Apakah Anda yakin anak SD dapat bercakap dengan orang Rusia dan Prancis, masing-masing menggunakan bahasa Rusia dan Prancis?
Kalau saya sih yakin. Mungkin bukan sekarang, namun tidak lama lagi kita bisa melihat pemandangan tersebut ketika bermain dalam dunia metaverse. Tentu 3 orang yang terlibat percakapan nantinya menggunakan avatar.
Seperti kita baca pada banyak tulisan, kata metaverse pertama kali digunakan oleh  Neal Stephenson dalam novelnya berjudul "Snow Crash" yang dirilis tahun 1992.
Akan tetapi bagi saya, konsep metaverse sebenarnya sudah digunakan dalam man-ga "Koukaku-Kidoutai" (judul bahasa Inggrisnya "Ghost in The Shell"). Shiro Masamune merilis man-ga ini pertama kali pada majalah man-ga Young Magazine tahun 1989, jauh sebelum novel Stephenson dirilis.
Berbicara tentang metaverse, Anda pasti membayangkan kata kunci XR (istilah untuk Virtual Reality dan Augmented Reality), blockchain, 3D, dan 5G (atau koneksi internet dengan kecepatan tinggi tanpa latency).
Sebelum membaca tulisan lebih jauh, saya ingin informasikan kepada Anda bahwa tidak ada pembahasan metaverse dengan kata kunci tersebut. Ada banyak alasan kenapa begitu.
Untuk menghemat ruang tulisan dan waktu, saya tidak dapat menuliskan semua alasan. Satu saja alasan yang bisa dibagikan dengan senang hati, yaitu saya terinspirasi menulis tentang metaverse saat menikmati bakso!
Ya, Anda tidak salah baca. Benda bulat gurih dan kenyal bewarna abu-abu itulah yang menjadi inspirasi tulisan.
Jika Anda pernah membaca dua tulisan terbaru sebelum artikel ini, tentu tahu bahwa saya sedang mudik (tepatnya WFH). Nah, selama mudik itu, saya selalu tergoda oleh bunyi-bunyi penjaja makanan keliling.
Berhubung sekarang sering hujan, dan kebetulan tukang penjual bakso kerap lewat depan rumah, maka tembok pertahanan (untuk tidak tergoda dan membeli makanan yang ditawarkan) yang dengan gigih saya pertahankan akhirnya "runtuh". Nah, saat menikmatinya, muncullah ide menulis metaverse dengan analogi bakso.
Langsung saja ya. Ada 5 hal yang saya ingin bahas mengenai metaverse dengan analogi bakso.
Pertama, dunia metaverse tahap awal kelihatannya akan berdiri sendiri. Maksudnya begini. Anda dapat masuk ke dunia virtual tour platform Skywhale yang dibuat oleh maskapai penerbangan Jepang ANA. Akan tetapi Anda tidak bisa masuk atau menggunakan layanan dunia virtual Dokodemo-doa yang dibuat oleh Travel DX.Â
Anda harus keluar dari satu platform metaverse buatan satu perusahaan/badan usaha, untuk masuk ke platform lain buatan perusahaan lain. Konten dari satu dunia metaverse, pasti berbeda dengan lainnya.
Ini persis seperti bakso, dimana bakso satu dengan lainnya pasti terpisah. Ukuran masing-masing bakso pun tidak sama, meskipun kita membeli dari penjual yang sama. Dengan catatan, abaikan bakso beranak, yaitu bakso besar yang di dalamnya terdapat beberapa bakso lebih kecil.
Kedua, dunia metaverse dengan alat pendukungnya sekarang, tidak memungkinkan bagi kita untuk dimainkan terus menerus dalam waktu lama.Â
Tidak ada data yang menyebutkan berapa lama orang dapat nyaman bermain di dunia metaverse. Karena selain tergantung konten apa yang dilihat, setiap orang tentu mempunyai ketahanan (mental dan fisik) berbeda.
Sebagai catatan, anjuran menggunakan VR headset adalah selama satu jam. Setelah itu orang harus beristirahat selama kurang lebih 30 menit sebelum melanjutkan permainan. Alasannya, terlalu lama menggunakan VR headset atau AR goggle, selain dapat berpengaruh pada kesehatan mata dan tubuh (fisik), mental juga bisa terganggu.
Ini saya pikir sama dengan bakso. Jika kebanyakan makan bakso, terutama dengan kandungan vetsin berlebihan, tentu tidak baik bagi tubuh.Â
Jangan pula lama-lama makan bakso, apalagi kalau Anda cuma membeli seribu perak menggunakan mangkok sang penjual. Karena tukang bakso kan perlu segera mencari rezeki di tempat lain. Kasian dong kalau dia harus menunggu Anda selesai memakai mangkok yang merupakan alat utama penjual bakso.
Ketiga, boros. Berselancar dalam dunia metaverse pasti membutuhkan pertukaran data (data dikirim dari server lokasi sistem metaverse ke gawai atau PC, dan sebaliknya yaitu data dikirim ke server atas respon Anda) yang tidak sedikit.Â
Sebagai gambaran, jika Anda melakukan pertemuan melalui Zoom, maka rata-rata membutuhkan 800 MB untuk pertukaran data. Jika Anda menggunakan metaverse, maka kebutuhan data bisa berkali-kali lipat! Bisa dibayangkan betapa borosnya itu.
Ini tentu berpengaruh pada rupiah yang Anda keluarkan untuk membeli kuota data. Jika Anda berlangganan provider penyedia koneksi internet, maka tidak perlu khawatir karena berapapun jumlah data Anda pakai, tidak berpengaruh pada pembayaran.
Hal yang sama akan terjadi jika Anda setiap hari makan bakso, atau jika Anda makan bakso sehari tiga kali (Ah, mungkin tidak ada orang makan bakso tiga kali sehari ya). Kalau hal ini terjadi, maka "menteri keuangan" rumah tangga bisa mengomel seharian tanpa henti.
Keempat, kecepatan koneksi internet. Jika Anda ingin nyaman bermain di metaverse, maka kecepatan koneksi internet adalah koentji. Selain kecepatan, latency (tidak ada jeda/delay) juga memengaruhi kualitas permainan.
Sama halnya dengam bakso. Anda sebaiknya makan bakso cepat-cepat selagi masih panas. Sebab jika Anda terlalu lama memakannya, misalnya karena terlalu sibuk dengan gawai membaca tulisan ini, maka dijamin mi akan melar dan membesar sehingga tidak enak lagi untuk dinikmati.
Kelima atau terakhir adalah konten yang menarik. Ini sebenarnya tidak terbatas pada metaverse saja. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa konten yang menarik, akan menjadi magnet bagi orang untuk datang dan menggunakannya.
Sebaliknya jika konten membosankan, maka orang pasti enggan untuk masuk, atau sekadar mengintip maupun singgah sejenak. Apalagi jika kontennya berbayar, maka membuat konten metaverse yang menarik sangat memengaruhi jumlah pengguna.
Bakso juga begitu. Kalau tidak ada saus tomat, kecap, sambal warna-warni dan daun sawi walaupun biasanya kebanyakan batang sawi saja, tentu tidak menarik dan tidak akan laku.
Itu sekilas cerita analogi metaverse menggunakan bakso. Metaverse adalah "barang" populer saat ini. Sehingga bagi saya, metaverse itu setara dengan bakso, yang juga populer terutama saat hujan.Â
Saat ini "jajanan" metaverse dengan aneka "rasa" dan "gaya", bisa Anda temukan dengan mudah di Kompasiana.
Semua orang bebas "menjual" gagasan atau pengetahuannya tentang "bakso" (baca: metaverse), dan bebas untuk meraciknya dengan bumbu yang diinginkan. Terserah nanti apakah para "pembeli" bisa puas, kenyang, atau sebaliknya malah sakit perut, tidaklah menjadi soal.
Metaverse memang menarik. Para pakar berpendapat bahwa metaverse merupakan penerus atau tahapan berikutnya dari internet. Mereka menyebutnya sebagai koneksi sosial antarindividu.Â
Komunikasi (koneksi sosial) antara individu dengan menggunakan avatar, merupakan hal lumrah dilakukan di dunia yang secara fisik tidak ada wujudnya, namun juga tidak sepenuhnya maya.
Di dunia internet (dan juga pada metaverse), kedudukan individu menjadi lebih menonjol. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Yamaguchi Yasuo dari Universitas Kyoto, bahwa di dunia internet, sudah lazim terjadi dimana "aku" sebagai individu, lebih menonjol dibandingkan dengan "kita" sebagai suatu komunitas.
Lalu apa yang mesti kita lakukan menyambut euforia metaverse?
Menurut hemat saya, kita tidak perlu bersukaria dengan istilahnya, seperti sudah terjadi selama ini dalam hubungannya dengan teknologi. Sebut saja istilah A.I, Industry 4.0, Â blockchain, NFT, dan sebagainya yang marak digunakan di mana-mana.
Istilah memang penting, namun bagi saya menggunakan "istilah" saja ibarat makan bakso setengah matang (catatan, saya tidak sedang menyindir jika ada orang yang senang makan bakso setengah matang ya).
Universitas sepertinya juga sedang mengembangkan metaverse untuk kepentingan perkuliahan.Â
Untuk lebih mendalami pemahaman tentang metaverse, selain pengembangan konten metaverse, penting juga bagi civitas academica memikirkan esensi dari metaverse. Kemudian, memikirkan kendala yang ada saat ini, dan berusaha menemukan jalan keluarnya.Â
Contohnya,  bagaimana nantinya bisa menyatukan/menghubungkan "bakso" metaverse antaruniversitas. Sehingga pengguna yang sedang menikmati metaverse universitas A, bisa langsung menikmati konten berbeda di universitas B, C, D dan seterusnya.
Baiklah pembaca yang budiman. Ternyata hujan turun lagi di tempat saya. Berhubung sebentar lagi tukang bakso langganan akan lewat depan rumah, maka saya sudahi tulisan sampai disini.
Jika Anda masih bingung apa dan bagaimana metaverse, mungkin sekali-kali bisa makan bakso, sambil merenungi 5 poin yang sudah saya bahas. Dengan begitu mudah-mudahan Anda bisa dengan perlahan tapi pasti, "terhubung" dengan metaverse, sambil membantu pergerakan ekonomi.Â
Sekarang, saya mau mencari mangkok kesukaan yang bergambar ayam jago ya. Sebab saya biasanya menggunakan mangkok sendiri, supaya penjual bakso bisa cepat meracik bakso, kemudian tanpa menunggu bisa berjalan untuk mencari rezeki lagi di tempat lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H