Oleh Tabrani Yunis
KASUS pelecehan dan kejahatan seksual terhadap anak kerap menimpa bocah-bocah negeri ini, tak terkecuali di Aceh. Khusus di Aceh, kasus paling anyar terkait perilaku cabul dan kejahatan birahi itu menimpa dua murid sekolah dasar (SD) di Banda Aceh. Kasus yang banyak menyedot perhatian publik Serambi Mekkah ini, seperti diberitakan oleh berbagai media massa selama sepekan terakhir, melibatkan seorang oknum polisi. Oknum polisi berpangkat brigadir yang diduga memiliki kelainan jiwa dan perilaku seks menyimpang itu, kini sudah ditangkap dan ditahan di Mapolresta Banda Aceh atas laporan orang tua korban.
Sebelumnya, kasus serupa yang jauh lebih tragis juga menimpa seorang murid SD di Aceh Tenggara. Betaria Sianturi (6), murid kelas 1 sebuah SD di Aceh Tenggara, ditemukan sudah menjadi mayat. Ia ditemukan dalam keadaan tangan terikat dan mengapung dalam sebuah kolam kebun jagung di Desa Lawe Loning Aman, pada 8 Februari 2014. Kematiannya amat tragis, karena saat ditemukan warga, posisi korban dalam keadaan terlentang, tanpa celana dalam dengan tangan terikat dan kepalanya tertutup dengan tas sekolah. Menurut hasil visum dokter, korban dibunuh setelah lebih dulu diperkosa (Serambi, 11/2/2014).
Kasus kematian Betaria Sianturi, mengingatkan kita pada kasus Diana, warga Peulanggahan, Banda Aceh yang juga masih 6 tahun. Ia tewas karena diperkosa dan dibunuh oleh pamannya sendiri pada 27 Maret 2013. Kasus ini telah menyulut emosi banyak orang saat itu. Warga yang bersimpati kepada Diana, menggelar berbagai aksi keprihatinan dan mengawal kasus ini hingga proses persidangan di pengadilan. Banyak orang berharap agar peristiwa tragis seperti dialami Diana, tidak akan pernah dilakukan oleh siapa pun di Aceh yang memberlakukan syariat Islam ini.
Namun, kendatipun hukuman berat bakal menjerat para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak, kasus-kasus pemerkosaan dan bahkan berujung dengan kematian tersebut, masih terus terjadi. Apa yang dialami oleh Betaria Sianturi di Aceh Tenggara adalah sebuah bukti nyata. Bisa jadi, selain tragedi yang menimpa Diana dan Betaria Sianturi masih banyak kasus lain yang tenggelam, karena untuk menyelamatkan muka keluarga dan nama desa dari tindakan aib para penjahat kelamin.
Kekerasan seksual
Balai Syura Inong Aceh, sepanjang 2011-2012, mencatat ada 66 kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 2-18 tahun di Aceh. Juga tercatat terjadi sebanyak 994 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh. Total kasus keduanya adalah 1.060 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 561 kasus telah diverifikasi dan diketahui bahwa 73,6% di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Sisanya 26,3% merupakan kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat.
Terkait dengan pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak, dari 66 kasus yang tercatat, sebanyak 27 kasus incest (kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga), baik oleh ayah kandung, paman, abang maupun kakek. Selebihnya dilakukan oleh orang-orang yang dikenal baik oleh korban. (Tempo.co, 30 Maret 2013).
Sebuah realitas di Aceh yang sangat menakutkan, bukan? Apalagi kasus-kasus pemerkosaan anak di bawah umur masih terus terjadi hingga awal 2014 ini. Wajar bila Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait, memprediksi bahwa pada 2014 ini, kasus kekerasan terhadap anak akan meningkat hingga 100% (Tempo.co, 20 Desember 2013).
Di Indonesia, seperti diungkapkan Ruby Khalifah dalam tulisannya “Kejahatan Seksual terhadap Anak: Mengapa Ayah?” di Majalah Potret edisi 70 memaparkan bahwa kasus kekerasan pada anak pada 2013 meningkat. Peningkatan itu menjadi 535 kasus, dari 30-an kasus pada 2012, di mana 42% di antaranya adalah kekerasan seksual. Data yang dikeluarkan oleh Komnas Perlindungan Anak justru dua kali lebih besar, dimana sejak Januari sampai Juni 2013 tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak. Yaitu kekerasan seksual yaitu 535 kasus, kekerasan fisik 294 kasus dan kekerasan psikis sejumlah 203 kasus. Kasus kekerasan seksual pada tahun sebelumnya mencapai 1.075 dimana 17 kasus dilakukan oleh ayah kandung sendiri dan sejumlah 129 kasus dilakukan oleh ayah tiri.
