Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

BRIN, Mission (Im)possible?

9 Januari 2022   18:00 Diperbarui: 11 Januari 2022   16:47 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peneliti sedang mengembangkan vaksin covid-19. Sumber: Shutterstock/Blue Planet Studio via Kompas.com

“Dirty Sexy Politics” adalah buku yang ditulis oleh Meghan McCain. Buku ini dirilis pada tahun 2010, menceritakan tentang memoar pemilu. Ayah Meghan sendiri adalah almarhum senator John McCain, yang menjadi kandidat pilpres Amerika pada tahun 2008.

Meminjam judul buku tersebut, agak susah untuk mengatakan bahwa politik itu kotor. Alasannya, jawaban bisa berbeda tergantung dari sudut pandang mana kita berbicara.

Akan tetapi, lebih mudah bagi saya untuk mengatakan bahwa politik itu “seksi”. Kenapa bisa begitu? Karena politik itu adalah “bumbu” yang lebih “menyedapkan” dibandingkan dengan ajinomoto.

Coba saja tambahkan politik pada agama. Pasti terlihat dan terasa lebih “seksi” bukan? Makanan pun kalau dibumbui politik, terasa lebih keren. Misalnya saja, mungkin Anda ingat akan politik nasi goreng?

Begitu juga ketika Megawati diangkat sebagai ketua dewan pembina BRIN. Kita bisa melihat banyak tulisan yang mengatakan itu adalah politisasi iptek.  Terbukti kan bahwa kalau ada bumbu politik pasti akan menjadi "seksi". Semua orang tiba-tiba merasa punya hak untuk berkomentar.

Saya tidak ingin berpolemik tentang ini. Satu saja ingin saya katakan, bahwa Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang dilebur menjadi BRIN itu, mengurusi hal-hal strategis. Misalnya saja BATAN mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan nuklir, dan LAPAN dengan hal-hal luar angkasa.

Menurut berita di berbagai media, kita tentu tahu bahwa ada beberapa orang yang menjadi pegawai lembaga negara, terbukti sudah terpapar ideologi selain Pancasila. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita abaikan.

(Sumber: hulu.jp)
(Sumber: hulu.jp)

Jadi menurut saya wajar saja jika ketua dewan pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dijabat oleh orang dari BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila). Lagi pula, dewan pengarah juga beranggotakan orang-orang yang tidak usah diragukan lagi kemampuannya. Seperti Sri Mulyani, kemudian beberapa anggota dewan pengarah adalah ahli pada bidangnya masing-masing. Bahkan 2 anggotanya bergelar guru besar!

Baiklah, saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang polemik tersebut. Saya hanya ingin menulis tentang beberapa pekerjaan rumah bagi BRIN ke depan. Ada beberapa misi yang harus diemban.

Contohnya, sebelum peleburan LPNK, saya mengamati ada banyak tumpang-tindih pada teknologi yang diurus oleh masing-masing lembaga. Pengalaman pribadi ketika pernah berurusan dengan proyek Sistem Informasi Geografi (SIG), saat itu sedikitnya ada 3 LPNK yang terlibat yaitu BPPT, LAPAN dan BIG (dahulu bernama Bakosurtanal). Alasannya, masing-masing LPNK tersebut punya divisi/unit yang berhubungan dengan SIG.

Dengan dileburnya LPNK menjadi BRIN, maka saya berharap tidak ada lagi tumpang-tindih penelitian dan pengembangan (litbang). Dengan kata lain, tidak ada lagi proyek sejenis yang dilakukan oleh banyak lembaga negara. Peleburan ini diharapkan bisa meningkatkan efisiensi, dan yang terpenting adalah anggaran negara bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Apalagi jika kerumitan birokrasi dapat diberbaiki (baca: dirampingkan dan dioptimalkan), sehingga pengawasan atas hasil dari proyek pun bisa dilakukan secara maksimal. 

Kalau berbicara tentang anggaran terutama untuk dana litbang, maka Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga berdasarkan GERD (besaran persentase dana yang dialokasikan untuk litbang jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto).

Menurut data lanskap Iptek di Indonesia yang dikeluarkan Kemenristekdikti pada tahun 2017, Indonesia mempunyai indeks GERD sebesar 0,2. Angka in sedikit diatas Filipina yang nilainya 0,1. Singapura mempunyai indeks GERD sebesar 2,2 dan Korsel adalah negara dengan GERD tertinggi, yaitu 4,2.

Masih menurut data yang sama, jumlah peneliti di Indonesia juga paling sedikit diantara negara Asia, meskipun penduduk Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia.

Sebagai contoh, coba kita bandingkan dengan negara yang letaknya di utara Indonesia. Berdasarkan data tahun 2017, penduduk Filipina hanya setengah dari populasi Indonesia. Akan tetapi, Filipina mempunyai jumlah ilmuwan 2 kali lipat dibandingkan Indonesia!

Nah, data-data (kenyataan di lapangan) ini merupakan tantangan bagi besar bagi BRIN.

Dengan peleburan 4 LPNK maka diharapkan alokasi dana penelitian bisa disebar secara merata dan efisien. Artinya, BRIN harus bisa menyeleksi dengan tepat, mana litbang yang memang benar-benar membutuhkan dana.

BRIN seyogianya bisa menciptakan iklim persaingan sehat, agar dapat menjadi pemicu bagi para peneliti untuk bisa menghasilkan proposal, kemudian produk akhir yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.

Mengapa saya katakan untuk kepentingan orang banyak? Sebab, iptek itu bukan melulu tentang hal-hal bersifat teori yang rumit. Tulisan yang bisa termuat di jurnal internasional bergengsi itu penting. Akan tetapi, jurnal tidak secara langsung bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya yang berhubungan dengan pangan.

Sekadar memberikan contoh kecil, pengalaman saya saat pulang kampung, pepaya dan pisang raja adalah barang langka. Jeruk kebanyakan diimpor dari negara lain. Bahkan cabai dan bawang (serta berbagai produk makanan atau bahan mentah) pun terkadang langka di pasaran.

Saya menyadari bahwa kelangkaan buah dan sebagainya tersebut akibat dari berbagai masalah kompleks. Misalnya saja, lahan pertanian dan perkebunan sekarang sudah banyak dijual karena petani merugi tiap tahun, ditambah subsidi pemerintah yang minim. Pola pikir para petani/pengusaha perkebunan pun bisa jadi sudah banyak berubah.

Akan tetapi, hendaknya perlu dipikirkan ke depannya bagaimana masalah pangan ini bisa diselesaikan dengan baik. Bagaimana BRIN kemudian bisa mengumpulkan para ahlinya untuk dapat memanfaatkan teknologi sehingga produk pertanian dan perkebunan dalam negeri bisa merajai pasaran dalam negeri lagi.

Apalagi jika hasil pertanian dan perkebunan bisa diekspor. Impian saya menikmati pisang, pepaya dan mangga Indonesia di Jepang mudah-mudahan bisa tercapai. Karena selama ini, di Jepang hanya tersedia pisang dari Filipina, pepaya dari Thailand dan mangga dari Peru.

Kemudian misi lain yang diemban BRIN adalah "membumikan" pengetahuan tentang iptek, agar masyarakat menjadi lebih paham perkembangan teknologi terkini. Apalagi semakin dekat dengan pemilu/pilpres, maka bisa dipastikan seperti pilpres terdahulu, akan banyak beredar informasi yang terkadang tidak pada tempatnya. Hoax tentang teknologi, untuk menyebutkan dengan lebih tepat.

Mungkin Anda ingat pada pilpres tahun 2014, dimana banyak tulisan (termasuk di Kompasiana) yang menyangkutpautkan paslon tertentu dengan angka biner dan Society 5.0. Pada pemilu/pilpres tahun 2024 nanti, orang mungkin akan menghubungkan salah satu paslon dengan metaverse.

Tentu jika mengaitkan sesuatu kepada hal yang tidak semestinya (bahasa kerennya cocokmologi), maka dikhawatirkan akan terjadi pembodohan. Ini harus dicegah dengan memberikan informasi yang benar mengenai teknologi. BRIN harus memanfaatkan internet yang sudah biasa digunakan oleh masyarakat khususnya generasi muda, untuk memberikan pengetahuan tentang teknologi terkini.

Untuk menyarikan hal-hal yang telah saya tulis, kompetisi litbang yang lebih sehat, efisiensi birokrasi dan dana, pemerataan litbang baik dari segi objek bidang penelitian maupun secara vertikal yaitu pemerataan antara pusat dan daerah, pendidikan/pemberian pemahaman tentang teknologi yang lebih masif kepada masyarakat, perbaikan kompetensi dan integritas individu (peneliti), kemudian tidak kalah penting adalah menentukan bagaimana roadmap riset dan inovasi di Indonesia adalah sebagian dari misi BRIN.

Perubahan organisasi, apalagi menyangkut lembaga yang menangani hal-hal strategis tentu bisa menimbulkan gesekan disana sini. Meskipun saya kira pemerintah sudah mengantisipasi hal ini, mudah-mudahan semua masalah yang masih belum beres bisa diselesaikan dengan saksama.

Reorganisasi memang tidak bisa memuaskan semua orang. Penyesuaian dengan organisasi baru pasti akan menyita waktu, tenaga dan biaya.

Akan tetapi anggaplah ini semua seperti pil pahit yang harus ditelan, agar kita bisa mengejar semua ketinggalan di bidang iptek seperti sudah saya sebutkan sebelumnya. Tentu juga demi mencapai tujuan kita bersama, yaitu menuju masa depan yang lebih baik.

Akhirnya sebelum menutup tulisan, apakah saya optimis dengan misi BRIN yang harus diemban?

Tentu saja jawabannya: saya optimis! Saya menganggap BRIN itu seperti Ethan Hunt, tokoh film serial "Mission Impossible"  yang selalu menuntaskan semua misinya, termasuk misi tersulit yang orang biasa mengira tidak akan bisa dilakukan.

Kalau kita bersungguh-sungguh dan tekun, maka saya kira misi itu bukan seperti menggantang asap mengukir langit. Akan tetapi tantangan pelaksanaan misi dan "riak" yang terjadi, saya anggap sebagai berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.

Selamat menikmati sisa akhir pekan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun