Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Produktivitas Guru Menulis Buku

21 Oktober 2017   20:24 Diperbarui: 21 Oktober 2017   21:12 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada acara pembukaan  Roadshow, workshop penulisan buku, Satu Guru Satu Buku (Sagu saku ), bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI) Aceh, Jumat malam, 20 Oktober 2017 di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Aceh, wajah Pak Imran Lahore, tampak seperti sedang kecewa. Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Aceh itu seakan memperlihatkan rasa sedihnya saat menyampaikan kata-kata sambutan dalam acara tersebut. Paling tidak, ia tampak menumpahkan rasa kecewanya karena pada saat pembukaan acara yang dalam jadwal semula pada pukul 20.30 WIB bergesar ke pukul 21.00 WIB. K

ekesalan itu disebabkan oleh banyaknya undangan yang tidak bisa hadir saat pembukaan, karena berbagai alasan. Bisa jadi karena acara pembukaan itu dilakukan pada malam hari. Bisa jadi pula, karena ekspektasinya begitu besar, namun karena yang hadir ke acara pembukaan tersebut, hanya lebih kurang setengah dari yang diundang. Wajar saja, bila saat menyampaikan kata sambutannya, Pak Imran yang juga guru Bahasa Inggris di sebuah SMA negeri di kota Banda Aceh tersebut harus menyampaikan bagaimana perjalanan  kerja dan usahanya membangun literasi di negeri Serambi Makkah selama ini yang berat itu.

Paling tidak, apa yang tergambar di raut wajah dan penjelasan beliau, upaya membangun gerakan literasi untuk mencerdaskan generasi bangsa yang masih di bangku sekolah meningkatkan minat, daya dan budaya membaca, berjalan penuh kesulitan, minim dukungan dan sebagainya. Sementara harapan untuk mengubah mindsetpraktisi pendidikan dan peserta pendidikan akan pentingnya meningkatkan minat, daya dan budaya baca tersebut, sangat besar. 

Jadi, memang tidak mudah, tidak seperti membalik telapak tangan. Membalik telapak tangan pun sebenarnya juga tidak mudah, sebab apabila tidak ada energy dalam tubuh yang bisa menggerakkan, telapak tangan juga tidak bisa dibalik. Begitu pula halnya upaya membangun gerakan literasi di sekolah selama ini yang kurang energy, kurang support dan tidak sinergis, akan membuat upaya itu mengalami banyak rintangan. Namun, ketika nahkoda workshop tersebut Nur Badriah tampil memberikan kata pengantarnya yang sangat motivatif itu, semangat untuk menulis buku seakan semakin menggebu.

Nah,  apa yang juga menjadi iktibar bagi penulis, saat mendengar sulitnya perjalanan upaya yang sudah dijalankan Pak Imran, pikiran penulis ikut bernostalgia ke wilayah kegiatan membangun literasi yang penulis lakukan bersama majalah LSM Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, hingga saat ini. Cara dan strategi yang dilakukan jelas berbeda, karena apa yang penulis lakukan dengan menggunakan payung organisasi CCDE itu lewat kegiatan pelatihan, diskusi, FGD dan penerbitan majalah POTRET, majalah Anak Cerdas serta lewat www.potretonline.com, dari tahun1993 itu. Lewat sejumlah kegiatan pemberdayaan dan penguatan perempuan melalui  program  pelatihan, diskusi dan menulis di kalangan perempuan Aceh,  usaha itu juga sebenarnya tidak berjalan mulus-mulus amat, sesuai dengan harapan.

Pencapaian target selalu ada hambatan  dan rintangan, baik kecil, maupun besar. Yang jelas, selalu ada saja hal yang merintangi, terutama pada rendahnya minat untuk membaca. Begitu banyak kegiatan diskusi bulanan dilakukan untuk membuka cakrawala berfikir kaum perempuan dan membangun rasa percaya diri dalam berkomunikasi, namun tentu saja tidak bisa kita harapkan tercapai tujuan secara maksimal. Sangat dipengaruhi oleh banyak factor, baik internal maupun eksternal.

Padahal, upaya yang dilakukan sudah cukup maksimal. Ya, bukan hanya diskusi dan pelatihan yang dilakukan,  tetapi juga dilakukan dengan penerbitan majalah POTRET yang impiannya terbangunnya gerakan gemar menulis di kalangan perempuan yang dimulai sejak tahun 2002 itu juga berjalan tertatih-tatih. Bayangkan saja, sudah lebih 1000 perempuan dilatih menulis, namun harapan agar mereka secara aktif menulis di majalah POTRET juga terasa seperti kata orang bijak, jauh panggang dari api. Ya, tidak membuat hati terasa puas. Namun, pertanyaanya, apakah kita harus bersedih hati dan patah hati? Tentu tidak perlu bersedih dan merasa putus asa. Oleh sebab itu, semua kegiatan yang dilakukan harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Setelah dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi dan hasilnya belum memuaskan hati, kita juga tidak perlu bersedih hati. Pasti akan selalu ada jalan yang akan kita temukan dan memuaskan hati. Yang penting jalankan terus dan tetap optimis.

Terlepas dari persoalan beratnya medan perjalanan membangun gerakan literasi anak negeri tersebut  yang minim support di atas,  maka ketika melihat dan mengamati kegiatan yang dilakukan oleh IGI Aceh tadi malam, 20 Oktober 2017 itu, merupakan sebuah gerakan yang tergolong spektakuler. Dikatakan demikian, karena kegiatan ini pekerjaan berat. Pekerjaan yang mengusung tema yang secara kasat mata adalah tema yang cukup hebat dan berat yakni " menciptakan guru yang produktif, kreatif dan innovative.  Apalagi tujuan dari workshop ini sesuai dengan namanya satu guru satu buku. 

Dengan demikian jelas bahwa kegiatan ini akan menggiring setiap guru yang ikut workshop menulis buku tersebut akan melahirkan paling kurang satu guru, satu buku. Hebat bukan? Ya pastilah. Paling tidak, ketika membaca tema itu, muncul pertanyaan, apa mungkin bisa guru-guru tersebut merelasiasikan mimpi membuat buku, satu guru, satu buku? Apalagi kalau melihat latar belakang (background) guru yang selama ini jarang mau menulis. Ya, itu adalah pertanyaan awal. Siapa tahu ada cara, pendekatan atau strategi jitu sanga fasilitator workshop itu membuat semua peserta mau dan mampu membuat buku.

Bila semua peserta ini masing-masing mampu menelurkan atau menerbitkan satu buku atau dua buku, maka ini adalah keberhasilan yang sangat membantu para guru. Akan sangat banyak orang yang ikut berbangga. Bagi guru sendiri, ketika ia mampu menulis buku dan diterbitkan, maka akan banyak anak didik, guru, teman sejawat, keluarga bahkan kepala sekolah akan ikut merasakan bahagia. Dikatakan demikian, karena bila guru mau dan mampu menulis, apalagi menulis buku, akan banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh guru tersebut.

Betapa banyak hikmah dan keuntungan yang dapat dipetik guru, kalau mereka mau menulis, seperti halnya menulis artikel di media massa. Apalagi kalu mampu menulis buku. Pasti keuntungannya akan semakin lebih besar. Penulis pernah ungkapkan beberapa  keuntungan menulis bagi guru beberapa waktu lalu. Paling tidak apa yang diidentifikasi berikut ini adalah beberapa yang tampak dan terasa.  Pertama, kegiatan menulis adalah sebuah aktivitas yang dapat  memberikan motivasi tinggi kepada guru. Ketika tulisan --tulisan dipublikasikan di media, ketika buku guru diterbitkan, guru tersebut  pasti sangat senang (fun) serta terdorong untuk menulis lagi.  Apalagi dalam bentuk buku, ya pasti akan sangat membanggakan. Kita juga merasa bangga (pride) dengan hasil karya guru tersebut. Dengan diterbitkannya buku-buku karya guru, ini sangat memotivasi guru itu sendiri dan juga guru-guru lain. sering menjadi motivasi.  

Nah, bila guru banyak menulis, maka sang guru akan sangat termotivasi bahwa akan mendapat nilai tambah (added value) karena bisa digolongkan ke dalam kelompok intelektual. Ini salah satu nilai positifnya. Kedua, kegiatan menulis bisa membuat guru menjadi manusia pembelajar (istilah yang dipakai penulis Harefa). Karena kalau guru mau atau akan menulis, ia pasti harus melakukan aktivitas membaca. Membaca dalam arti ril seperti membaca berbagai referensi atau literature dan juga membaca realitas sosial. Pada proses ini sang guru yang suka menulis akan terbiasa dengan aktivitas belajar mengidentifikasi masalah, belajar menganalisisnya serta mengasah kemampuan mencari solusi. Pembelajaran yang demikian bisa membuat guru menjadi sosok pendidik yang kritis. 

Kalau ini dilakukan, kesan guru malas belajar akan pupus.  Ketiga,  percaya atau tidak, menulis bisa memberikan keuntungan popularitas. Para penulis yang sering menulis di media massa dan penulis buku, biasanya akan dikenal oleh banyak orang. Apalagi kalau ia mampu menyajikan hal-hal yang menarik, pasti para pembaca akan selalu teringat dengan si penulisnya. Guru juga akan bisa memiliki banyak penggemar di bidang ini. Sekali lagi, kalau guru mau menulis.  Keempat,  tak dapat dipungkiri bahwa menulis sebenarnya bisa menambah income.  Tidak percaya ? 

Coba saja kirim tulisan atau karya tulis ke media, atau coba rasakan nanti ketika buku anda sudah beredar di pasar, pasti akan banyak mendatangkan keuntungan finansial. Banyak fakta yang membuktikan, bagi guru menulis bisa mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi para guru yang selama ini.  Oleh sebab itu, andai guru mau aktif menulis di media atau menulis buku, performance guru pasti berubah. Hasil menulis di media dan di buku  bisa lebih besar dibandingkan gaji guru yang diterima setiap bulannya. Tidak percaya ? Silakan coba. Kelima, ada nilai tambah dari menulis yang bisa dipetik sang guru. 

Dengan menulis, guru bisa menambah angka kredit. Kredit ini lebih bergengsi dan jumlahnya lebih besar dari mengajar selama satu semester. Bayangkan saja, satu artikel yang dimuat di media massa, nilai kreditnya 2 point. Kalau buku? Ya, lebih besar lagi.  Konsekwensinya, kalau guru bisa menulis dengan baik, guru tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayar ongkos menulis sebuah karya tulis untuk kenaikan pangkat.  Banyak sekali keuntungan menulis bagi guru,kalau guru mau menulis. Betapa sayangnya, kalau guru malas, atau tidak bisaa menulis. 

Padahal, kata Dylan Thomas "Menulislah, karena hanya itu cara untuk membuat dunia tahu apa yang engkau pikirkan". Semoga, workshop penulisan buku, satu guru satu buku yang sedang berlangsung, akan benar-benar dapat membangun kapasitas dan produktivitas guru dalam menulis segala macam karya tulis, termasuk buku. Semoga saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun