aku mulai mencoba mengirimkan tulisan ke koran di Sumatera Utara.

Pada awalnya mengirimkan tulisan ke Harian Waspada Medan  dan selanjutnya hingga kini di Harian Analisa Medan. Baru samopai ke Medan, belum ke Jakarta. Maka aku juga berupaya untuk bisa menulis di koran nasional seperti Kompas dan lain-lain.  Apa yang membanggakanku saat itu, satu tulisanku dimuat di Suara Pembaruan dan harian Umum  Republika. Di samping menulis untuk koran, saya juga menyempatkan diri menulis untuk buletin dan newsletter. Hingga saat sebelum bencana tsunami, aku sudah menulis lebih kurang ada 400 tulisan.

Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, serta profesi  sebagai guru, aku umumnya menulis tentang dunia pendidikan. Tulisan-tulisan tentang pendidikan itu banyak mengkritik tentang kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang seringkali tidak sesuai antara kata dan perbuatan. Ketimpangan-ketimpangan serta persoalan-persoalan mismanagement dalam pengelolaan pendidikan di Aceh khususnya menjadi sorotan tulisan-tulisanku, yang sering membuat para pengambil keputusan di Aceh kebakaran jenggot.

Menjalani kebiasaan menulis, bukan tanpa risiko. Apalagi kalau tulisan-tulisan yang ditulis adalah tulisan yang bersifat mengkritisi kebijikan pemerintah di bidang pendidikan. Sebagai seorang guru, mengkritisi kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, pasti menghadapi risiko. Aku sendiri pernah mengalami hal ini. 

Di bulan September, tepatnya tanggal 3 tahun 1991, tulisanku yang berjudul " Hardikda dan Mutu Pendidikan" mendapat reaksi keras dari pihak Kanwil Depdikbud saat itu. Kala itu Aku dipanggil untuk menghadap Kakanwil Depdikbud. Saat itu aku disidang di ruang (kamar)nya Kakanwil dengan dihadiri oleh  5 kepala bidang saat itu. Aku ingat dengan ancaman, ya aku diancam untuk dipindahkan ke daerah terpencil, serta diperintahkan untuk meminta maaf di surat kabar. Ancaman dan instruksi tersebut aku tantang dan menolak untuk minta maaf.  Hanya aku diamkan. Akibatnya ada pihak lain yang menjadi korban.

Pengalaman lain yang juga berisiko tinggi adalah tatkala tulisanku yang berjudul "Dosa Sebuah kebijaksanaan"dimuat di harian Serambi Indonesia, rupaya menimbulkan keberangan seorang Kakandepdiknas kota Banda Aceh saat itu. Akibat pemuatan tulisan itu aku dipanggil untuk menghadap dan mempertanggungjawabkan isi tulisan. Perintah itu kuhadapi dan akhirnya aku mampu menghadapi gugatannya. 

Di masa Aceh dalam konflik bersenjata, eksistensi saya sebagai sorang guru dan juga penulis yang sekali gus sebagai aktivis sebuah LSM, membuat nyali saya untuk menulis tulisan yang bersifat kritik menurun. Perasaan  takut datang menyelimuti. Karena dalam realitasnya, nasib guru di Aceh selama konflik tampaknya sangat buruk. Banyak guru yang menjadi korban selama konflik di Aceh. Ada yang cacat, ada yang diculik, ada yang dibunuh dan sebagainya. Lebih dari 500 guru melakukan eksodus pada awal meluasnya eskalasi konflik di Aceh. Lebih dari 100 guru tewas selama konflik. 

Padahal Aceh kekurangan lebih kurang 13000 guru. Kondisi ini sangat mengerikan memang. Apalagi, dalam kenyataannya ketika sang guru itu mati atau tewas di dalam konflik karena dibunuh, tidak ada perlindungan hukum dan rendahnya perhatian pemerintah terhadap korban. Maka wajar saja banyak guru yang ketakutan.

Pendeknya, menulis yang berirama kritik itu telah menampakkan bahwa risiko selalu ada. Salah satu risiko yang hingga kini ada adalah saya menjadi orang sangat tidak disukai oleh para pejabat di Dinas Diknas di Aceh.  Aku memang merasa terus menuai dampak dari semua yang aku tulis. Kalau ada kegiatan-kegiatan penataran guru, atau seminar-seminar pendidikan, aku tidak pernah diundang atau dilibatkan secara langsung dalam kegiatan-kegiatan di Dinas Pendidikan. 

Namun di balik risiko itu, sebenarnya  kegiatan merangkai makna dan menulis di media massa, banyak membawa keuntungan bagiku sebagai seorang guru. Banyak pembelajaran (lesson learned) yang dapat  kupetik. Banyak keuntungan yang aku peroleh. Beberapa keuntungan itu seperti  Pertama, megantarkanku pada sebuah kondisi  atau status guru yang pembelajar. Selama  menggeluti dunia tulis menulis, aku terdorong untuk terus membaca dan membaca. Bukan saja membaca buku-buku, tetapi juga membaca zaman. Karena kunci untuk menulis adalah membaca. Aku jadi  rajin belajar, memperluas cakrawala berfikir. Kedua, kegiatan menulis, telah menumbuhkembangkan sikap kritis. Terbukti aku semakin gemar  mengkritisi setiap kebijakan yang bertentangan dengan prinsip yang sudah dibangun.Ketiga, bahwa sebagai seorang guru yang katanya penghasilannya pas-pasan, aku juga memperoleh keuntungan finansial dari kegiatan menulis tersebut. Ya, bisa menambah pendapatan dengan sering menulis di koran atau di media lain. Keempat, dengan menulis,  sebagai guru yang pada mulanya tidak dikenal, kemudian dikenal oleh banyak orang. Keuntungan yang kelima,  sangat relevan dengan profesi guru. Untuk kenaikan pangkat, ternyata tulisan-tulisan itu sangat membantu  dalam mengumpulkan angka kredit. Pengalaman pribadiku, tulisan-tulisan tersebut telah mempercepat proses kenaikan pangkat saya setiap dua tahun sekali. Keenam, semakin banyak yang kita tulis, maka semakin banyak yang dapat kita dokumentasikan. Minimal bisa kita jadikan sebagai sebuah warisan bagi anak-anak kelak.

Kini, sudah lebih kurang 20 tahun lamanya menggeluti profesi  guru yang pada mulanya tidak sukai ini, selama itu pula banyak memetik pahit getirnya menjadi guru. Namun, di antara sekian banyak hal yang pahit itu, ternyata menjadi guru itu banyak kenikmatan dan keindahan. Betapa indahnya hidup menjadi guru. Bukan keindahan dan kenikmatan material, tetapi sebuah kenikamatan yang hakiki, yakni sebuah kepuasan batin yang mungkin juga tidak dimiliki oleh profesi lain. Dan agar sebagai guru yang selama ini terbelenggu dalam kerangkeng kemiskinan material, aku pun mencari alternatif sumber kehidupan seperti menggeluti kegiatan menulis, di samping mendapatkan sumber kehidupan dan sumber pengembangan diri sebagai seorang aktivis LSM sejak itu.

Kiranya, sebuah profesi itu menjadi semakin nikmat, kalau kita mau mensyukuri dan menjaga eksistensi sebuah pekerjaan, mencintai pekerjaan itu dan  menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan penuh keiklasan. Mau mebuka dirti untuk terus meningkatkan kualitas diri dengan berbagai cara. Kata  orang  bijak, ya many ways to heaven.  Kita mau menjadi manusia pembelajar seperti kata Andreas Harefa, maka teruslah berbenah diri, melakukan self development. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun