Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Surat Cinta yang Kini Hilang

2 November 2016   00:50 Diperbarui: 2 November 2016   00:54 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Tadi pagi, ketika mengajar bahasa Inggris di jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri (UIN Ar-Raniry),  yang masih semester I. Aku bertanya pada para mahasiswa tersebut dalam bahasa Inggris. "   Do you often write letters to your parents or brothers, sisters, and even you girl/boy friends? ( Apakah selama ini anda sering menulis surat? Misalnya, menulis surat kepada orang tua, saudara, atau bahkan untuk pacar anda?").  Mungkin pula anda selama ini sering mengirim surat kepada dosen ketika anda berhalangan hadir kuliah?

Hampir semua mahasiswa yang hadir, tampak menggeleng-gelengkan kepala. Artinya, mereka sudah tidak sering menulis surat. Tidak menulis surat seperti orang-orang dahulu yang meminta atau menyampaikan hal kepada orang tua tentang keadaan diri. Geleng-geleng kepala mereka juga memberi makna bahwa mereka sudah tidak pernah lagi mengirimkan surat, yang dengan bahasa yang romantis kepada pacar mereka. Ya, tampaknya tidak pernah lagi.

Dengan demikian, mereka sudah kehilangan sebuah ketrampilan menulis surat. Mereka sudah tidak terbiasa menulis surat lagi. Mereka sudah tidak bisa menulis surat lagi. Berarti ketrampilan olah kata, olah kalimat atau merangkai kata menjadi kalimat bermakna dan strategi merayu lewat surat, sudah tidak dimiliki lagi. Ini adalah sebuah fakta akan hilangnya sebuah ketrampilan, ketika teknologi informasi baru datang dan kebiasaan lama tenggelam dan bahkan mati.

Aku ingat dulu, ketika masih SD dan tidak bisa datang ke sekolah, entah karena sakit, entah karena berhalangan hadir ke sekolah. Orangtua selalu saja memintaku untuk menulis selembar surat yang isinya berhalangan hadir atau karena sakit. Untuk menulis surat tersebut, selalu diawali dengan nama tempat, misalnya Banda Aceh atau Manggeng, atau Jakarta dan sebagainya. Lalu diikuti pula dengan tanggal, bulan dan tahun. Kemudian baru di kepala surat berupa tulisan Kepada Yth, Bapak/Ibu / Wali kelas / di tempat. Diikuti salam dan kemudian menyampaikan pesan tentang ketidakhadiran ke sekolah, yang selanjut adalah penutup dan tanda tangan.

Nah, hampir setiap murid atau siswa memiliki kemampuan menuliskan surat yang dilayangkan kepada guru atau wali kelas. Ya, saat itu, menulis surat menjadi kewajiban bagi setiap murid atau siswa, karena hanya dengan menulis surat, guru atau wali kelas bisa membubuhkan tanda S ( sakit), i (izin) dan a ( alfa)  di daftar hadir setiap harinya.

Guru atau wali kelas biasanya todak menerima pernyataan murid yang mengatakan bahwa si pulan sakit atau minta izin. Kalau sudah ada surat, maka guru atau wali kelas bisa membubuhkan i atau s. Bila tidak maka akan kena huruf a, yang artinya absen atau berhalangan dengan tidak ada kabar.

Ketika aku tamat SMP dan hijrah dari kampung halaman ke kota Banda Aceh,  membuat tempat domisiliku dengan orang tua menjadi sangat jauh. Dalam kondisi demikian, aku harus selalu menyampaikan pesan tentang keadaanku dan tentang lainnya di sepucuk surat yang bisa dikirmkan lewat pos atau lewat bis yang pulang pergi dari Banda Aceh ke kampung halamanku. Aku saat itu sangat mahir dalam menulis surat kepada orang tua dan juga kepada guru.

Bukan saja itu, karena ketika remaja, saat itu kalau ingin bisa meluapkan kata hati, perasaan cinta, rayuan dan sebagainya kepada pacar, satu-satunya alat komunikasi adalah surat. ya, saat itu disebut dengan surat cinta.  Dikatakan surat cinta, karena di dalam surat itu merupakan susunan kalimat yang disusun untuk menyampaikan rasa atau perasaan cinta seseorang, dengan bahasa yang indah dan romantis. Pokoknya, isi surat tersebut penuh dengan pernyataan hati atau pernyataan cinta terhadp seseorang. Surat cinta bisa menjadi pengobat rindu pada orang-orang yang dicintai.

Sesuai dengan zamannya, dahulu orang-orang sangat jago dan pintar dalam mengirimkan surat ke media. Katakanlah surat pembaca yang dikirmkan ke satu media. Biasanya, surat itu adalah suara pembaca. Pembaca bisa menyampaikan isi hati, uneg-uneg serta kritik dan saran dalam surat pembaca yang dimuat di majalah atau di surat kabar. Menulis surat pembaca juga menjadi sebuah keahlian banyak orang, terutama orang-orang yang tumbuh dan dibesarkan dengan sikap kritis. Bisa jadi isi surat itu panjang dan detail. Tentu saja, kondisi masa lalu itu sangat berbeda dengan sekarang.

Apa yang kini sedang berlangsung, ya masyarakat kita yampaknya sudah tidak lagi menulis surat. Tidak perlu lagi repot-repot mengukir kata dan kalimat di lembaran-lembaran kertas dengan menggunakan pena/pulpen dan lainnya untuk menulis sepucuk surat. Juga tidak ada lagi budaya menulis surat untuk orang tua, sahabat dan bahkan pacar. Ini sudah zaman atau era digital.

Era kemajuan teknologi informasi. Semuanya sudah serba modern. Salah satu contoh adalah semua ketrampilan tersebut terampas oleh kemajuan dan perkembangan alat-alat komunikasi seperti handphone yang bisa diguanakan kapan saja dan dimana saja untuk menyampaikan pesan. Semakin hebat lagi, ketika internet menjadi alat komunikasi tercepat dan termurah, orang-orang tidak perlu lagi secara mendayu-dayu menulis di selembar kertas yang menjadi sepucuk surat itu.

Internent membuat pengiriman pesan, bukan hanya tulisan, tetapi juga lisan yang langsung bisa mencapai sasaran. Orang-orang tidak lagi menyampaikan kata-kata romantis lewat surat cinta,  tetapi kini bisa langsung dengan bicara bahkan face to face di depan laptop atau alat komunikasi lainnya. Mereka bisa bermesra-mesraan. Jadi, surat cinta itu sudah hilang.

Hilangnya surat cinta, surat pembaca dan surat kepad orang tua saat ini, memang sudah menjadi pilihan zaman. Memang akan selalu ad yang tergilas oleh setiap kali zaman berubah. Seperti kata pepatah, sekali banjir datang, sekali tebing berubah. Semua ada hikmahnya. semua ada hal positif dan negatifnya. Begitu pulalah denganhilangnya keniasaan orang menulis surat, seperti surat kepada orangtua, guru dan wali kelas serta kepada pacar.  Hilangnya kebiasaan menulis surat tersebut, berarti hilangnya sebuah ketrampilan menulis surat.

Ya sudahlah. Itulah realitas kita saat ini. Sebuah kearifan lokal (local wisdom) akan hilang, ketika zaman berubah. Karena ketika zaman berubah, kita memang harus beribah. Mau bilang apa lagi. ya sudahlah. Kita nikmati saja nikmat perubahan tersebut. Apalagi kita memang tiak pernah mau kembali ke masa lalu, kecuali terus mengejar masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun