Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana Yang Tak Terlupakan

13 Oktober 2017   20:13 Diperbarui: 14 Oktober 2017   17:38 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pribadi. Bukti sejarah sebuah heli hancur dihempas tsunami Aceh

Namun aku merasa sangat lemah dan meminta maaf karena tiak mampu membantu mereka. Pada hari itu terasa benar-benar seperti hari akhir. Semua orang dalam keadaan nafsi-nafsi. Aku hanya bisa membantu menurunkan orang-orang yang mau turun dari pohon-pohon, tempat mereka terselamatkan. Dalam keadaan yang tidak menentu, aku dan Pak Hamdani terus berputar-putar mencari anak dan istri yang belum ditemukan. Sambil memanggil-manggil nama anak dan istri, aku menangis. Bahkan di mulutku saat itu terucap, ya Allah, hari ini aku kembali sendiri lagi. Aku kembali ke nol lagi. 

Namun, seperti aku sedang berkomunikasi dengan Sang khalik, " Tidak, kamu tidak sendiri. Kami tidak kembali ke nol." Hmm, benar ya Allah. Aku sudah punya ilmu, kawan, pekerjaan dan bahkan punya pekerjaan. Andai hari ini yang pergi aalah aku dan istriku Salminar, maka yang berangkat dari nol adalah kedua anakku Albar dan Amalina. Aku sudah kehilangan semua, kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku pun sudah mulai kehilangan asa, karena belum menemukan mayat-mayat mereka. Aku kembali ke daerah yang tidak tersentuh air dan terus melihat dan mencari mereka di tengah tumpukan mayat-mayat di dalam lingkungan masjid di Lambaro Angan.

Aku sudah kehilangan asa dan terus mencari. Aku menangis dan terus menangis dalam kesedihan. Hingga menjelang sore, tidak ada harapan untuk bisa bertemu anak dan istri. Malamnya, aku mencari tempat diman bisa berteduh dan akhirnya memutuskan untuk menginap di masjid yang letaknya kea rah bandara Sultan Iskandar Muda.

Malam itu, orang-orang kampong di dekat masjid itu membantu kami makanan, tanpa ada lauk bahkan garam. Aku merasa semakin sedih. Malam itu kucoba rebahkan tubuh di dalam masjid, namun aku tidak mampu mendengar suar tangisan anak-anak yang menangis. Akhirnya, aku keluar dari masjid dan memilih tidur di bawah pohon depan masjid itu. Kebetulan di sepeda motor yang ku bawa ada mantel ( baju hujan). Aku berselimut dengan mantel itu dan berusaha memejamkan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun