Bandung, Senin 16 Oktober 2024. Dalam upaya mendorong digitalisasi di berbagai sektor, pemerintah menggalakkan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai solusi pembayaran non-tunai.Â
QRIS diharapkan dapat mempermudah transaksi, terutama dalam layanan-layanan kecil seperti parkir.
 Di Jalan ABC Bandung, yang dikenal sebagai kawasan perdagangan sibuk, metode ini mulai diterapkan, salah satunya Bapak Agus, seorang tukang parkir yang bekerja di lokasi tersebut.
 Namun, penerapan QRIS justru membawa tantangan tersendiri bagi Bapak Agus, yang merasa sistem ini tidak selalu berjalan sesuai harapan.
Jalan ABC, yang berada di pusat kota Bandung, merupakan salah satu lokasi strategis dengan aktivitas ekonomi yang tinggi. Banyak toko dan gerai di sepanjang jalan ini, membuat kebutuhan akan lahan parkir sangat besar.Â
Tarif parkir resmi di kawasan ini ditetapkan sebesar Rp3.000 per jam untuk sepeda motor dan Rp7.000 per jam untuk mobil atau truk. Namun, meskipun fasilitas pembayaran QRIS sudah tersedia, mayoritas pengguna parkir di Jalan ABC masih lebih memilih pembayaran tunai.
Bapak Agus, yang telah menjadi juru parkir di lokasi ini sudah cukup lama, mulai menggunakan QRIS sejak akhir tahun 2024 ini. "QRIS ini niatnya bagus sih, biar lebih praktis dan nggak ribet urusan kembalian," ujar Bapak Agus.Â
Namun, meskipun tujuannya baik, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa banyak pengguna parkir belum terbiasa dengan metode pembayaran ini. "Masih banyak yang lebih pilih bayar pakai uang cash, terutama yang sudah tua atau ibu-ibu," tambahnya.Â
Bapak Agus pernah harus meluangkan waktu ekstra untuk membantu seorang pelanggan, ibu-ibu yang kebingungan menggunakan aplikasi QRIS di ponselnya. "Saya sampai harus ngajarin caranya scan kode, padahal dia cuma parkir sebentar. Waktu itu jadi lebih lama," keluh Bapak Agus.
Masalah tidak hanya berhenti pada minimnya pengetahuan masyarakat tentang QRIS. Beberapa pelanggan merasa bahwa menggunakan QRIS justru lebih ribet dan memakan waktu lebih lama.Â
"Ada yang bilang,"Udah, Pak, ini uangnya, saya lebihin, saya buru-buru," karena mereka merasa pakai QRIS itu terlalu ribet," cerita Bapak Agus.Â
Pelanggan yang merasa terdesak waktu sering kali lebih memilih untuk membayar tunai dengan nominal lebih besar agar bisa cepat pergi, daripada harus menghabiskan waktu untuk menggunakan QRIS.Â
Bapak Agus mengaku ini menambah kesulitan dalam pekerjaannya, karena niat awal mempermudah malah berujung pada kendala baru.
Selain tantangan dari sisi pelanggan, Bapak Agus juga menghadapi dilema tersendiri ketika banyak pengguna mulai membayar dengan QRIS.
 Meskipun secara teknis pembayaran berhasil masuk ke rekening, tapi bukan ke rekening Bapak Agus melainkan masuk ke Pemkot Kota Bandung. Bapak Agus kebingungan karena setiap hari dia harus menyetor uang tunai kepada kepala juru parkir setempat.Â
Di Jalan ABC, tukang parkir tidak memiliki target jumlah kendaraan yang harus dilayani per hari, tetapi ada setoran harian yang berkisar antara Rp40.000 hingga Rp70.000 per orang.Â
"Setorannya harus uang tunai, tapi kalau banyak yang bayar pakai QRIS, saya jadi bingung.
 Kadang saya pakai uang sendiri dulu buat nutup setoran," ungkap  Bapak Agus. Ini menjadi tantangan baru bagi Agus, yang harus memastikan setoran tetap terpenuhi meskipun pendapatan dari QRIS tidak langsung berbentuk uang tunai.
Kondisi ini menggambarkan bahwa penerapan QRIS, meskipun dimaksudkan untuk memudahkan transaksi, masih memiliki beberapa hambatan di lapangan.Â
Bapak Agus berharap bahwa ke depannya akan ada solusi yang lebih baik, baik dari segi edukasi bagi masyarakat pengguna parkir, maupun dari segi sistem bagi juru parkir seperti dirinya.Â
"QRIS ini sebenarnya bisa membantu, tapi kalau belum semua orang ngerti dan sistemnya belum mendukung, ya jadi repot juga," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H