Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Big Data, Apanya yang "Big" sih?

20 April 2022   13:05 Diperbarui: 21 April 2022   10:06 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Big Data| Nabila Nurkhalishah Harris/Kompas.com

Suatu sore di warteg.
Puutaro: "Sialan kemaren gue kagak bisa aktivasi kartu perdana."
Mat Pengki: "Emangnye kenape?"
Puutaro: "Pas gue proses pakek SMS, NIK udah kagak bisa dipakek. Padahal gue belon pernah daptar. Ini pertama kali gue make hape. Pasti deh, ade orang jail nyang makek data gue."

Suatu pagi di lapangan futsal.
Puutaro: "Kenape lo blingsatan kayak begono?"
Mat Pengki: "Iye, gue mo kirim WA ke bini minta bikinin kopi karena sebentar lagi mo balik ke rumah. Tapi kaga bisa karena kuota data gue udah abis."
Puutaro: "Laaahhh."

Suatu malam di pos ronda.
Puutaro: "Eh Pengki, elo percaya kaga, pasangan Mat Baskom ama Kang Ember entu paling paporit buat pemilu 2024 loh."
Mat Pengki: "Entu data darimane?"
Puutaro: "Kate lembaga survei namanye Ngos-ngosan Consulting."
Mat Pengki: "Haaa??!"

Data memang topik yang paling hangat saat ini, khususnya tentang big data. Tiga situasi pada awal tulisan, menggambarkan dua orang mengobrol dengan topik berbeda, namun ada satu kesamaan. Yaitu, ketiganya berkaitan dengan "data", sebagai bagian dari big data.

Beragam artikel tentang big data ada di Kompasiana, apalagi tulisan yang berkaitan dengan komentar dari seorang menteri dalam kaitannya dengan penundaan pemilu. Jika ingin membacanya, Anda bisa mencari dengan kata kunci "big data" di kolom pencarian.

Ada artikel mengatakan komentar sang menteri berdasarkan big data merupakan hoax, karena tidak ada bukti. Penulisnya juga menuntut transparansi, alasannya karena yang berbicara adalah pejabat publik.

Membaca artikel itu, saya jadi agak bingung. Kalau minta bukti, seperti apa atau bagaimana harus dibuktikan? Apakah mau tahu bagaimana algoritmenya sehingga bisa dapat 110 juta data mendukung penundaan pemilu? Atau mau minta data mentah alias isi dari data yang diperoleh?

Bahkan mahasiswa juga menuntut bukti. Akan tetapi seperti orang kebanyakan, mereka pun tidak mengatakan apa dan bagaimana bukti yang mereka mau. 

Jika menuntut bukti tapi tidak mengatakan bukti bagaimana yang diinginkan, saya jadi berpikir apakah mereka (yang statusnya mahasiswa itu) cuma belajar lagu potong bebek angsa, dan tidak diajari, atau minimal belajar berpikir serta menganalisis sesuatu secara logis, sehingga bisa menuntut lebih konkret?

Saya gunakan analogi saja. Big data itu ibarat tepung terigu, dan hasil dari pengolahan big data itu ibarat bakso (ah, bakso lagi bakso lagi), bakwan, mpek-mpek, cilok, siomay dan lainnya.

Jika big data tidak diolah, maka tidak berguna sama sekali. Analoginya, tepung terigu tidak bisa otomatis jadi bakso, bakwan dan kawan-kawannya kalau tidak diolah bukan?

Sehingga analoginya, orang yang mau bukti big data itu, apakah dia mau tahu resep membuat bakso enak, atau bakwan yang joss? Atau ingin tahu tentang proses pembuatannya? 

Di sisi lain saya ingin mahasiswa (dan penulis artikel) merenung sejenak, adakah tukang jualan (bakso, cilok, dsb) yang baik hati mau memberitahukan semua (baca: rahasia "dapur")?

Kenapa mereka tidak membeli "terigu" saja, dan mengolahnya sendiri sehingga bisa menikmati bakso dan lainnya? Murah kok terigu, ukuran 1 kg dijual sepuluh ribu perak di Tokopedia.

Tidak usah jauh-jauh meminta bukti pada pak menteri. Di Kompasiana, kita semua tahu bahwa jumlah page view itu masih menjadi misteri 7 keajaiban dunia maya. Kompasiana pasti tidak mau membuka "dapurnya", alias memberitahu kita tentang rahasia rumus jumlah page view yang mempengaruhi pendapatan K-rewards. 

Kalau kompasianer mendemo ke Palmerah pun, sampai kuda memakai kacamata riben tidak akan diberi tahu. Akan tetapi, kalau sekadar takjil untuk buka puasa saja sih, mungkin dapat kalau kita ke kantor Kompasiana.

Kita kembali ke artikel yang membahas big data. Ada artikel isinya menanyakan dimana data di simpan, siapa yang mengumpulkan, jumlah 110 juta itu tidak sesuai dengan jumlah pengguna Twitter, Meta dan SNS lainnya.

Tulisan itu membuat terpana, sehingga saya cepat-cepat memegang daun pintu terdekat karena binun (baca: bingung akut).

(bleuwire.com)
(bleuwire.com)

Saya bertanya dalam hati, big data itu sebenarnya "benda" apa sih kok semua orang membicarakannya? Big data ini sangat menarik, setara dengan selebriti Korea karena banyak orang menggunjingkannya.

Beda antara keduanya, setelah membaca tulisan tentang big data, saya tidak bisa tercerahkan. Lebih asyik mendengarkan grup musik BTS sih, karena saya bisa menikmatinya sambil ikut bergoyang.

Ada sesuatu yang mengusik pikiran. Sebenarnya apa yang ada di benak orang ketika dia menulis tentang big data? 

Apakah mereka berpikir big data itu seperti bongkahan batu besar? Atau seperti pernak-pernik kecil dengan jumlah banyak, karena ada yang mengatakan jumlah 110 juta data itu banyak sehingga pasti di-mark up 100 kali? Bahkan ada yang tanya dimana disimpan data-data itu?

Memang kenyataannya, definisi dari big data itu beragam. Akan tetapi, harus diingat bahwa paling tidak ada 4 unsur yang harus terpenuhi kalau kita mau berbicara tentang big data. Unsur itu biasa juga disebut 4V.

Pertama adalah Volume. Ini pasti mudah dimengerti, karena memang jumlah data yang banyak (besar), menjadi unsur utama. Dari namanya saja, "big" kan?

Kedua adalah Variety atau keragaman. Jadi datanya itu, bukan saja data yang terstruktur atau mempunyai definisi khusus. Contohnya ketika Anda bermain dengan data menggunakan Microsoft Excel.

Ada juga data yang tidak terstruktur misalnya email, video, gambar, suara dan lainnya. Data-data ini biasanya juga berurutan sesuai waktu. Dengan kata lain, data yang diperoleh saat itu (real time) lebih penting sehingga banyak digunakan.

Karena keragamannya, maka data tidak melulu diperoleh melalui internet. Beberapa data diperoleh melalui sensor yang dipasang di jalan, alat rumah tangga seperti kulkas, pendingin ruangan, dari vending machine, dari kalung yang dipasang pada leher hewan kesayangan, dan lain-lain. 

Data-data ini bisa diperoleh tidak melalui internet, namun melalui jaringan tertutup maupun jaringan khusus. Bahasa kerennya, private net, atau proprietary net.

Ketiga adalah Velocity, atau seberapa sering data diperbarui dan diambil. Data yang sering diperbarui dan diambil, mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan data yang diperbarui seminggu sekali, tiga hari sekali bahkan setiap hari.

Sensor yang dipasang pada alat (istilah kerennya Internet of Thing) saja, bisa memperbarui data setiap detik, bahkan lebih singkat dari itu.

Terakhir, ada unsur Value atau kegunaan. Pengolahan data yang mempunyai nilai adalah salah satu unsur penting.

Seperti analogi tepung terigu yang saya tulis sebelumnya. Jika tidak diolah dan dibiarkan saja, maka tepung akan berjamur. Kalau sudah begini maka tepung harus dibuang. 

Begitu juga dengan data, kalau data tidak diolah atau dianalisis dengan data lain, maka tidak ada gunanya.

Supaya lebih jelas, saya akan memberikan contoh. Anda punya data jumlah warung yang jualan es, kemudian data iklim, lalu data jumlah anak-anak di kelurahan tempat tinggal. Jika mau berjualan es, namun tidak mengolah 3 data yang Anda punya, maka data-data itu tidak berguna (baca: data hanya menjadi sampah saja).

Berbeda jika setelah menganalisis 3 data tersebut, Anda tahu daerah dengan populasi warung es paling sedikit, sesudah itu mencari tahu kapan cuaca dengan terik matahari panas, lalu paham populasi dimana jumlah anak banyak tinggal. Sebagai hasil dari analisis, jika Anda memutuskan untuk membuka warung es di suatu lokasi pada bulan tertentu, kemungkinan warung es akan laris menjadi lebih besar.

Itulah keuntungan dari big data, yang membedakannya dari data lain. Pada mulanya, big data ini istilah marketing seperti bisa Anda simak pada contoh warung es yang sudah saya tuliskan. 

Jika ada orang yang membawa big data ke ranah lain misalnya politik, itu sah-sah saja. Apalagi dalam politik, semua bisa terjadi. Maka kalau ada orang yang menimpali komentar politik yang menyeret-nyeret big data, ya komentarnya harus politis juga. Sesimpel itu kok.

Kemudian yang harus diperhatikan adalah, cakupan dari big data ini sangat luas. Data dari SNS, data pelanggan, data kantor maupun perusahan, multimedia, data sistem log, data website, sensor, pusat operasi, dan lain-lain merupakan bagian dari big data.

Tambahan untuk data dari perusahaan, Meta dan Google yang berduit (baca: punya kekuatan finansial besar), sudah berkutat dengan big data sejak lama. Mereka bukan pemain baru.

Anda tahu, perusahaan tersebut menjalankan bisnisnya dengan sangat otoriter. Pihak manapun tidak akan bisa mendikte, atau mengintervensi mereka, apalagi untuk memaksa mereka membuka "dapurnya", termasuk yang berhubungan dengan big data.

Sehingga, saya pikir agak lucu juga jika ada yang menulis istilah demokrasi big data, seperti saya baca di artikel Kompasiana.

Bagaimana "demokrasi" big data itu juga saya tidak paham, karena data itu hak setiap orang dan hak dari perusahaan yang mengelolanya. Sangat jelas bahwa tidak ada "demokrasi" disana, karena yang berduit akan berkuasa atas data, titik. Tidak ada persamaan hak serta kewajiban atas nama data.

Ada juga tulisan yang mengatakan mereka bukan bagian dari big data. Menurut hemat saya, Anda tidak bisa bebas lepas dan berkata tidak mempunyai hubungan dengan big data. Selama Anda "bermain" di internet, maka suka atau tidak, sadar atau tidak sadar, kita semua adalah bagian dari big data.

Oleh karena itu, undang-undang perlindungan data pribadi (PDP), merupakah hal krusial yang secepatnya harus kita punya. Data pribadi, merupakan hal yang tidak bisa kita anggap sepele.

Saya mau melepaskan unek-unek tentang PDP. Terus terang saya miris dengan kelakuan bapak-bapak entah itu yang mengaku sebagai wakil rakyat, maupun dari pemerintahan. Mengapa masalah otoritas pengawas saja yang dibahas dan menjadi bahan perdebatan?

Kapan RUU PDP mau dibahas kalau hanya berdebat tentang hal-hal yang tidak esensial? Apakah ada udang dibalik bakwan dengan mengulur waktu pembahasan dengan alasan perdebatan otoritas pengawas? 

Semoga saja mengulur waktu pembahasan RUU PDP bukan karena big data ini bisa mendatangkan "big money". Entahlah, mungkin hanya rumput bergoyang yang tahu jawabannya.

Sebelum menutup tulisan, saya ingin bertanya kepada Anda. Setelah membaca tulisan ini, apakah sudah ada gambaran apa dan bagaimana big data itu?

Atau, masih bingung tentang perbedaan "big" pada big data, dengan "big" pada Big Mac, bahkan "big" yang dilekatkan pada Big Foot?

Jika masih bingung juga, coba cari jendela terdekat dan pegangan di sana. Ups, maksud saya tidak usah bingung karena pedomannya adalah, cukup ingat 4V yang sudah saya tuliskan. Jangan khawatir juga kalau belum mengerti. Pemahaman memang tidak bisa terjadi secara instan. Hanya kopi yang bisa instan, itu kata Mat Pengki.

Jangan terlalu bersuka ria berlebihan dengan istilah teknologi keren seperti big data, metaverse, AI, Industry 4.0, dan lainnya. Yang terpenting adalah, kita harus selalu memikirkan dan memahami esensi teknologi tersebut, bukan pemanis atau hal-hal diluar itu.

Dua tahun lagi akan pemilu. Nanti, pasti akan ada orang yang menggunakan istilah teknologi tanpa memperhatikan esensinya, untuk kepentingan golongan maupun pribadi.

Mari kita gunakan istilah teknologi secara bijak. Agar tidak membuat pembaca gelagapan dan kehabisan napas karena "tenggelam" dalam banjir istilah. 

Dengan menggunakan istilah teknologi secara bijak, diharapkan Indonesia bisa selamat menyongsong era teknologi baru yang pasti akan (sudah) tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun