Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Udara dan Kemerdekaan

17 Agustus 2021   09:00 Diperbarui: 17 Agustus 2021   10:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita selisik lebih jauh, persoalan udara ini bukan saja tentang polusi. Meskipun pencemaran udara adalah sesuatu yang menakutkan, ada hal lebih mengerikan lagi. Yaitu virus Covid-19, dimana udara dipakai sebagai media penghantar percikan air yang keluar dari mulut orang berbicara, berteriak atau menyanyi. Udara dapat menularkan virus dari satu orang ke orang lain!

Masih berhubungan dengan udara, ada satu ungkapan menarik dalam bahasa Jepang berbunyi "kuuki wo yomu". Arti harfiahnya, "membaca" udara. 

Dalam kehidupan sehari-hari, artinya melakukan segala kegiatan sambil memperhatikan situasi dan kondisi (sikon). Orang yang melakukan sesuatu tanpa memperhatikan sikon,dalam bahasa Jepang disebut "kuuki wo yomanai".

Kalau kita terapkan ungkapan ini di Indonesia, ada banyak contoh kelakuan elite negara yang termasuk dalam "kuuki wo yomanai". Misalnya saja, "penyabotan" atau mendompleng untuk kepentingan pribadi dan golongannya, atas kesuksesan tim ganda putri bulu tangkis menyabet medali emas pada olimpiade Tokyo 2020.

Ada lagi peristiwa menjamurnya baliho politisi belakangan ini, padahal "Belanda masih jauh" (baca: pilpres masih 3 tahun lagi). Yang masih hangat adalah rencana DPRD kota Tangerang menggunakan bahan Louis Vuitton untuk baju dinas harian.

Saya tidak tahu jawabannya jika ditanya, kenapa mereka tak mampu "membaca" udara? Mungkin karena sering pakai kacamata kuda? Atau karena memang benar-benar tidak dapat membaca? Barangkali untuk mendapatkan jawaban, kita harus bertanya pada rumput (bukan mobil) yang bergoyang.

Kita tinggalkan sejenak urusan udara. Sekarang saya ingin membahas tentang kemerdekaan yang sudah kita rasakan selama 76 tahun.

Rakyat Indonesia memang sudah menghirup udara bebas sejak Bung Karno didampingi Bung Hatta membaca naskah proklamasi, di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta Pusat. Pertanyaannya, benarkah kita sudah bebas dari "penjajahan"?

Pastinya, Indonesia sudah bebas dari penjajahan secara fisik. Akan tetapi, secara tidak sadar kita sekarang dijajah oleh hal lain yang lebih serius. 

Bukankah teknologi, terutama internet sudah menjajah kita secara lebih hebat lagi karena bukan hanya sebagai negara, namun "penjajahan" sudah merasuk kepada individu-individu yang menggunakannya?

Saya tentu tidak perlu menuliskan lagi bagaimana akibat konkret dari "penjajahan" model baru tersebut. Kita pernah mengalaminya saat pilpres 2019 lalu, dimana "perang" masif terjadi secara daring antara dua kubu yang bersaing. Kemudian ada juga berbagai kejadian dalam kehidupan masyarakat, menjadi pemicu beberapa "perang" kecil melalui SNS maupun media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun