Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Tokyo 2020 dan Omotenashi

10 Juli 2021   15:00 Diperbarui: 24 Juli 2021   08:29 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Tokyo 2020 di lorong sepi Jalur Chiyoda Line (dokumentasi pribadi)

Pada tahun 2013, tepatnya bulan September, omotenashi mendadak jadi istilah bahasa Jepang yang populer di dunia.

Alasannya, salah satu presentasi dari tim Jepang dalam rangka menentukan tempat penyelenggaraan olimpiade musim panas tahun 2020, menggunakan kata tersebut.

Adalah Takigawa Christel, wanita berdarah campuran antara Perancis dan Jepang memperkenalkan kata omotenashi pada presentasi yang diselenggarakan di Buenos Aires, Argentina.

Tokyo, memang akhirnya terpilih menjadi host city olimpiade musim panas tahun 2020.

Sebelum membahas lebih jauh tentang omotenashi, saya ingin mengajak Anda untuk kilas balik sejarah pelaksanaan olimpiade.

Olimpiade modern yang diselenggarakan mulai tahun 1896, asal usulnya adalah pertandingan yang diadakan tahun 776 SM di Yunani kuno di daerah Olimpia.

Ada beberapa perbedaan antara olimpiade kuno, dengan olimpiade modern yang kita laksanakan sekarang.

Misalnya saja, olimpiade kuno lebih condong ke acara keagamaan untuk memuliakan dewa-dewa, terutama dewa Zeus. Kemudian olimpiade kuno dilaksanakan secara "terbuka".

Terbuka di sini adalah selain diadakan di ruang terbuka dengan penonton membeludak dan riuh rendah, atlet yang turut ambil bagian pada acara juga "terbuka", alias tidak mengenakan sehelai benang pun.

Hal ini bisa dimaklumi karena tujuan olimpiade kuno adalah untuk memuliakan dewa, maka orang berusaha menampilkan kekuatan serta kemampuan fisik, dan keindahan otot tubuh mereka agar mendapat tempat (disukai) oleh dewa yang dipujanya.

Di antara perbedaan yang ada, hal paling mencolok adalah pada zaman itu orang percaya, bahwa pemenang di arena olimpiade akan memperoleh hidup abadi.

Tentu hal tersebut jauh berbeda dengan olimpiade modern yang kita laksanakan sekarang.

Tanggal 8 Juli lalu, Komite Olimpiade dan Paralimpik Dunia (IOC dan IPC), panitia Tokyo 2020, pemerintahan daerah metropolitan Tokyo dan pemerintah pusat, telah menetapkan bahwa stadion penyelenggaraan Olimpiade di Tokyo dan 3 kota di sekitarnya yaitu Chiba, Saitama dan Kanagawa, akan ditutup untuk masyarakat umum. Jadi pertandingan olimpiade dari tanggal 23 Juli sampai 8 Agustus di daerah tersebut, akan dilaksanakan tanpa penonton.

Olimpiade yang tertutup untuk penonton atau masyarakat umum bukan saja berbeda dengan olimpiade kuno. Akan tetapi, merupakan peristiwa pertama dalam sejarah penyelenggaraan olimpiade modern.

Penyelenggaraan olimpiade pada masa pandemi, juga sangat berbeda dari impian orang saat penyelenggaraan olimpiade kuno. 

Keabadian adalah hal yang mustahil, karena setiap setiap aktivitas (terutama jika dilakukan di luar rumah dan di tempat orang banyak berkumpul) saat ini, hampir bisa dipastikan akan bersinggungan dengan maut.

Menutup akses penonton untuk datang ke pertandingan selama Olimpiade berlangsung (di Tokyo dan 3 daerah sekeliling) adalah keputusan berat yang harus diambil Jepang. 

Dasar dari keputusan adalah pertambahan jumlah terjangkit Covid-19 terutama di Tokyo sudah bergerak naik lagi beberapa minggu ini, dan dikatakan sudah memasuki gelombang ke-5. Tokyo juga sudah menetapkan keadaan darutat yang ke-4, dihitung dari saat awal pandemi.

Kekecewaan masyarakat tentu ada. Saya juga kecewa karena tidak bisa menonton langsung pertandingan Olimpiade. Padahal ini mungkin kesempatan yang tidak akan datang lagi seumur hidup. Bahkan saya sudah berangan-angan untuk menjadi penggembira, setidaknya pada pertandingan bulu tangkis yang akan diselenggarakan di Chofu.

Agen perjalanan yang sudah mempromosikan paket untuk menonton pertandingan selama Olimpiade berlangsung, dan beberapa sponsor juga harus gigit jari.

Kerugian ekonomi akibat ditiadakannya penonton, ditaksir sekitar 600 miliar yen (78 triliun rupiah)!

Baiklah, sekarang kita kembali lagi ke omotenashi. Istilah ini sebenarnya digunakan dalam hubungannya dengan tamu kunjungan. Bisa tamu ketika berkunjung ke rumah, ke kantor kalau dalam hubungannya dengan bisnis, maupun dalam lingkup lebih besar lagi yaitu datang ke suatu negara.

Jepang mengusung istilah ini saat promosi pemilihan kota penyelenggara olimpiade tahun 2020, melawan Madrid (Spanyol) dan Istambul (Turki). 

Mereka memilih kata ini karena ingin menunjukkan kehebatan omotenashi bagi para atlet, ofisial, juga masyarakat dari berbagai negara selama acara perhelatan olimpiade nanti. 

Namun apa dikata, takdir menentukan lain. Tamu yang diharapkan, ternyata tidak bisa datang.

Takigawa Christel saat presentasi utk menjadi host city Olimpiade (AP via biz-journal.jp)
Takigawa Christel saat presentasi utk menjadi host city Olimpiade (AP via biz-journal.jp)
Omotenashi berasal dari kata dasar motenashi (kata kerjanya, motenasu), ditambah awalan "o" untuk menunjukkan rasa hormat pada lawan bicara. Sebagai catatan, istilah ini berasal dari acara minum teh, dan sudah ada sejak era Heian (tahun 794-1185).

Motenashi artinya di satu sisi tidak ada yang disembunyikan, namun di sisi lain, tidak juga terlalu berlebihan untuk dipertontonkan. 

Ini sejalan dengan hakikat acara minum teh, di mana hal paling penting adalah bagaimana membuat perasaan orang yang diundang puas dan bergembira, dengan tidak berlebihan dan tidak mengurangi keintiman saat acara berlangsung.

Kata omotenashi sering dipadankan dengan kata hospitality dari bahasa Inggris. Akan tetapi, antara dua kata tersebut ada perbedaan mendasar yang perlu ditekankan. Yaitu unsur "rasa", dari hati orang yang melakukan omotenashi.

Untuk lebih jelasnya begini. Hospitality, umumnya dilakukan ke semua orang pada saat tertentu, misalnya saat datang ke hotel atau restoran. 

Namun omotenashi, adalah melakukan yang terbaik, tergantung kebutuhan setiap orang (yang tentunya berbeda antara satu dengan lainnya), disesuaikan dengan tempat dan waktunya.

Omotenashi juga termasuk waktu persiapan, saat orang tersebut belum menampakkan batang hidungnya. Dan hal terpenting, omotenashi adalah layanan melebihi harapan sang penerima pelayanan (tamu).

Sebagai tambahan, ada tiga hal pokok dari omotenashi. Yaitu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan yang kita lihat langsung melalui mata, melalui perasaan (baca:menangkap keinginan lawan bicara) dan melalui hati (baca:dengan rela dan serius). Dalam bahasa Jepang, tiga hal ini disebut me-kubari, ki-kubari dan kokoro-kubari.

Saat ini, mata dunia tertuju pada Jepang. Masyarakat dunia tentu menantikan bagaimana omotenashi yang telah dijanjikan delapan tahun lalu, dapat dilaksanakan pada penyelenggaraan olimpiade saat ini, meskipun dengan banyak keterbatasan.

Pelaksanaan omotenashi kali ini merupakan hal tersulit bagi Jepang. Antisipasi juga sudah dilakukan untuk keselamatan atlet dan warga negara agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, pemerintah pusat sudah menyiapkan playbook, yang harus dipatuhi oleh setiap negara peserta olimpiade.

Saya yakin, saat ini omotenashi yang paling diharapkan negara dan dunia adalah agar Jepang bisa menjaga para atlet, ofisial dan orang-orang yang datang untuk kepentingan olimpiade tidak terjangkiti virus. Kemudian masyarakat Jepang yang menjadi tuan rumah juga diharapkan selalu sehat sebelum, selama, dan sesudah penyelenggaraan olimpiade.

Karena bagaimanapun juga, kesehatan adalah sesuatu paling berharga dan paling kita butuhkan pada masa pandemi yang sedang melanda dunia saat ini.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun