Masalah tidak hanya berhenti pada minimnya pengetahuan masyarakat tentang QRIS. Beberapa pelanggan merasa bahwa menggunakan QRIS justru lebih ribet dan memakan waktu lebih lama.Â
"Ada yang bilang,"Udah, Pak, ini uangnya, saya lebihin, saya buru-buru," karena mereka merasa pakai QRIS itu terlalu ribet," cerita Bapak Agus.Â
Pelanggan yang merasa terdesak waktu sering kali lebih memilih untuk membayar tunai dengan nominal lebih besar agar bisa cepat pergi, daripada harus menghabiskan waktu untuk menggunakan QRIS.Â
Bapak Agus mengaku ini menambah kesulitan dalam pekerjaannya, karena niat awal mempermudah malah berujung pada kendala baru.
Selain tantangan dari sisi pelanggan, Bapak Agus juga menghadapi dilema tersendiri ketika banyak pengguna mulai membayar dengan QRIS.
 Meskipun secara teknis pembayaran berhasil masuk ke rekening, tapi bukan ke rekening Bapak Agus melainkan masuk ke Pemkot Kota Bandung. Bapak Agus kebingungan karena setiap hari dia harus menyetor uang tunai kepada kepala juru parkir setempat.Â
Di Jalan ABC, tukang parkir tidak memiliki target jumlah kendaraan yang harus dilayani per hari, tetapi ada setoran harian yang berkisar antara Rp40.000 hingga Rp70.000 per orang.Â
"Setorannya harus uang tunai, tapi kalau banyak yang bayar pakai QRIS, saya jadi bingung.
 Kadang saya pakai uang sendiri dulu buat nutup setoran," ungkap  Bapak Agus. Ini menjadi tantangan baru bagi Agus, yang harus memastikan setoran tetap terpenuhi meskipun pendapatan dari QRIS tidak langsung berbentuk uang tunai.