Jika big data tidak diolah, maka tidak berguna sama sekali. Analoginya, tepung terigu tidak bisa otomatis jadi bakso, bakwan dan kawan-kawannya kalau tidak diolah bukan?
Sehingga analoginya, orang yang mau bukti big data itu, apakah dia mau tahu resep membuat bakso enak, atau bakwan yang joss? Atau ingin tahu tentang proses pembuatannya?Â
Di sisi lain saya ingin mahasiswa (dan penulis artikel) merenung sejenak, adakah tukang jualan (bakso, cilok, dsb) yang baik hati mau memberitahukan semua (baca: rahasia "dapur")?
Kenapa mereka tidak membeli "terigu" saja, dan mengolahnya sendiri sehingga bisa menikmati bakso dan lainnya? Murah kok terigu, ukuran 1 kg dijual sepuluh ribu perak di Tokopedia.
Tidak usah jauh-jauh meminta bukti pada pak menteri. Di Kompasiana, kita semua tahu bahwa jumlah page view itu masih menjadi misteri 7 keajaiban dunia maya. Kompasiana pasti tidak mau membuka "dapurnya", alias memberitahu kita tentang rahasia rumus jumlah page view yang mempengaruhi pendapatan K-rewards.Â
Kalau kompasianer mendemo ke Palmerah pun, sampai kuda memakai kacamata riben tidak akan diberi tahu. Akan tetapi, kalau sekadar takjil untuk buka puasa saja sih, mungkin dapat kalau kita ke kantor Kompasiana.
Kita kembali ke artikel yang membahas big data. Ada artikel isinya menanyakan dimana data di simpan, siapa yang mengumpulkan, jumlah 110 juta itu tidak sesuai dengan jumlah pengguna Twitter, Meta dan SNS lainnya.
Tulisan itu membuat terpana, sehingga saya cepat-cepat memegang daun pintu terdekat karena binun (baca: bingung akut).
Saya bertanya dalam hati, big data itu sebenarnya "benda" apa sih kok semua orang membicarakannya? Big data ini sangat menarik, setara dengan selebriti Korea karena banyak orang menggunjingkannya.
Beda antara keduanya, setelah membaca tulisan tentang big data, saya tidak bisa tercerahkan. Lebih asyik mendengarkan grup musik BTS sih, karena saya bisa menikmatinya sambil ikut bergoyang.