Angka kasus pemerkosaan anak di bawah umur akan semakin besar, bila ada pihak-pihak yang mau melakukan investigasi ke desa-desa. Karena banyak kasus pemerkosaan anak di daerah kita dielesaikan secara damai, dengan selalu merugikan anak, demi menjaga marwah keluarga dan masayarakat desa. Sementara akar persoalan kekerasan seksual terhadap anak tidak pernah diselesaikan.
Semakin seringnya terjadi kasus kekerasan seksual, seperti pemerkosaan terhadap anak di bawah umur di Aceh dan Indonesia, membuat masa depan anak perempuan di Aceh dan Indonesia berada dalam ancaman para penjahat kelamin, baik dari luar rumah, maupun dari dalam keluarga, seperti abang, paman dan bahkan ayah kandung yang bejat. Bila hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin semakin banyak anak perempuan bawah umur menjadi keganasan nafsu setannya para penjahat kelamin tersebut.
Kita tidak perlu bertanya, mengapa hal ini terjadi? Sebab, pelakunya akan selalu beralasan karena silap, karena rumah tangga yang tidak harmonis, dan menyalahkan pengaruh teknologi informasi. Padahal, bila kepala penjahat kelamin memang kotor dan porno, tanpa ada alat komunikasi yang canggih pun, tindakan itu akan dilakukan. Oleh sebab itu, agar hal ini tidak terus terjadi dan mengancam anak-anak, terutama anak perempuan kita, pemerintah sebagai pihak penyelenggara Negara, harus cepat tanggap menghentikan tindakan bejat itu.
Meningkatkan kewaspadaan
Hal itu bisa dilakukan dengan cara: Pertama, pemerintah meningkatkan kewaspadaan (raising awareness) anak dan orang tua akan kemungkinan buruk yang dihadapi anak. Upaya ini bisa dilakukan dengan sosialisasi bahaya kejahatan seksual yang kini mengancam anak. Sosialisasi yang dapat disampaikan lewat berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun lewat kegiatan ceramah di berbagai tempat. Langkah penyadaran ini, akan mampu membuat anak dan orang tua waspada;
Kedua, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum, harus segera melakukan sosialisasi UU KDRT dan UU Perlindingan Anak kepada masyarakat secara intensif dan berkelanjutan. Untuk melakukan sosialisasi undang-undang ini, pemerintah bisa mengaktifkan bahkan mereformasi Badan pemberdayaan perempuan dan perlindugan Anak (BP3A) Aceh, untuk melakukannya.
Ketiga, agar BP3A mampu melakukan aktivitas tersebut, harus dilakukan reformasi di tubuh BP3A. Membuat BP3A lebih proaktif melakukan pencegahan terjadinya tindak kejahatan seksual pada anak. Perubahan pola pikir BP3A itu penting, agar mereka tidak hanya berkutat pada kegiatan jahit-menjahit yang tidak membuka wawasan perempuan dan anak itu.
Keempat, perlu perubahan paradigm berfikir masyarakat yang selama ini tidak melaporkan setiap tindakan bejat abang, paman, ayah tiri, bahkan ayah kandung terhadap anak tersebut, untuk selalu berani dan mau melaporkan kasus itu kepada pihak yang berwajib. Mengambil cara damai dengan mengusir pelaku dari kampung itu, tidak akan membuat pelaku jera. Bahkan besar kemungkinan akan mengulangi tindakan bejat terhadap anak, dan;
Kelima, berlakukan sangsi hukum yang seberat-beratnya kepada pelaku, tanpa pandang bulu. Hal ini perlu, karena hingga saat ini, hukuman mati bagi pelaku masih mejadi bahan perdebatan. Mari selamatkan anak kita dari kejahatan seksual dan penjahat kelamin. Semoga!
Tabrani Yunis, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh. Email: ccde.aceh@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H