Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana Yang Tak Terlupakan

13 Oktober 2017   20:13 Diperbarui: 14 Oktober 2017   17:38 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pribadi. Bukti sejarah sebuah heli hancur dihempas tsunami Aceh

Mobil L-300 melaju menuju blok F untuk mengantar Ikul. Di depan rumahnya Ikul, yang masih TK itu turun menuju rumahnya. Ia berpesan padaku, Pak Wo selamat jalan dan hati-hati ya. Ia turun dan aku dan sopir menuju keluar kompleks. Ketika melewati bangunan penjara, aku melihat dinding penjara yang terletak di pinggir jalan antara Kajhu dan Cot Paya itu sudah rebah. Aku hanya bisa berucap, kuat sekali ya gempa tadi, tanpa teringat apa yang bakal terjadi setelah itu.

Dalam waktu lima menit aku di dalam mobil, lalu singgah di kantor Center for Community Development and Education (CCDE), sebuah LSM yang aku dirikan pada tanggal 30 November 1993 lalu. Pada  saat itu  CCDE beralamat di jalan Laksamana Malahayati km.8. Kajhu, Kecamatan Baitussalam. Aku turun dari mobil, membuka pintu untuk mengambil buku-buku yang kubawa pulang dari Jakarta pada tanggal 20 Desember 2004. 

Buku-buku bekas yang aku kumpulkan dari teman-teman di Jakarta untuk taman bacaan Iqra yang aku dirikan pada tahun 2003 di Manggeng, Aceh Selatan saat itu. Kini sudah pemekaran dan masuk ke wilayah Aceh Barat Daya. Bersama dengan Agus, sang  sopir L300 itu, aku  mengangkat  dua kardus buku. Entah mengapa, tiba --tiba perutku merasa sedikit mules. Akupun masuk ke kamar kecil atau toilet. Namun tidak lama, mungkin karena trauma dengan guncangan gempa tadi, aku keluar menuju mobil sambil menutup dan mengunci pintu. Lalu naik ke L-300  dan meluncur ke arah Kota Banda Aceh.

Di tengah jalan, aku melihat orang-orang masih banyak berdiri di luar rumah. Dalam perjalanan antara kantor dan kota tersebut, di pikiranku muncul sebuah kalimat, Ya Allah, kalau nanti datang gempa lagi,bagaimana ya nasib anak-anak dan isteriku ?  Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Tetapi kami terus meluncur.  Aku tidak melihat ada tanda-tanda bakal datang bencana tsunami yang memilukan itu.

Setiba di Lam Gugob, persisnya dekat masjid Lam Gugob, mobil L-300 yang aku tumpangi berhenti mengambil penumpang lain yang mau pulang ke Manggeng. Saat itu, gempa kedua terjadi lagi. Tetapi tidak sekeras apa yang terjadi di waktu pagi. Kala itu, para penumpang itu merasa ragu untuk pulang. Mereka berkata, kita tunda saja pulangnya. Sementara dari arah Lamnyong, orang-orang mulai berlarian sambil berteriak-teriak. Mereka berteriak, air naik, air naik. Aku merasa bingung. Air dari mana?  Ya, bingung karena tidak ada hujan di pagi itu.

Melihat semakin ramai orang yang berlarian dan ketakutan, aku meminta semua mereka untuk naik ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Mobil tiba-tiba saja penuh dengan penumpang. Wajah-wajah mereka ketakutan dan sambil menangis. Aku meminta mereka tenang. Kami menuju daerah Ule Kareng. Di tengah jalan, aku teringat akan seorang teman. Maka,aku meminta sopir mengantarkan aku ke rumah teman tersebut. Sang sopir mengantarkanku ke rumah teman itu, Yatasrif, teman sekampung dan juga teman sekolah sewaktu di SMP di Manggeng. Aku melihat dia dan keluarganya berada di depan pintu gerbang menghidupkan mobil Kijang capsulnya. 

Aku langsung berkata, aku minta pinjam sepeda motor untuk melihat anak dana isteriku di rumah. Ia memberikan kunci, dan aku mengendarai sepeda motor itu dalam keadaan terburu-buru. Aku menuju daerah Lamreung mau melewati jembatan Lam Nyong. Namun,tiba-tiba aku melihat air di tengah jalan. Aku berbalik mencari jalan lain. Aku pun menuju ke arah sungai. Betapa terkejutnya aku saat itu, aku melihat orang-orang berlari, sapi, kambing dan binatang-binatang lain berlarian. Di dalam sungai ku lihat arus air begitu tajam. Aku menuju ke kanan, ke arah jembatan Cot Iri dan terus melewati daerah kampus Abul Yatama. 

Aku tidak ingat berapa lama waktu yang ku habiskan di perjalanan. Setiba di Lambaro Angan, dekat dengan desa Kajhu tempat aku berdomisili,  aku tidak melihat air. Tetapi setibanya aku di Miruek Taman, dekat masjid, aku melihat batas air. Aku merasa kaget. Lalu, aku menuju sebuah rumah yang menurut ku aman untuk kutitipkan sepeda motor. Di rumah itu kutitipkan semua yang ada di tanganku termasuk uang dan HP.

Tiba-tiba, seorang temanku, Hamdani yang juga penduduk di komplek Pola datang mendekatiku. Ia bertanya, bagaimana Pak Tab? Apakah kita masuk ke kompleks rumah kita sekarang? Ya, kataku. Kita masuk ke sana. Mari kita melihat keluarga kita. Kami melangkah memasuki genangan di semua tempat dan jalan yang kami lewati. Betapa terkejutnya kami, kala melihat ribuan rumah yang ada di wilayah itu hilang. Hanya beberapa rumah yang selamat dari hempasan air saat itu yang tampak. Di atap-atap rumah  yang tersisa, aku melihat ada orang-orang yang selamat. Ya, mereka terselamatkan di atas atap rumah. Betapa remuknya hati ketika melihat rumah sudah tidak ada lagi, apalagi keluarga tercinta, isteri dan kedua anakku saat itu belum ku temui.

Ya Allah, ternyata rumah-rumah dan segala yang ada di daratan itu, termasuk manusia sudah ditenggelamkan oleh gelombang yang maha dahsyat itu. Aku dan Pak Hamdani, terus berjalan menelusuri air dengan berenang menuju mendekati rumah. Aku saat itu tidak menggunakan alas kaki (sandal). Padahal, di dalam air tersebut puing-puing bangunan yang hancur dibawa air sangat berbahaya. Namun, karena ketinggian air yang masih tinggi, serta gelombang yang datang masih ada, kami berusaha untuk naik ke pohon. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan mengikuti badan jalan dan menuju ke sebuah rumah yang masih tersisa dari hempasan tsunami itu. Di sepanjang jalan itu kami melihat mobil-mobil yang tenggelam, mayat-mayat yang terseret air dan juga ada sejumlah orang yang selamat di atas atap rumah dan pohon-pohon.

Setiba di sebuah rumah yang pemiliknya aku kenal baik, karena p[ernah menolongku memberikan kemudahan tanah timbun untuk rumahku saat sebleum tsunami. Ia dikenal dengan sebutan Toke Leman. Ketika aku naik ke rumah itu, di tangga aku melihat ada mayat perempuan dan kemudian aku naik ke lantar 2 rumah, karena ada gempa susulan dan gelombang tsunami yang tampak naik. Di lantai dua itu aku bertemu dengan kawan-kawan yang sudah menajdi korban, ia patah kaki dan menjerit-jerit, ia minta tolong agar aku membawa ke luar dari rumah itu dan mencari tempat aman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun