Puutaro, wartawan koran Sakurata Tokyo, sedang makan di warteg sambil reuni dengan rekannya yang berprofesi sebagai wartawan juga. Ada Pengki, wartawan koran Warta Tetangga, dan Kemplun wartawan koran Cahaya Teplok. Mereka bertiga berasal dari SMA Trikita.
"Elo kapan Put sampek di Jakarta," Pengki bertanya sambil menggigit paha ayam goreng pesanannya.
"Minggu lalu. Setelah tiga hari karantina, baru deh boleh pulang ke rumah. Eh katanya sekarang lagi rame PPKS ya?"
"Loh, kamu ndhak tahu ya Put, memang kan PeKaeS selalu rame toh," sahut Kemplun.
"Ah elo. Si Puutaro pan nanyak PPKS noh, bukan tentang parte PKS," Pengki menimpali sambil berdiri untuk mengambil kerupuk dari kaleng. Tampaknya lauk ayam goreng sudah habis, tapi nasinya masih agak sisa.
"Oh, itu toh. Ya begitu deh. Apa sih yang ndak ramai di Indonesia. Apalagi kamu tau kan Put, netizen Indonesia tuh galak-galak loh," kata Kemplun sambil meringis serius, menggigit semur daging yang agak keras.
"Memang kayaknya netizen di mana pun sama deh. Uwasa-zuki bahasa Jepangnya. Sebelum pulang ke Jakarta, di Jepang juga lagi heboh pas cucu kaisar Akihito yang udah lengser, kawin sama orang biasa. Karena ibu suaminya ini kabarnya punya masalah keuangan sama mantan suami."
"Wah, berati sama yak. Di negara ude maju aje, gosip bisa heboh begono," ujar Pengki sambil mengepulkan asap rokok djie sam soe. Dia kelihatan kenyang dan piring berisi nasi dan ayam gorengnya sudah licin tandas.
"Belon tau die, netizen Indonesia pan lebih cepet jarinye daripade otaknye. Tapi gue kaga ngarti dah masalah internet-internetan. Ape tuh namanye, instagram, trus pesbuk. Hape gue aje masih model lama," tambah Pengki sambil membuat lingkaran dengan asap rokoknya.
"Iya sih, zaman digital sekarang, informasi udah kayak tsunami aja. Susah juga buat kita ngikutin berita. Karena elo ngomongin pesbuk, udah tau belum mereka ganti nama jadi Meta?" tanya Puutaro.
"Meta? Nyang nyanyi dangdut entu bukan?" Pengki balik bertanya.
"Yee, bukan lah. Meta atau Metaverse itu gagasannye si Zuckerberg, boss gedenya pesbuk. Gini aje deh gampangnya. Kita ini kan hidup di dunia nyata. Nah data-data kita itu dibuat salinannya persis dalam bentuk digital, yang biasanya disebut Digital Twin. Konsep Digital Twin ini sebenarnya udah lawas, sejak 20 tahun yang lalu udah ada."
"Wah menarik ini. Trus gimana tuh," Kemplun menimpali dengan tak sabar.
Puutaro meminum es teh manis sebentar karena pedas sambal goreng petai membakar lidahnya. Maklum, dia sudah lama tidak makan yang pedas-pedas.
"Nah si Zuckerberg itu melihat, dunia yang akan datang pasti akan didasarkan sama Digital Twin ini. Karena ada banyak keuntungannya," lanjut Puutaro sambil sesekali menyeka peluh yang bercucuran bak air terjun.
"Penggabungan Digital Twin, dengan data yang kita pakai di dunia nyata ini, adalah dasar dari Metaverse."
"Jadi maksudnye, kite bisa kayak idup di dalem dunia internet-internetan entu, sambil ngelakuin kegiatan kayak kite misalnye makan di warteg begini?" tanya Pengki dengan muka serius.
"Begitulah kurang lebih," jawab Puutaro.
"Wah, sekarang aje netizen Indonesia ude kayak begitu. Mereka ganas-ganas, dikire cuman idup di dalem internet doangan. Padahal mereka masih idup di dunia nyata. Setelah cuap-cuap kaga keruan, pas didatengin baru dah entu orang ciut. Abis itu bisanye cuman nangis, ujung-ujungnye tanda tangan di meterai. Gimane entar kalok udah jadi Metaverse!"
