Indra penciuman saya tidak begitu tajam. Akan tetapi, setiap berada di daerah baru, entah itu kota di negara sama bahkan berbeda negara sekali pun, saya merasa masing-masing mempuyai "bau" berbeda.
Maksud saya bau berbeda ini bukan hanya tentang atmosfernya. Tidak sesimpel perbedaan pada hal yang kelihatan, maupun tidak kasat mata saja. Akan tetapi, dia memadukan semuanya.
Saya beri analogi saja ya, karena memang agak susah menceritakan hal ini.Â
Ketika minum kopi, aroma buah kopi yang sudah diolah memasuki hidung bersama dengan partikel lain. Kemudian sel olfactory di hidung akan menangkapnya dan menyalurkan ke otak. Sehingga kita bisa menikmati sensasi, misalnya ketika saya minum kopi Mandeling kesukaan.
Begitu juga saat memasuki daerah baru. Ketika pertama kali menapakkan kaki, "bau" akan masuk melalui hidung. Kemudian merangsang sel olfactory dan meneruskannya ke otak. Sehingga saya mampu menikmati sensasi (ini tidak kasat mata), sekaligus sambil menikmati pemandangan dan atmosfernya. Semuanya terjadi secara bersamaan, tanpa ada bantuan medium lain (semisal kopi tadi).
Kenapa saya bercerita tentang "bau"?Â
Pada era digital di mana orang dapat dengan mudah mengambil foto menggunakan gadget maupun kamera digital, saya justru  melakukan hal berlawanan (baca: sudah jarang dilakukan).
Saya akan menyajikan 5 foto analog (foto menggunakan kamera analog). Foto analog menjadi pilihan, karena dengan medium ini (setidaknya) "bau" yang saya rasakan saat memencet shutter kamera dapat dengan mudah ditangkap juga oleh pembaca.
Dengan kata lain, melalui foto analog harapannya agar Anda bisa merasakan "bau" (baca: nuansa batin) yang sama ketika saya memotret.
Baiklah kita mulai saja. Foto pertama saya ambil ketika berkunjung ke Meiji Jingu.
Tempat ini merupakan salah satu tempat favorit di Tokyo. Alasannya, selain mempunyai area luas, lokasinya mudah dicapai karena berdekatan dengan spot wisata favorit lain di Tokyo, yaitu Harajuku. Alasan lain, kuil ini terkenal karena Meiji Jingu adalah tempat disemayamkan Kaisar Meiji, yang merupakan kaisar Jepang ke-122.
Saya berkunjung ke sana bersama dengan teman. Anda dapat melihat mereka berjalan di depan. Kami berjalan santai saat itu, tidak seperti kebiasaan orang Jepang yang umumnya berjalan cepat.Â
Perbedaan titik fokus (bahasa kerennya, depth of focus) terasa jelas dengan kamera analog. Ini bisa menciptakan efek seperti gambar 3 dimensi. Anda pun dapat merasakan berjalan bersama orang-orang tersebut, bukan?
Sebagai catatan, gerbang kuil yang terlihat pada foto dalam bahasa Jepang disebut tori-i. Bahannya terbuat dari pohon hinoki yang didatangkan dari Taiwan. Tori-i ini merupakan gerbang kuil terbesar di Jepang.
Berikutnya, mari kita berjalan ke Shibuya.
Saya mungkin tidak perlu bercerita banyak tentang Shibuya. Selain ikon patung Hachiko, Anda tentu tahu spot fenomenal penyebrangan orang yang dalam bahasa Jepang disebut scramble crossing. Keramaiannya dapat Anda simak pada foto, di mana orang terlihat menunggu lampu merah di seberang jalan.
Saat ingin melintas penyebrangan, ternyata hari itu ada demo menggugat salah satu acara yang ditayangkan oleh saluran televisi nasional NHK.Â
Saya sering melihat orang melakukan demo di Shinjuku, namun baru pertama kali menyaksikan orang berdemo di Shibuya.
Sebenarnya saya ingin memotret orang berdemo secara keseluruhan. Namun karena sudah telat, maka saya hanya bisa memotret bagian belakang saja (mobil putih itu adalah bagian paling belakang dari pendemo).
Ketika mengintip eye-finder di kamera analog Olympus XA2 yang selalu saya bawa ke mana-mana, ternyata perempuan di depan menoleh. Saya tidak tahu alasannya kenapa dia menoleh. Mungkin dia merasakan ada aura ganjil dengan kehadiran saya di tengah kerumunan belantara orang di Shibuya? Entahlah.
Untungnya momen ini bisa terekam secara refleks. Saya lupa apakah lelaki bertopi di sebelahnya, yang tak acuh pada demo adalah teman seperjalanannya.
Pada foto, saya ingin menggambarkan keadaan di mana ada 3 orang dengan fokus berbeda. Satu orang ingin melihat demo (saya), kemudian perempuan yang terheran-heran dengan alien memegang kamera, dan lelaki yang tak acuh pada demo.Â
Omong-omong, jika Anda berada di sana, lebih memilih untuk memandang apa atau bagian mana?
Selanjutnya saya ingin mengajak Anda menuju Harajuku.
Seperti Anda tahu, Harajuku adalah salah satu pusat fashion remaja di Tokyo. Selain tentunya di Shibuya, dengan ikon pusat fashion Gedung 109 (dibaca:ichi-maru-kyuu).
Keramaian Harajuku berada di jalan lurus sempit bernama Takeshita Doori. Disini Anda bisa menemukan berbagai macam toko pakaian, pernak-pernik, stationary, bahkan retoran.
