Percakapan yang saya dengar kemarin di bus.
"Itu mainan apa berwarna-warni."
"Ini puzzle pak. Saya suka main ini."
"Oh, begitu. Saya sih gaptek nggak tahu smartphone."
Percakapan antara orang tua dan anak seusia SMP yang duduk tepat di belakang saya menggambarkan keadaan saat ini. Si anak sedang bermain gim di smartphone, dan orang tua duduk di sebelahnya sepertinya ingin tahu.
Zaman sekarang, sulit rasanya melakukan aktivitas sehari-hari tanpa benda kecil canggih tersebut.
Sedikit bukti tentang pernyataan saya, pemandangan saat naik bus maupun kereta api di Jepang, sama seperti ketika naik bus maupun MRT di Jakarta. Sebagian besar penumpang asyik bermain dengan smartphone.
Gawai bisa berfungsi seperti pintu ajaib doraemon, menghubungkan pengguna di dunia nyata, ke dunia maya.
Dunia maya dimana sesuatu tampaknya ada, namun nyatanya tidak ada, ternyata amat digemari. Alasannya, saat berkelana di dunia maya, mungkin orang dapat melupakan sejenak kepenatan yang dirasakan di dunia nyata.
Seperti dunia maya, sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau tidak terjadi (baca:fiksi), memang sudah digemari sejak dahulu.
Jika kita kembali sejenak ke masa sebelum maraknya dunia maya dengan internet sebagai katalisator, hal fiktif sudah digunakan untuk memberi pembelajaran, terutama kepada anak kecil.
Anda mungkin tahu cerita berjudul Christmas Carol karangan Charles Dickens. Cerita dengan tema Natal ini juga sudah dibuat filmnya, dalam versi hitam putih maupun berwarna.
Penggambaran tentang kesengsaraan manusia setelah meninggal, dimana ketika masih hidup dia mempunyai sifat cuek, pelit dan keras kepala, dianggap ampuh agar orang sadar bahwa kehidupan di dunia nyata perlu dijalani dengan baik dan benar.