"Pengki jangan kebanyakan mikir tho. Nanti otakmu gosong lho. Tuh minum dulu kopi yang sudah dibuatin sama mpok Ani," kata Kemplun sambil tertawa.
"Eh, mending gosong dah, daripade otak porno! Elo inget kan plun, dari parte mane tuh nyang anggotanye ketauan nonton bokep pas rapat DPR," ujar Pengki sedikit sewot.
"Pengki inget aja yang begituan. Omong-omong masih berhubungan dengan otak, katanya sih sekarang otak manusia udah dibajak sama smartphone loh," ujar Puutaro bersemangat.
"Kok bisa begitu?"
"Iya. Sebenarnya otak manusia itu dari sononya, sejak zaman primitif cuma dipakai untuk bertahan hidup dan meneruskan keturunan. Nah, di otak itu ada dopamine, zat kimia yang kadarnya meningkat kalau orang mengalami sensasi menyenangkan. "
"Saat ini, sebagian besar dari aktivitas kita menggunakan smartphone. Entah untuk membuat postingan di SNS, memberi like atau menganggit foto di instagram. Kegiatan ini ternyata mengakibatkan peningkatan dopamine. Padahal penambahan dopamine ini biasanya terjadi misalnya melalui refreshing, berolahraga, mendengarkan musik dan lainnya. "
"Pada era kiwari, karena manusia hampir tidak dapat lepas dari smartphone, maka dopamine bertambah ketika misalnya postingan kita di-like atau diberi komentar. Apalagi banyak yang memuji. Alasannya, karena orang mengalami sensasi yang menyenangkan. Makin banyak main smartphone, makin banyak dopamine. Akibatnya, otak jadi diajari secara salah, yaitu sering main smartphone adalah hal yang benar dan menyenangkan. Padahal sebaliknya."
"Pantes aje, kalo orang garang maen internet, semakin sering die bikin heboh karna otaknye udah dibajak kali ye," ucap Pengki berlagak mengerti.
"Sebenarnya sih, orang yang sering main internet itu, senang mendapat pengakuan dan pujian karena kemungkinan besar dia kesepian. Kalau sekali aja dia nggak diperlakukan seperti itu, pasti nggak puas. Kemudian bisa jadi dia malah mencak-mencak nggak keruan," lanjut Puutaro.
"Begitu toh. Pantes aja yang sering posting marah-marah, orangnya ya itu-itu aja. Yang sering posting memutarbalikkan fakta supaya bisa menang argumen, jenis orangnya ndilalah juga sama. Kalau dipikir, memang orang seperti itu senang melawan sesuatu yang mudah dilawan. Istilahnya, mereka senang bertarung dengan orang-orangan yang ndak berdaya," kata Kemplun sambil mencungkil daging keras yang terselip di sela gigi.
"Kalau orang bule bilang, argumen straw man," tambah Puutaro.
"Panteeesan mereka bilang PPKS entu legalisasi zina. Mereka udah ngerasa idup di Metaverse kali ye. Ude gitu pede nye cuman ngelawan boneka sawah," ujar Pengki seraya menyalakan batang rokok ke-tiga.
Kemplun masih saja berkutat dengan daging keras yang terselip di gigi. Sementara itu, Puutaro asyik menikmati es teh manisnya. Maklum lah, teh yang biasa dia minum selama di Jepang, tidak lazim dicampur gula.
Ketika tiga sekawan sedang asyik dengan kegiatan masing-masing setelah kenyang dan lelah berbincang, seorang anak muda seusia adik kelas mereka mendekat dan langsung berbicara.
"Saya dengar dari tadi abang-abang risau dengan kegaduhan PPKS. Nggak usah dipikirin lah bang. Biarin aja mereka yang bilang melegalkan zina, berkoar-koar sesukanya."Â
"Kalau abang pernah dengar apa yang dikatakan Plato, tentu paham. Orang bijak itu, berbicara karena punya sesuatu hal untuk dikatakan. Sebaliknya, orang bodoh berbicara karena mereka cuma ingin mengatakan sesuatu hal."
Puutaro, Pengki dan Kemplun berpandangan satu sama lain. Tanpa berkata-kata, membayar ongkos makanan dan minuman masing-masing, lalu mengeloyor. Meninggalkan piring dan gelas kosong yang membisu di meja warteg.
Udara Jakarta yang terik, mengiringi langkah mereka, kembali menyusuri sudut-sudut Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H