Saya tertarik untuk memotret kaos dipajang secara berjejer di salah satu toko. Anda dapat melihat kaos dengan beragam corak dan warna yang sudah agak memudar, karena terkena terik matahari terus-menerus.
Ada kaos dengan tulisan hadouken, salah satu jurus andalan tokoh Ryu dan Ken pada game lawas fenomenal Street Fighter. Jika Anda pembaca setia komik Slam Dunk, di sana ada kaos bertuliskan Shohoku, nama SMA tempat pemain basket yang menjadi inti cerita.
Jurus pamungkas Son Goku di komik/anime Dragon Ball kamehame-ha, tersedia juga. Kemudian ada banyak tulisan lain pada kaos yang tidak bisa saya bahas satu per satu.
Saya merasa, kamera analog dengan pas menampilkan corak dan kadar pudarnya warna. Film Fuji Superia 400 ternyata cocok untuk menampilkan warna-warna kaos, meskipun hari itu cuaca agak berawan.
Jika Anda penggemar kaos, mau pilih model yang mana?
Dari Harajuku, saya mau membawa Anda ke Shin-Ookubo.
Area Shin-Ookubo saat ini dikenal sebagai little Korea di Tokyo. Apa pun yang berhubungan dengan Korea, mulai dari fashion, kosmetik, KPOP, sampai makanan seperti jajangmyeon, bisa Anda temukan.Â
Saya sering mampir ke sana karena biasa berbelanja di toko Indonesia di Ookubo, stasiun sekitar 300 meter dari Shin-Ookubo (berbeda jalur kereta).
Foto saya ambil di warung pernak-pernik seperti gantungan kunci, maskot, stationary yang berhubungan dengan Korea. Saya sebenarnya ingin mengambil foto saat sang ibu melihat ke arah saya, atau setidaknya saat melihat ke depan.
Namun apa daya, gerakan tangan mulai dari mengambil kamera dari dalam tas, lalu menekan tombol shutter, ternyata kalah cepat dengan gerakan sang ibu yang langsung melengos ke bawah.Â
Saya tertarik karena sang ibu terlihat unik dengan mengenakan topi karakter tertentu. Apakah Anda tahu nama karakternya?
Oh ya, pada momen seperti ini, saya biasanya memotret tanpa melihat eye-finder. Apalagi saat itu saya sedang berjalan di keramaian, sehingga tidak bisa berhenti karena akan menghalangi orang yang berjalan di belakang.
Untungnya saya mendapatkan fokus terhadap objek utama. Selain topi unik, saya ingin mengambil foto sang ibu karena di ruangan tokonya ada pendaran warna merah di dinding dan atap, dari temaram sinar lampu bohlam di belakang. Corak latar bisa menambah kekuatan pada objek sang ibu.
Anda pasti mendapati di sudut foto agak berwarna hitam. Memang itulah ciri khas dari kamera lomography LC-A yang saya gunakan. Corak sudut agak hitam seperti ini istilah kerennya disebut vignette. Â
Akhirnya, mari mengunjungi tempat terakhir pada tulisan ini, yaitu di Shinbashi.
Mungkin Anda belum begitu familiar dengan daerah Shinbashi. Akan tetapi bagi orang Jepang khususnya warga Tokyo, Shinbashi terkenal sebagai kota para pekerja.
Jika pergi ke sana pagi hari, maka Anda dapat melihat pemandangan orang berjas lalu lalang.Â
Jangan harap bisa makan siang tanpa menunggu, pada saat jam makan siang. Karena orang pasti mengantre panjang bak ular, bahkan 30 menit sebelum jam makan siang.
Barangkali masalah antrean ini sudah tidak menjadi soal sekarang, karena pegawai umumnya bekerja dari rumah sejak pandemi melanda dunia pada tahun 2020. Saya belum memastikannya karena tidak punya kesempatan untuk pergi ke sana lagi.
Foto saya ambil di Stasiun Shimbashi. Sekarang penampakan stasiun dari dalam tidak seperti di foto, sudah rapi karena direnovasi. Anda bisa melihat bagaimana orang berjalan cepat dan kereta jalur Tokaidou sedang lewat sebagai latar belakang.Â
Saya tertarik mengambil foto karena ada pasangan sedang asyik mengobrol sambil menunggu kereta. Mereka tidak acuh pada kesibukan sekitar, yang saya gambarkan dengan efek gerakan orang berjalan dan kereta.
Jika mengambil foto dengan situasi sama menggunakan kamera digital, maka Anda harus mengatur kecepatan shutter agar bisa mendapatkan efek seperti ini. Akan tetapi karena saya menggunakan compact kamera analog (setelan kecepatan kamera terbatas dan tidak otomatis), ditambah hari sudah agak gelap, maka saya dapat mengambil foto dengan efek ini tanpa bersusah payah.
Sebelum mengakhiri tulisan, mungkin Anda bertanya "hari gini masih main analog"?
Saya tahu ada perdebatan panjang tidak berujung tentang analog dan digital. Akan tetapi saya tidak tertarik untuk membicarakannya di sini.
Menurut hemat saya, orang bebas mengambil foto baik menggunakan kamera analog, maupun digital. Saya menganggapnya sama seperti orang menulis, di mana kita bisa melihat berbagai macam gaya penulisan. Tujuan menulis pun beragam, bukan?
Bagi saya yang terpenting adalah, bagaimana cara kita untuk sejenak (seper sekian detik) "menghentikan waktu", dan mencoba membagikan "potongan" waktu itu kepada orang lain.
Tentu kita tidak boleh lupa bahwa dalam fotografi, berkah sinar yang menembus lensa dan timing, adalah dua hal yang tidak dapat kita prediksi maupun dibuat.
Bukankah begitu pembaca yang budiman?
Selamat berakhir pekan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI