Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cilok Superhighway

2 April 2022   17:00 Diperbarui: 2 April 2022   17:01 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Information Superhighway (Bill Frymire via Medium.com)

Suhu udara panas "menampar" muka ketika turun dari pesawat yang membawa saya melintasi samudra Pasifik. Setelah terbang selama 8 jam dan menempuh jarak sekitar 5748 Km, akhirnya GA875 mendarat dengan mulus di Bandar Udara Soekarno Hatta Tangerang, Banten.

Suatu hal yang wajar jika udara Jakarta dan Indonesia pada umumnya panas, karena menurut BMKG, laju pemanasan di Indonesia 1,4 kali lebih cepat dari laju pemanasan global.

Jam tangan menunjukkan waktu sekitar pukul 6 sore, ketika saya berjalan menyusuri jalur menuju pintu kedatangan. Suasana masih terang, meskipun matahari sepertinya malu untuk menampakkan diri dan bersembunyi dibalik awan tebal.

Ternyata jarak dari garbarata menuju loket imigrasi agak jauh. Ketika masih kurang lebih sepertiga perjalanan, saya melepas hoodie karena butiran keringat sebesar biji jagung berlomba untuk keluar dari persembunyiannya. 

Maklumlah cuaca Tokyo masih dingin ketika saya meninggalkan negara matahari terbit. Sehingga hoodie (atau bisa juga jaket agak tebal) merupakan pakaian wajib, apalagi bagi orang yang lahir di daerah tropis.

Sekitar setengah perjalanan, banyak kursi ditaruh di kiri kanan jalan. Kursi jumlahnya sekitar seratusan, namun semuanya kosong. Setelah berjalan beberapa saat, ternyata ada pemeriksaan PCR bagi orang yang baru saja tiba dari luar negeri.

Saya baru sadar, sepertinya kursi-kursi itu digunakan untuk menunggu antrean, jika penerbangan yang membawa banyak orang tiba bersamaan. Saya juga membaca koran setelah berada di sini, bahwa ada orang yang menghabiskan waktu sekitar 2 sampai 3 jam untuk antrean pemeriksaan PCR.

Garbarata Bandara Soetta (dokpri)
Garbarata Bandara Soetta (dokpri)

Untunglah saat saya tiba di bandara Soetta, tidak banyak orang mengantre. Saya hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit saja untuk tes PCR beserta pemeriksaan di loket imigrasi. 

Saya sudah mendaftar sertifikat vaksin pertama, kedua dan booster pada eHAC (electronic Health Alert Card) yang sudah terintegrasi dengan aplikasi Peduli Lindungi. Pemeriksaan bisa berjalan dengan lancar karena saya sudah mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan melalui aplikasi tersebut.

Setelah mengambil bagasi dan berjalan keluar, petugas dari hotel ternyata sudah menunggu di pintu kedatangan. Oh ya, saya tiba tanggal 20 Maret lalu, sehingga wajib menjalani karantina selama satu hari.

Dalam perjalanan, saya takjub melihat pemandangan karena banyak gedung dan tempat baru yang saya tidak kenal sebelumnya. Ketika pulang tiap tahun saja saya selalu kagum. Apalagi sekarang setelah 3 tahun tidak menghirup udara panas di Jakarta.

"Seperti Urashima Taro", begitulah keadaan saya ketika melihat suasana Jakarta, kalau digambarkan dengan idiom Jepang. Sebagai catatan, Urashima Taro adalah tokoh cerita dongeng anak, dimana dia menjadi linglung saat kembali ke rumah setelah mengembara di istana bawah laut.

Meskipun semua terlihat berubah, hanya ada satu saja yang tidak pernah berubah dari Jakarta, yaitu kemacetan! Tak apalah, hitung-hitung untuk melatih kesabaran, karena selama menggunakan transportasi umum di Jepang, saya belum pernah terjebak kemacetan.

Sesampai di hotel, petugas dengan sigap melayani dan mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan untuk prosedur karantina. Beberapa orang juga terlihat mengantre. Saya tidak tahu apakah mereka juga baru tiba dari luar negeri, karena tiap pendatang dijemput dengan mobil (tepatnya taksi silverbird) terpisah.

Setiba di kamar setelah semua prosedur administrasi selesai, melalui jendela hotel saya bisa melihat keramaian Jakarta. Sepertinya roda ekonomi sudah mulai bergerak kembali, setidaknya menurut pengamatan kasat mata.

Mobil dan motor terlihat saling mendahului di jalan. Sementara banyak juga orang berjalan, maupun berdagang di trotoar. Tidak kalah dengan keramaian orang, gedung yang berdiri megah maupun dalam tahap pembangunan pun, seakan berlomba ingin menunjukkan siapa paling dahulu yang bisa meraih langit.

Sapa suru datang Jakarta (dokpri)
Sapa suru datang Jakarta (dokpri)

Keesokan harinya, karena hasil tes PCR dinyatakan negatif maka saya boleh pulang ke rumah. Setelah menyantap hidangan nasi goreng dihiasi ayam goreng, irisan tomat dan mentimun serta kerupuk, dan sesudah mencuci mulut dengan irisan buah melon dan menggelontornya dengan segelas susu dingin, saya menuju lobi untuk mengurus administrasi serta mengambil paspor yang ditahan.

Kini setelah beberapa hari di rumah, saya bisa mengalami sendiri roda perekonomian mulai menggeliat setelah masa pandemi yang panjang. Pengalaman ini berdasarkan pengamatan saya melalui aktivitas tiap pagi.

Rutinitas setiap pagi, saya berjalan ke lapangan dekat rumah yang kini menjadi arena olah raga, dilengkapi jalur untuk joging atau sekadar berjalan.

Lapangan ini dekat dengan SD dan SMP, sehingga saya bisa menemukan banyak orang berjualan disana. Ada penjual bubur ayam, bakso, soto, makanan jajanan pasar, nasi uduk, bahkan berbagai jenis minuman.

Sebagian besar masyarakat menaati protokol kesehatan dengan memakai masker. Walaupun ada satu dua orang yang bandel tidak menggunakan masker, atau letak masker diturunkan hingga hanya menutup dagu/jenggot.

Untuk mengganjal perut setelah capek keliling lapangan, saya membeli cilok karena sudah lama tidak mencobanya. Terakhir kali saya menikmatinya mungkin ketika duduk di bangku SMP. Sekadar informasi bagi Anda yang mungkin belum tahu, cilok terbuat dari campuran tepung terigu dan tapioka, biasanya dimakan dengan bumbu kacang.

Sesudah mengunyah cilok, ternyata rasa dan aroma agak berbeda dengan cilok yang biasa saya makan. Seingat saya, dahulu cilok tidak mempunyai rasa selain rasa terigu/tapioka. Namun sekarang, cilok rasanya seperti bakso. Saya tidak tahu apakah cilok yang dijual orang lain juga mempunyai rasa dan aroma sama.

Sebenarnya mudik kali ini saya tidak sepenuhnya liburan. Saya harus bekerja dari rumah beberapa hari (istilah kerennya WFH, orang Jepang menyebutnya remote work). Kali ini saya bisa tinggal lebih lama di Indonesia, karena saya biasanya hanya mengambil cuti 2 minggu saat nataru.

Jakarte punye cerite (dokpri)
Jakarte punye cerite (dokpri)

Sebelum mengambil kepusan untuk WFH dari Indonesia, ada rasa khawatir karena di rumah belum ada koneksi internet kabel melalui ADSL maupun fiber optik. Apalagi 3 tahun lalu, koneksi nirkabel internet melalui koneksi seluler belum stabil dan lambat karena teknologinya masih menggunakan sistem 3G.

Akan tetapi, kekhawatiran sirna karena ternyata sambungan nirkabel internet melalui koneksi seluler amat stabil dan throughput (kecepatan koneksi) juga tinggi. Koneksi sudah menggunakan sistem 4G, sehingga ketika saya mengukurnya melalui aplikasi, kecepatan transfer data bisa mencapai 20 Mbps untuk downlink (sinyal dari menara BTS ke gawai), dan 15 Mbps untuk uplink (sinyal dari gawai ke arah menara BTS).

Saya tidak pernah mengalami putus koneksi ketika mengakses email, Office365, dan web sistem operasional untuk keperluan kantor. Bahkan ketika melakukan meeting melalui Zoom maupun Teams dengan membuka kamera, tidak ada hambatan maupun buffering (sinyal berhenti atau tersendat) yang terjadi.

Pada tahun 1990 saat pemerintahan Bill Clinton, Al Gore mencetuskan ide Information Superhighway. Ini merupakan rencana ambisius kala itu, dimana semua koneksi di seluruh penjuru Amerika akan ditingkatkan kecepatannya dengan mengunakan fiber optik.

Di Indonesia menurut hemat saya, Information Superhighway terjadi beberapa tahun belakangan ini. Saat ini koneksi seluler sudah menggunakan teknologi 4G (meskipun jaringan 3G masih digunakan). Bahkan di area sirkuit Mandalika, kabarnya jaringan sistem 5G sudah operasional.

Dengan meningkatnya kecepatan koneksi internet, didukung harga perangkat dan biaya koneksi yang relatif mudah dijangkau masyarakat, maka pola hidup masyarakat juga sedikit banyak berubah. 

Anda bisa berpendapat bahwa perubahan ini menuju ke arah positif, atau boleh saja berpendapat secara ekstrem bahwa perubahan saat ini menuju ke arah sebaliknya (negatif), tergantung dari sudut pandang yang dipakai.

Satu yang saya ingin katakan sebagai penutup tulisan kali ini, bahwa segala sesuatu pasti berubah. Tidak ada yang kekal.

Saya selalu optimis akan semua perubahan. Seperti ketika saya menikmati cilok di lapangan yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Dengan cilok rasa bakso, rasanya beruntung karena saya bisa mencicipi dua makanan yang berbeda, sekaligus. 

Ditambah lagi, ketika makan cilok saya bisa sambil akses email dan sistem log kantor, karena koneksi nirkabel internet melalui jaringan seluler juga sudah mengalami perubahan yang signifikan.

Di dunia ini, perubahan adalah suatu keniscayaan. Tinggal bagaimana Anda (termasuk saya), menyikapi dan mengambil manfaat atas perubahan itu.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun