Kehilangan dua anak tersayang, mendorong Liah dan suami serta anak tertua berusaha mencari kedua anak yang hilang di sepanjang jalan dan lokasi mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Mereka mencari di tumpukkan-tumpukkan mayat dan pos-pos kesehatan yang tersebar di seluruh Kota Meulaboh. Namun, tidak mendapatkan hasil. Berhari- hari mencari dan tidak berhasil, keluarga ini mencoba peruntungan di Kota Tapak Tuan, Aceh Selatan. Hasilnya juga sama, mereka tidak menemukan kedua anak yang hilang itu.
Tanpa terasa, pencarian berlangsung selama sebulan penuh. Opini masyarakat dan keluarga besar mengerucut dan memutuskan bahwa mereka sudah tiada, layaknya korban tsunami yang lain. Kemungkinan mereka masih hidup setelah sebulan masa pencarian sangat kecil. Mereka menemukan jalan buntu. Tidak ada tanda-tanda mereka masih hidup.
Melihat kondisi kota Meulaboh yang sudah kehilangan asa saat itu, akhirnya keluarga Rangkuti ini memutuskan untuk pindah dari Meulaboh ke Padang Sidempuan, kampung sang suami. Disana mereka masih memiliki rumah.
Di kota ini, keluarga Rangkuti mencoba untuk membesarkan hati dan menerima kenyataan pahit itu. Meski, dalam lubuk hati yang paling dalam, Liah mempercayai anaknya masih hidup, entah dimana.
Hari demi hari mereka habiskan tanpa dua buah hati yang tidak tahu keberadaannya. Dalam kegalauan itu, keluarga Rangkuti kembali menata keluarganya yang sempat hancur. Mencoba ikhlas hingga 10 tahun lamanya dalam penantian yang tidak pasti itu.
Keajaiban Allah itu pun datang.
Pada tanggal 28 Juni 2014, batin Liah kembali bergolak, setelah abang kandung Liah yang berdomisili di Blang Pidie, Aceh Barat Daya menginformasikan, ada sosok gadis remaja yang mirip dengan anaknya yang hilang.
“Abang saya yang di Blang Pidie, Aceh Barat Daya menelpon saya, katanya ada anak korban tsunami yang mirip anak saya,” kata Liah.
Liah tidak langsung menyambangi abangnya di Abdya. Ia ingin abangnya benar-benar yakin bahwa anak itu adalah keponakannya. Lantas abang kandung Liah menanyakan tentang status gadis remaja itu kepada pak Bustamir dan Maryam, pasangan suami-istri yang selama ini mengasuh gadis remaja itu. Sebelum menjumpai Bustamir. Abang kandung Liah mengumpulkan informasi dari warga sekitar tempat Bustamir tinggal. Semua berujar bahwa anak gadis itu merupakan anak korban tsunami yang berasal dari Nias.
Nah, karena disebutkan berasal dari Nias, abang kandung Liah seperti patah arang. Keponakannya itu bukan berasal dari Nias, melainkan Meulaboh. Mereka tidak memiliki sanak famili di Nias. Pun saat kejadian keluarga Rangkuti berada di Meulaboh. Meski demikian, abang kandung Liah ingin sekali memperlihatkan wajah gadis remaja itu kepada Liah. Agar Liah melihat sendiri kebenaran anaknya itu. Akhirnya abang kandung Liah mengambil gambar anak itu menggunakan kamera telpon genggam dan mengirimkannya kepada Liah. Setelah melihat seonggok wajah dalam layar handphone, Liah menangis. Itu anaknya yang hilang.
Keesokan harinya, keluarga Rangkuti bertolak ke Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Kerinduan akan anak perempuan satu-satunya itu sudah tidak terbendung lagi. Ketika tiba di kediaman abang kandungnya, Blang Pidie. Liah langsung mengunjungi rumah Bustamir.