Lagu bertema kesepian pasti ada di setiap negara. Sebagai orang yang sedang berkelana di sini, menurut pengamatan terbatas, banyak lagu Jepang era tahun 70-an bertema kesepian.Â
Indonesia juga tidak kalah, kita punya koleksi banyak lagu bertema kesepian. Dalam sejarah musik Indonesia, untuk urusan lagu bertema kesepian, maka era 80 sampai 90-an adalah jawaranya. Sebut saja nama Betharia Sonata, Iis Sugianto, Nia Daniaty, Obbie Messakh, dan banyak lagi nama lain.
Akan tetapi di antara dua negara itu, Jepang ternyata satu langkah lebih maju untuk urusan kesepian. Soalnya Jepang sudah punya menteri urusan kesepian. Sakamoto Tetsushi, ditunjuk oleh PM Suga Yoshihide sebagai Kodoku-koritsu Tantou daijin mulai tanggal 12 Februari 2021.
Sebenarnya saya kurang sreg dengan terjemahan kesepian untuk kata kodoku yang digunakan oleh media. Alasannya, kesepian itu lebih melibatkan soal perasaan. Lagi pula, kalau menggunakan bahasa Jepang, kesepian bukan direpresentasikan dengan kata kodoku, namun kodoku-kan. Akhiran "kan" mempunyai arti perasaan yang dialami seseorang.
Kodoku, lebih cocok disebut sebagai kesendirian. Orang yang sendirian, belum tentu juga mereka merasa kesepian kan? Alasannya, bisa jadi orang-orang seperti ini mungkin lebih happy (baca: tidak kesepian) dan memilih untuk hidup sendirian.
Kata kesendirian juga cocok dengan kalimat koritsu, yang berarti terisolasi. Jadi menurut saya lebih cocok mengatakan, Sakamoto Tetsushi adalah menteri yang ditunjuk untuk tugas khusus (bahasa Jepangnya tanto-daijin) mengurusi orang-orang yang sendiri dan terisolasi (bahasa Jepangnya kodoku-koritsu).
Baiklah, saya tidak akan memperpanjang perbahasan tentang istilah. Media memang lebih memilih ungkapan yang bombastis, karena itu lebih "menjual" (baca: menarik) bagi (calon) pembaca bukan?
Kita kembali ke pokok tulisan. Masalah kesendirian (selanjutnya saya tulis kodoku) ini bisa kita rasakan dengan jelas saat pandemi. Misalnya saja, dalam keadaan normal, pegawai biasanya kerja di kantor bersama dengan rekan. Namun saat ini, kebanyakan orang bekerja kodoku dari rumah.Â
Contoh lain, seorang atlet biasanya berlaga di lapangan dan ditonton oleh banyak pengunjung. Teriakan penggembira bisa menambah semangat atlet yang bertanding.
Akan tetapi, arena pertandingan olimpiade di Tokyo dan sekitarnya sudah dinyatakan tertutup untuk penonton. Sehingga atlet harus bertanding kodoku, tanpa sorak-sorai penggembira.
Penonton pertandingan pun, ada pada keadaan kodoku. Karena masyarakat tidak bisa melihat dan merasakan langsung suasana pertandingan, apalagi merasakan kesatuan (kebersamaan) dengan penggembira lain yang menonton pertandingan sama.
Memang pandemi Covid-19 telah banyak mengubah pola hidup masyarakat, tak terkecuali saat olimpiade. Orang Jepang menyebut olimpiade kali ini sebagai terebi-olimpikku, alias masyarakat hanya bisa menonton olimpiade melalui televisi (bahasa Jepangnya, terebi).
Makin bermunculannya varian baru virus juga membuat masyarakat semakin khawatir.
Untuk mengatasi kekhawatiran, dan terutama untuk menjaga agar sesama atlet serta penduduk tidak terjangkiti virus. Maka, Jepang menerbitkan playbook (aturan) yang harus ditaati oleh peserta, saat mengikuti segala kegiatan selama masa olimpiade.
Ada tujuh playbook yang diterbitkan, diantaranya untuk atlet dan ofisial, insan pers, agen penyiaran, federasi internasional dan lainnya.
Isi dari playbook antara lain, peraturan mengenai kapan harus mengenakan masker, bagaimana harus berinteraksi dan menjaga jarak, cara meng-install software COCOA dan OCHA yang merupakan kewajiban, dan beberapa konsekuensi jika tidak mematuhi aturan. Jika ditilik lebih jauh, playbook ini mengharuskan orang untuk beraktifitas dalam bubble (gelembung, atau ruang lingkup) masing-masing.Â
Ketika tiap atlet beserta ofisial melakukan aktivitas dalam bubble masing-masing, bisa dikatakan bahwa mereka itu kodoku. Elemen dari masing-masing (baca: insan) bubble tiap negara terkungkung. Sehingga mereka tidak bisa berinteraksi dengan sesama atlet dari negara lain, bahkan tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat Jepang!
Lima hari lagi olimpiade Tokyo akan dimulai. Konsep acara pembukaan dan penutupan olimpiade (termasuk juga paralimpiade) adalah moving forward.
Inti dari konsep tersebut, menjadikan olahraga sebagai tenaga penggerak untuk menyatukan dunia, dan arena pertandingan sebagai tempat untuk melahirkan harapan menuju hari depan.Â
Jepang sebagai penyelenggara juga berharap agar dengan dilaksanakannya olimpiade (dan paralimpiade), maka semua orang bisa memperoleh energi untuk menyongsong hari depan.
Dengan kata lain, Jepang ingin agar kita tidak putus asa saat menghadapi situasi sulit saat ini. Energi dari olimpiade, hendaknya bisa digunakan oleh setiap orang untuk menaklukkan rasa khawatir akan hari depan.
Harapan ini juga bisa kita simak dari maskot olimpiade, yaitu karakter miraitowa. Kata miraitowa mengandung arti agar masa depan yang gemilang bisa kita raih dan harapan agar masa gemilang itu bertahan selamanya.
Sebagai penutup, saya ingin bercerita tentang pemandangan unik yang dilihat penduduk Tokyo. Tanggal 16 Juli lalu, masyarakat Tokyo terkejut karena "raksasa" terlihat di udara dengan wujud wajah manusia.Â
Grup seni itu mempunyai alasan sendiri, kenapa mereka menampilkan wajah manusia raksasa. Mereka ternyata ingin agar kita mengenali "wajah kita". Artinya, orang sebaiknya menjadi diri sendiri.Â
Selama masa pandemi ini, kebanyakan dari kita berada pada situasi kodoku. Aktivitas pun terbatas, karena harus mematuhi playbook yang diterbitkan oleh pemerintah.Â
Pada situasi seperti ini, ada sisi negatif yang bisa terjadi. Misalnya orang terkadang bisa lupa, siapa sebenarnya diri sendiri. Bahkan hal lebih buruk bisa terjadi. Yaitu masyarakat menjadi panik, dan melakukan hal-hal yang bisa merugikan baik bagi diri kita sendiri, maupun terhadap orang lain.
Namun keadaan kodoku juga bisa menimbulkan hal yang sifatnya positif. Misalnya, meskipun ada keterbatasan ketika melakukan aktivitas, beberapa orang justru bisa menemukan sisi wajah dirinya yang lain (baca: kemampuan terpendam).
Kodoku bukanlah hal yang melulu jelek. Dengan keadaan tersebut, manusia dapat merenung dan melihat lebih jauh lagi diri sendiri.Â
Dengan melakukan itu, orang ternyata bisa menemukan kembali "wajah" (baca: potensi) yang hilang (tidak diketahui sebelumnya). Merupakan sesuatu yang menggembirakan jika kemudian orang dapat memanfaatkan penemuan tak terduga tersebut, untuk kebaikannya sendiri, serta untuk kebaikan masyarakat di sekitar.
Selamat berakhir pekan. Salam sehat dan salam olimpiade.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H