[caption caption="Pelampung kehidupan"][/caption]
Langit di pantai Ule Lheu, Banda Aceh mulai tampak gelap tertutup mendung. Pertanda akan turun hujan. Matahari pun seperti enggan menampakkan wajah. Padahal, waktu saat itu sudah pukul 11 pagi. Anak-anak masih banyak berenang di pantai yang sudah dipagari dengan bebatuan besar usai bencana tsunami, yang dibangung dengan dana yang bersunber dari dana yag dikelola oleh Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh itu. Pantai ini kini menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk bisa berenang dan mandi di air asin, atau air laut.
Di antara banyak pengunjung yang datang untuk menikmati pantai dan mandi-mandi atau berenang, seorang perempuan setengah baya, berdiri di bawah pohon cemara, sambil menawarkan pelampung kepada anak-anak yang mau mandi dan berenang di pantai itu. Perempuan itu adalah petrempuan yang setiap hari Sabtu dan Minggu berada di tempat itu melakukan akvitas ekonominya dengan menyewakan pelampung - pelampung berwarna warni itu. Dengan tenang ia melayani anak-anak yang meminta pelampung untuk berenang di pantai ang sudah dipagari batu- batu besar itu. Sesekali ia duduk termenung di bawah pohon cemara yang mengering itu. Habis bermenung, ia kadankala menumpang dagunya dengan tangannya, tampak matanya seperti menatap kosong. Sekali-kali ia menusap wajahnya dengan kedua tangannya, sambil menanti ada anaknya yang akan menyewa atau mengembalikan pelampungnya. Di raut wajahnya, terpancar kalau ia mempunyai masalah atau menanggung beban hidup yang berat yang membebani hidupnya.
[caption caption="Pengunjung yang sedikit, rezeki pun terjepit"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/09/13/photo-12-55f551578f7e613113323086.png?v=600&t=o?t=o&v=770)
Aku yang sedang duduk di kursi yang letaknya tidak jauh dari tempat perempuan itu menyewakan pelampung mencoba membangun komunikasi. Ya, sambil menunggu kedua anaku Nayla dan Aqila Azalea yang sedang menikmati kegemarannya berenang dan mandi di laut itu. Aku mulai bertanya-tanya tentang aktivitasnya menyewakan pelampung itu. Aku bertanya padanya, Pertanyaan ku yang pertama adalah “ Bu, berapa banyak ibu dapat uang dalam satu hari dari kegiatan menyewakan pelampung ini?”. Ia menjawab, tidak tentu pak. Tergantung pada banyak atau tidaknya pengunjung. Biasanya kalau dahulu, saat banyak orang datang mandi dan berenang ke sini, kita bisa dapat uang hingga Rp 400.000 atau bahkan pernah dapat Rp 500.000,-. Kalau sekarang, tidak lagi pak. Karena orang sudah kurang yang datang. Jadi, kalau pun dapat, paling banyak Rp 300.000 sehari. Bahkan lebih sedikit lagi, yakni hanya sekitar Rp 200.000,- pak. Kegiatan ini pun saya lakukan setiap hari Sabtu dan Minggu saja. Lalu, kalau hari lainnya? Ibu kerja apa? Saya kerjakan apa saja pak, begitu jawabnya. Terkadang, kalau ada yang mengupahi saya untuk menggosok pakaian, ya saya menggosok. Tetapi saya juga sering membuat sapu lidi. Itu juga bukan pekerjaan tetap, karena tidak ada bahan baku, lidi yang bisa saya dapatkan.
Lho, ibu tinggal dimana? Tanya saya lagi. Dia mengatakan dekat dengan pantai Ule Lheu ini, tapi tidak ada lagi pohon kelapa, karena sudah habis dihempas ombak besar tsunami saat itu. Jadi kalau pun saya menekuni usaha itu, saya kesulitas mendapatkan lidi, juga sulit mencari pembeli. Maka, setiap hari Sabtu dan Minggu saya naik sepeda ke tempat ini untuk menyewakan pelampung-pelampung ini.
Karena rasa ingin tahu saya yang masih tinggi, saya bertanya lagi pada perempuan penyewa pelampung itu. Berapa banyak pelampung yang ibu sewakan? Hmm, saya tidak ingat berapa jumlahnya, jawab sang perempuan penyewa pelampung. Wah, kata saya. Bagaimana ibu tidak menghitungnya? Apakah tidak ada yang hilang? Ia pun menjawab, ya tidak apa-apa dan tidak hilang.
Saya merasa geli sendiri, bagaimana seorang penyewa pelampung tidak menghitung berapa banyak pelampungya. Tapi ya sudahlah, itu tidak terlalu penting bagi saya. Saya masih ingin terus bertanya pada perempuan itu.
Nah, karena saya melihat dia melakukan aktivitas itu sendirian, tidak ditemani anak dan suami, saya langsung bertanya, mengapa ibu melakukan aktivitas ini sendirian? Suami ibu mengapa tidak ikutan bersama ibu?
“ Saya sudah pisah dengan suami. Saya mengajukan cerai dan menuntut ia di pengadilan. Sekarang suami saya di penjara”. O ya? Tanya saya lagi.
Ya, katanya. Saya pun melanjutkan pertanyaan, “ Mengapa ibu menuntut ke pengadilan?” dan memenjarakan suami ibu? Ia menjelaskan lebih banyak lagi. Katanya begini. Suaminya itu sangat suka melakukan tindak kekerasan. Dia bukan saja berbicara kotor, kasar dan memaki-maki, tetapi juga angat ringan tangan. Kalau maarah, dia menghempaskan barang-barang yang ada. Juga suka main tonjok saja, hingga muka saya lebam dan menegalami luka. Ia pelaku KDRT. Akhirnya saya ditemani kakak, melaporkan kasus kekerasan ini ke pihak berwajib, lalu diproses dan akhirnya, mengantarkan dia ke penjara. Begitu tutur perempuan paruh baya tersebut.
Ternyata, KDRT yang ia alami bukan baru saja terjadi di dalam hidupnya, akan tetapi mulai dialami sejak lahirnya anak yang pertama hingga ia memiliki 4 orang anak. Oleh sebab itu, kini, walau harus menanggung beban hidup dua orang anaknya yang kini masih duduk di bangku SMA dan yang satu lagi masih duduk di sekolah SD itu, walaupun berat, ia tetap teguh dan tegar membesarkan anaknya dan tetap bersekolah. Penghasilannya yang kecil, memang tidak bisa membuat kedua anaknya mungkin bisa merasakan hidup yang lebih sejahrera. Namun, ia merasa punya tanggung jawab yang besar akan hal itu. Ia meras lebih enak tanpa ada lagi tindak kekerasan yang meghadang dirinya. Namun, Ia masih merasa takut, kalau nanti suaminya keluar dari penjara, akan melakukan balas dendam atau melakukan tindak kekerasan lagi terhadap dirinya.
Kini, ia masih terus melanjutkan aktivitasnya meyewakan pelampung, walau hasilnya sekrang semakin sedikit. Katanya, jumlah pengunjung sudah tidak seperti dahulu yang bisa menghasilkan lebih dari Rp 500.000 sehari. Kalau dua hari saja kita mendapatkan dari jumlah itu, maka satu juta rupiah itu bisa membuat nasib anak-anak lebih baik. Tentu saja begitu, apalagi kegiatan menyewakan pelampung itu dilakukan dari pagi hari hingga sore hari. Untunglah ia tidak harus menyewa lapak tempat ia menyewakan pelampung. Kalau harus menyewakan lagi, akan sangat memberatkan baginya. Semoga Ibu Kh bisa terus mendapatkan rezeki lebih banyak, agar bisa menyekolahkan anak hingga sukses.
Oleh Tabrani Yunis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI