Terkadang, perjalanan hidup seseorang itu memang sulit ditebak alias diprediksi. Perjalanan hidup seseorang itu, tidak selalu berjalan lurus, bisa sangat sering penuh dengan lika-liku. Berjalan dengan dinamika yang saling berbeda. Ada yang sejak kecil sudah bercita-cita untuk menjadi guru, namun ketika dewasa, memasuki dunia kerja, ia tidak menjadi guru, tetapi bisa jadi terpelanting ke profesi non guru. Ada yang ingin menjadi penyuluh pertanian, malah ketika melewati dan memilih pendidikan, malah jatuh ke dunia pendidikan, menjadi guru.Â
Seperti halnya aku, ketika tamat dari SMP, mendeklarasikan diri untuk tidak menjadi guru. Namun. Guratan tangan kemudian, mengantarkan aku menjadi guru. Aku teringat, ketika tamat SMP di tahun 1979. Kala itu, ibuku berharap agar aku mau melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang ada di kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Ajakan ibuku saat itu aku tolak.Â
Ya, aku tidak mau dan tidak suka jadi guru. Alasan ibuku saat itu, sebenarnya sangat rasional atau masuk akal, karena kondisi kehidupan keluargaku yang bertastus miskin atau keluarga kurang mampu. Kata ibuku saat itu, kalau aku masuk ke SPG, aku akan bisa cepat mendapat pekerjaan. Aku tetap tidak mau masuk SPG. Aku ingin bersekolah di SPMA (Sekolah Menengah Pertanian Menengah Atas) yang saat itu ada di kota Banda Aceh.
Apa yang membuat aku tergila-gila untuk bersekolah di SPMA saat itu, bisa jadi dilatarbelakangi atau terinspirasi oleh film pertanian yang sering diputar di tempat kelahiranku di Manggeng, ( dulu Aceh Selatan) Aceh Barat Daya. Film layar tancap yang memperlihatkan romantika seorang penyuluh pertanian yang berada di tengah sawah, memberi bimbingan dan penyuluhan pertanian yang sering menampilkan kehidupan yang penuh dengan romantisme.Â
Ya, aku lalu saat itu sangat mendambakan untuk bisa menjadi penyuluh pertanian. Namun, nasib berkata lain, sekolah yang aku tidak sukai saat itu (SPG), ternyata menjadi tempat aku berlabuh, belajar ilmu, ketrampilan dan juga sikap yang mengantarkan aku menjadi guru Sekolah Dasar  (SD). Alasannya, hanya karena saat itu aku berpantang pulang, sebelum berhasil. Kalau gagal masuk SPMA, aku akan terdampar di lautan mimpi. Maka, mau tidak mau, karena penerimaan siswa yang paling cepat dibuka saat itu adalah SPG Negeri Banda Aceh, untuk berjaga-jaga, aku mendaftar di SPG Negeri Banda Aceh.Â
Betapa terkejutnya aku saat itu, ijazah asli ditahan di sekolah itu. Sehingga membuat rencanaku untuk mendaftar di SPMA gagal. Untunglah aku dinyatakan lulus. Bila tidak? Pasti aku akan kembali pulang ke kampong halaman, kembali mengerjakan kegiatan ke sawah, atau mendayung becak, mengantarkan barang-barang orang ke tempat yang mereka minta. Ini adalah sebuah suratan tangan yang tidak bisa aku tolak. Kendatipun tidak aku sukai, karena sudah tidak ada jalan lain, aku harus mencintai dunia guru. Alhamdulillah, aku kemudian mencintai profesi guru. Namun, aku tidak mau menjadi guru SD. Maka, ketika aku lulus SPG Negeri Banda Aceh pada tahun 1982, aku dengan biaya sendiri melanjutkan pendidikan ke program Diploma II, jurusan bahasa Inggris.Â
Selama dua tahun aku belajar di program Diploma dua ini, yakni 1982-1984. Setamat Diploma, aku langsung diangkat menjadi guru SMP. Sejak itu aku berstatus sebagai PNS. Saat itu, untuk menjadi PNS masih sangat mudah. Buktinya, aku tidak perlu ikut tes seperti sekarang yang katanya semakin berat itu. Namun, menjadi guru SMP saja, jelas sestu yang kurang menarik bagiku. Oleh sebab itu, pada tahun yang sama, 1984 aku ikut tes lagi di program S1, FKIP Bahasa Inggris yang bisa aku selesaikan pada bulan februari 1989. Alhamdulillah bisa tepat waktu.
Mengingat gaji yang saat itu masih sangat kecil dan sedihnya gaji guru saat itu juga sering disunat atas alasan macam-macam. Aku kala itu berfikir harus melakukan pekerjaan lain di luar guru. Katakanlah nyambi. Pekerjaan nyambi yang cukup mudah, tanpa harus mengeluarkan dana yang besar dan alat-alat kerja yang banyak dan berat, aku memanfaatkan potensi diriku. Aku memilih wirausaha di bidang menulis. Ya, pada bulan Juni 1989, aku mulai mengirimkan tulisanku ke media massa.Â
Mulai saat itu, tulisan-tulisanku dimuat di media lokal, khususnya harian Serambi Indonesia, yang kemudian terus menjalar ke media lain seperti Harian Waspada, Harian Analisa Medan, hingga ke media nasional. Alhamdulillah, tulisan-tulisanku pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan, Republika, The Jakartapost dan juga di Harian Kompas.Â
Aku bisa memetik hasil dari kegiatan menulis itu. Itulah wirausaha di bidang menulis yang modal dasarnya adalah kemampuan menulis, kepedulian dan sikap kritis. Wirausaha ini, mengantarku menjadi nara sumber pada pelatihan menulis di beberapa kelompok masyarakat dan sekolah.
Sebenarnya, kemauanku untuk berwirausaha itu berangkat dari pengalaman hidup di masa kecil. Ketrampilan berwirausaha itu diawali dari kehidupan keluarguku yang miskin. Saat aku masih di bangku SD, ibuku sudah mendidikku untuk berwirausaha. Kala itu, ibuku yang setiap subuh sudah memulai menggoreng pisang (pisgor) menugaskan aku untuk menjual atau menjajakan pisang gorengan dari pintu ke pintu, sebelum aku berangkat ke sekolah. Bayangkan, selama 6 tahun aku di SD, setiap pagi berjualan pisgor.Â
Selain itu, kala bermain bersama teman-teman sebaya, permainan yang sering diperankan adalah berjualan. Ya, berdagang. Nah, kegiatan berdagang kecil-kecilan itu juga aku praktekkan ketika kuliah di Program Diploma II. Kala itu aku menjual majalah kepada teman-teman kuliah dan juga kepada orang-orang lain, sambil kuliah.
Usai kuliah, kendatipun aku sudah diangkat menjadi guru, ternyata tidak membuat aku merasa puas dan sudah cukup dengan pekerjaan itu. Maka, selain aku berwirausaha lewat kegiatan menulis di media massa, aku mulai terjun ke dunia LSM. Aku bersama beberapa teman mendirikan sebuah organisasi non pemerintah (NGO) atau LSM, yakni Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LP2SM) pada tahun 1990. Â
Di sini, aku belajar menjadi seorang wirasusaha sosial (social entrepreneur), karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih cenderung ke wirausaha social. Kegiatan wirausaha social ini kemudian dilanjutkan ketika pada tahun 1993 aku bersama dua teman yang sevisi mendirikan lembaga baru, yakni Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh. Lembaga ini menjadi tempat aku melatuh dan mempraktikkan kegiatan wirausaha social selama bertahun-tahun untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan penguatan perempuan akar rumput (grassroots).
Sambil melakukan aktivitas wirausaha social di CCDE, aku harus memanfaatkan potensi kemampuan berbahasa Inggrisku. Aku mulai mememberikan pelayanan les atau kursus privat dan mengajar Bahasa Inggris di kursus Bahasa Inggris saat itu di Oxford English Course dan Intensive English Course (IEC) cabang Jakarta, di Banda Aceh. Aku sempat menjadi salah satu kepala cabang IEC saat itu.
Sejalan dengan kegiatan pemberdayaan dan penguatan perempuan dan anak yang aku programkan di CCDE, maka pada tahun 2002, aku memulai usaha dagang dengan membuka Toko Mitra Usaha yang menjual alat-alat tulis kantor di lantai satu dan di lantai dua membuka kursus Bahasa Inggris yang aku beri nama Community English Course (CEC). Lalu, sejalan dengan kapasitas yang aku miliki di bidang menulis, maka pada tahun 2001 muncul gagasanku untuk menerbitkan media perempuan Aceh. Aku menggagas lahirnya POTRET, media perempuan Aceh.Â
Gagasan itu baru terwujud di awal tahun 2003. Aku mulai melatih 25 perempuan dari 6 kabupaten di Aceh. Edisi perdana pun diluncurkan pada tanggal 11 Januari 2003 yang terbit triwulan. Namun, ketika sedang menyiapkan POTRET edisi ke 4, bencana gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 meluluhlantakan kantor CCDE di jalan Malahayati, Kajhu, Aceh Besar itu. Semua hilang, termasuk anak dan istriku yang tiak pernah lagi aku temukan hingga kini. Semua kembali kepada Allah. Aku pun kemudian harus melanjutkan hidup. Penerbitan majalah POTRET pun terhenti.
Majalah anak yang diterbitkan dalam rangka membangun gerakan gemar berkarya di kalangan anak sejak usia dini dengan orientasi sebagai bagian dari usaha pendidikan alternatif. Tidak hanya itu, agar majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas ada daya topang, maka pada Oktober 2014, aku membuka POTRET Gallery, toko yang menjual berbagai macam souvenir, kerajinan Jepara, mainan, alat tulis dan lain-lain yang dibutuhkan oleh banyak orang.
Aku bisa membuka banyak lapangan kerja bagi orang-orang yang memiliki kemampuan kerja. Ya, semua program wirausaha yang aku lakukan, memberi keuntungan nikmat bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Apalagi kalau itu adalah wirausaha berkelanjutan dan wirausaha social yang memberikan keuntungan untuk membangun sukses bersama.Â
Oleh sebab itu, semua pihak saat ini, harusnya mau memotivasi, mengajak generasi muda untuk berwirausaha. Kiranya, pihak swasta, termasuk bank, sepertihalnya Bank Danamon yang selama ini memberikan penghargaan  Danamon Entrepreneur Awards 2017, merupakan kontribusi dahsyat untuk mendorong generasi muda melupakan peluang menjadi PNS dan berfikir serta berupaya membangun wirausaha berkelanjutan untuk mengukir sukses bersama. Jangan terlalu lama dan terus mengejar status PNS. Jalan terbaik adalah wirausaha. Ya kegiatan wirausaha yang sustainable dan banyak manfaatnya. Jangan tunggu lagi, semakin cepat dimulai, semakin cepat memetik sukses bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H