Kalau kita selisik lebih jauh, persoalan udara ini bukan saja tentang polusi. Meskipun pencemaran udara adalah sesuatu yang menakutkan, ada hal lebih mengerikan lagi. Yaitu virus Covid-19, dimana udara dipakai sebagai media penghantar percikan air yang keluar dari mulut orang berbicara, berteriak atau menyanyi. Udara dapat menularkan virus dari satu orang ke orang lain!
Masih berhubungan dengan udara, ada satu ungkapan menarik dalam bahasa Jepang berbunyi "kuuki wo yomu". Arti harfiahnya, "membaca" udara.
Dalam kehidupan sehari-hari, artinya melakukan segala kegiatan sambil memperhatikan situasi dan kondisi (sikon). Orang yang melakukan sesuatu tanpa memperhatikan sikon,dalam bahasa Jepang disebut "kuuki wo yomanai".
Kalau kita terapkan ungkapan ini di Indonesia, ada banyak contoh kelakuan elite negara yang termasuk dalam "kuuki wo yomanai". Misalnya saja, "penyabotan" atau mendompleng untuk kepentingan pribadi dan golongannya, atas kesuksesan tim ganda putri bulu tangkis menyabet medali emas pada olimpiade Tokyo 2020.
Ada lagi peristiwa menjamurnya baliho politisi belakangan ini, padahal "Belanda masih jauh" (baca: pilpres masih 3 tahun lagi). Yang masih hangat adalah rencana DPRD kota Tangerang menggunakan bahan Louis Vuitton untuk baju dinas harian.
Saya tidak tahu jawabannya jika ditanya, kenapa mereka tak mampu "membaca" udara? Mungkin karena sering pakai kacamata kuda? Atau karena memang benar-benar tidak dapat membaca? Barangkali untuk mendapatkan jawaban, kita harus bertanya pada rumput (bukan mobil) yang bergoyang.
Kita tinggalkan sejenak urusan udara. Sekarang saya ingin membahas tentang kemerdekaan yang sudah kita rasakan selama 76 tahun.
Rakyat Indonesia memang sudah menghirup udara bebas sejak Bung Karno didampingi Bung Hatta membaca naskah proklamasi, di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta Pusat. Pertanyaannya, benarkah kita sudah bebas dari "penjajahan"?
Pastinya, Indonesia sudah bebas dari penjajahan secara fisik. Akan tetapi, secara tidak sadar kita sekarang dijajah oleh hal lain yang lebih serius.
Bukankah teknologi, terutama internet sudah menjajah kita secara lebih hebat lagi karena bukan hanya sebagai negara, namun "penjajahan" sudah merasuk kepada individu-individu yang menggunakannya?
Saya tentu tidak perlu menuliskan lagi bagaimana akibat konkret dari "penjajahan" model baru tersebut. Kita pernah mengalaminya saat pilpres 2019 lalu, dimana "perang" masif terjadi secara daring antara dua kubu yang bersaing. Kemudian ada juga berbagai kejadian dalam kehidupan masyarakat, menjadi pemicu beberapa "perang" kecil melalui SNS maupun media sosial.