Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Keajaiban Allah itu Datang

10 Februari 2016   00:12 Diperbarui: 10 Februari 2016   00:41 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Liah diwawancarai oleh beberapa awak media televisi. Liah menunjukkan foto Arief yang sama persis dengan Ucok yang dikenali oleh Lena. Sontak Lena terkejut, ia seperti tidak percaya bahwa anak yang sering menyewa warnetnya adalah korban tsunami yang terpisah dari keluarganya.

Saat itu pula Lena mengambil foto Liah yang sedang diwawancarai di TV menggunakan hp. Ketika Arif menyambangi warnetnya, Lena menanyakan perempuan yang ada pada ponselnya. “Ini siapa, Ucok kenal?” ujar Liah mencontohkan Lena saat itu. “Ini Amak,” ujar Liah memperagakan Arief.

Arif yang saat itu lebih pandai berbicara Bahasa Padang ketimbang Aceh merasa senang sekali. Saat itu pula Lena menghubungi wartawan lokal untuk membantunya mempertemukan Ucok (Arief) dengan keluarga aslinya. Akhirnya Lena mendapatkan nomor telpon Liah dan menghubungi. “Arief, ini ibu nak,” suara Liah di ujung telpon sambil menangis. “Ia amak, ini Arief, Arief mau pulang tapi tidak tahu jalan, Aceh jauh,” jawab Arief.

Hari itu juga Liah menuju Paya Kumbuh. Mereka sampai disana pukul tiga pagi. Isak tangis tak dapat ditahan Liah ketika memeluk anaknya. Arief, bocah yang dulunya bersih-berisi, kini kurus dan tampak lusuh. Keceriaan di wajahnya setipis alas kakinya.

Maklum, selama beberapa tahun terakhir Arief gelandangan. “Tidur di teras toko, bangun pagi-pagi harus,” ujar Arief terbata-bata. Wajahnya yang hancur akibat siraman air panas membuatnya mentalnya luntur. Ia hanya berbicara sepotong-sepotong dan terbata-bata.

Tidak ada yang mengetahui siapa yang tega menyiram air panas ke wajah Arief. Ia hanya bercerita ketika kejadian itu terjadi, Arief sedang tidur dan tiba-tiba saja disiram air panas ke arah muka.

Meski demikian, kini keluarga Rangkuti sudah lengkap kembali. Anak-anak yang terpisah darinya selama 10 tahun kini sudah kembali bercengkrama. “Saya akan masukkan Arief dan Raudatul ke pesantren,” jelas Liah.

Mereka Ingin Segera pulang Ke Padang Sidempuan

Bertemunya kembali dua buah hati yang hilang selama 10 tahun adalah sebuah kebahagiaan yang tiada tara yang dirasakan oleh pasangan Jamaliah dan Septi Rangkuti bersama keluarga. Kebahagiaan itulah yang membuat keluarga ini ingin memberikan pendidikan kepada kedua buah hati yang kini masih terlihat trauma itu. Arief yang kini berusia 17 tahun dengan perilaku yang masih kekanak-kanakan  dan masih duduk di kelas I SDLB, membutuhkan perhatian khusus untuk mendidiknya. Begitu pula halnya dengan Raudhah yang kini masih duduk di kelas I SMP di Meulaboh, suatu saat ingin menjadi guru. Untuk mewujudkan impian itu, Jamaliah dan Septi Rangkuti merasa tidak mungkin bisa mewujudkannya di kota Meulaboh, sebab di Meulaboh mereka sudah tidak punya rumah. Jamaliah pun tidak punya pekerjaan tetap selain mengerjakan jahitan yang tidak tentu ada. Sementara suaminya Septi Rangkuti, yang punya ketrampilan dengan perbaikan listrik pun, sudah tidak bisa melakukan banyak pekerjaan, karena sulitnya mencari pekerjaan di Meulaboh. Apalagi rumah yang mereka tempati saat ini, adalah rumah pinjaman sementara yang di dalamnya hanya ada satu televisi  14 inci dan di kamar hanya beralaskan tikar. Kondisi ini, mendorong keluarga ini ingin kembali secepatnya ke Padang Sidempuan, Sumatera Utara, karena di kota ini, mereka sudah punya rumah dan bisa melakukan usaha. Sementara putra ke empatnya, Jumadil Rangkuti, ingin segera bisa bersekolah di Padang Sidempuan.

Bantuan Allah itu  Nyata

Keajaiban yang diberikan Allah kepada keluarga Rangkuti itu, mengingatkan aku pada kedua anakku Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunisa beserta isteriku yang hilnag bersama bencana tsunami di kediamanku di desa Kajhu, Aceh Besar saat itu. Aku juga terbayang dan berharap agar keajaiban yang diberikan terhadap keluarga Rangkuti itu terjadi pada diriku. Namum, lamunan itu aku lawan dengan menarik iktibar atau mengambil pelajaran atau hikmah dari bencana itu.

Sesungguhnya kebesaran Allah itu diberikan kepada seseorang tidaklah selamanya harus sama. Aku yakin sekali, bahwa keajaiban yang diberikan Allah kepadaku adalah kemampuan untuk bertahan hidup dan bangkit kembali dari puing-puing kehancuran bencana tsunami tersebut. Allah telah menganugerahi aku dengan banyak hal, rezeki dan banyak sekali yang aku dapatkan dari Allah. Paling tidak aku merasa aku bisa bertrnasformasi dari orban menjadi nara sumber ( transforming from the victim to the resource). Oleh sebab itu, tidak sepatutnya aku merasa cemburu pada keluarga Rangkuti. Aku sadar bahwa segalanya merupakan ketentuan Allah. Aku harus benar-benar pintar dan cerdas bersyukur kepada Allah. Karena selama ini aku merasa bahwa bantuan Allah dan keberasan Allah itu benar-benar nyata. Alhamdulilah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun