Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Buah Simalakama Tokyo 2020

19 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 19 Juni 2021   15:46 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokyo 2020 dan Sakura (dokumentasi pribadi)

Citius, Altius, Fortius

Sejak tahun 1924, moto ini digunakan setiap olimpiade. Bahasa Latin yang terjemahan bebasnya makin cepat, makin tinggi, makin kuat itu, menjadi motivasi setiap negara yang bertanding pada olimpiade.

Mulai tahun 1972, yaitu saat diselenggarakannya olimpiade di Munich, tiap negara membuat moto olimpiade sendiri. Sebagai catatan, pada tahun tersebut Munich mengusung moto olimpiade, "The Happy Game".

Kurang lebih satu bulan lagi Jepang akan menyelenggarakan olimpiade. Meskipun sekarang sudah tahun 2021, nama olimpiade tidak berubah sesuai dengan jadwal pelaksanaan olimpiade semula yang ditunda, yaitu Tokyo 2020 (baca: Tokyo ni-zero-ni-zero).

Moto olimpiade memang keren, namun pandemi Covid-19 mengubah segalanya.

Kenyataan ternyata jauh dari idaman. Ada banyak hal yang bisa kita simak sebagai bukti pernyataan ini.

Pertama, Ketua IOC (Komite Olimpiade Internasional) Thomas Bach, tidak bisa hadir di Tokyo sebelum tanggal 20 Juni. Alasannya, Tokyo masih dalam keadaan darurat. 

Keadaan darurat ke-tiga yang berlaku saat ini diumumkan tanggal 25 April. Rencananya sih berakhir tanggal 11 Mei. Akan tetapi, masa berlaku keadaan darurat diperpanjang hingga tanggal 20 Juni, dan tidak akan diperpanjang lagi sesuai pernyataan Suga Yoshihide kemarin.

Kemudian hasil dari jajak pendapat stasiun televisi, majalah maupun koran, menyatakan persentase orang Jepang yang berpendapat olimpiade harus di tunda lagi, bahkan pendapat ekstrem yang menyatakan olimpiade harus dibatalkan, ternyata lebih banyak dari orang yang menginginkan olimpiade dilaksanakan sesuai jadwal.

Bahkan sambutan dingin juga bisa kita lihat langsung pada rumah sakit di Tachikawa. Rumah sakit menempel tulisan penolakan atas rencana dilaksanakannya olimpiade. Alasannya, jika nanti orang terjangkiti virus bertambah, maka akan menambah beban rumah sakit.

Apalagi di tiap rumah sakit, saat ini daya tampung terhadap pasien Covid-19 terbatas, karena kemampuan rumah sakit untuk menyediakan peralatan, terutama tersedianya ruangan khusus juga sangat terbatas.

Estafet obor olimpiade yang dimulai dari daerah Fukushima, juga berlangsung tidak semeriah olimpiade sebelumnya. Jumlah pengunjung dibatasi, dan waktu seremoni juga dipersingkat.

Dalam perjalanannya menuju Tokyo, rencananya obor olimpiade ini akan singgah di beberapa daerah. Pelaksanaan seremoni ketika singgah di daerah-daerah itu, sama seperti di Fukushima. Bahkan ada beberapa daerah yang tidak merayakan seremoni.

Pada konferensi pers di Japan National Press Club kemarin, ketua komite penanggulangan Covid-19 merekomendasikan untuk tidak mengundang penonton masuk ke stadion saat berlangsungnya pertandingan olimpiade. Rencana untuk membuat arena nonton bareng di beberapa taman juga harus dibatalkan. Ini semua untuk mencegah kerumunan, karena dapat mempercepat penularan virus.

Meskipun sambutan masyarakat dingin, dan pemberitaan media masa pun tidak ramai, pemerintah Jepang kelihatannya tetap akan melaksanakan olimpiade. "Pesawat olimpiade" yang sudah tinggal landas, tidak akan transit dan mengubah arah. Hanya ada satu tujuan, yaitu mendaratkan "pesawat" pada tanggal 23 Juli di stadion olimpiade Kokuritsu Kyougijou.

Ini bisa dimaklumi, karena Jepang telah menggelontor biaya untuk sarana dan prasarana pelaksanaan olimpiade sebesar 394 triliun rupiah! Jadi, wajarlah kalau pemerintah Jepang tidak bisa mundur, alias membatalkan olimpiade.

Ironisnya, untuk melangkah maju (baca:melaksanakan olimpiade) pun, Jepang sebenarnya agak gamang.

Alasan utamanya adalah, persentase vaksinasi yang rendah. Kita semua tahu bahwa Jepang berada pada urutan buncit diantara negara maju dalam urusan vaksinasi. Saya pun sedang menunggu giliran, dan tidak tahu kapan bisa mendapat vaksinasi.

Meskipun dalam jumlah orang terjangkiti virus per hari, Jepang masih lebih rendah pada kirasan 5000 orang dibandingkan Perancis, yang perhari bisa mencapai jumlah 10 sampai 15 ribu orang.

Saat ini, muncul banyak varian baru virus Covid-19. Seperti kita tahu ada varian Inggris, Afrika Selatan, Brazil, India dan sebagainya.

Dengan pelaksanaan olimpiade, maka pergerakan orang antar negara (terutama atlet, ofisial dan wartawan) juga meningkat. Kekhawatiran para ahli adalah, berkumpulnya orang dari berbagai negara saat olimpiade berlangsung, bisa mengakibatkan muculnya varian baru. Kalau hal ini terjadi, mungkin nanti diberi nama "varian olimpiade". 

Tentu saja kalau hal ini terjadi, maka efeknya bisa kita prediksi. Jumlah orang terjangkiti mungkin akan bertambah banyak per hari. Hal ini tidak kita inginkan, karena selain membuat pening pemerintah Jepang, masyarakat dunia juga pasti menjadi khawatir.

Kerugian akibat pandemi Covid-19 bukan hanya nyawa, namun juga ada kerugian finansial.

Saya pernah membaca koran daring terbitan Amerika, bahwa kerugian finansial setiap satu orang meninggal dunia dengan hitungan kasar adalah 10 juta dolar.

Pada koran yang sama, perhitungan orang meninggal dunia akibat Covid-19 sekitar 2 persen dari jumlah orang terjangkiti. Kalau kita terapkan ini untuk kasus di Jepang, maka orang yang meninggal dunia diperkirakan sekitar 3000 orang per bulan (30 hari dikalikan 100 orang). Sehingga kerugian finansial yang harus ditanggung Jepang besarnya 30 miliar dolar (sekitar 436 biliun rupiah)!

Ini tentu bukan hal menggembirakan bagi Jepang. Posisinya untuk melaksanakan olimpiade adalah maju kena, mundur pun kena. Jepang bagai makan buah simalakama.

Jika sudah begini tentu kita akan berpikir. Apa sih sebenarnya manfaat olimpiade? Apakah supaya banyak turis yang datang?

Tentu Jepang tidak butuh olimpiade agar orang berkunjung ke sini. Cukup dengan makanan, budaya, man-ga dan anime saja, itu bisa menjadi magnet luar biasa, yang bisa menarik banyak orang berkunjung ke Jepang.

Lagipula, keberhasilan suatu negara kan bukan dilihat dari kesuksesannya melaksanakan acara yang bersifat internasional seperti olimpiade.

Keberhasilan suatu negara, dinilai dari bagaimana sistem yang berlaku pada masyarakat bisa berjalan dengan baik. Kekuatan ekonomi, kebebasan warga negara dengan hak dan kewajibannya dilindungi, tingkat atau kadar pemikiran terbuka masyarakatnya, dan kebahagiaan penduduk menjadi faktor yang menentukan apakah suatu negara sudah berhasil atau belum.

Mungkin olimpiade kali ini tidak bisa diadakan secara meriah seperti tahun-tahun sebelumnya, karena dunia sedang dilanda pandemi. Stadion untuk pembukaan olimpiade pun, bentuknya tidak begitu mencolok seperti stadium "sarang burung" yang unik pada olimpiade di Tiongkok tahun 2008.

Akan tetapi, ada satu harapan yang kita semua (masyarakat dunia) inginkan dan mudah-mudahan bisa terwujud. Ini juga menjadi tujuan Olimpiade Tokyo 2020.

Yaitu dengan pelaksanaan olimpiade, semoga kita bisa melalui masa sulit pandemi, dan bisa menang atas "pertandingan" melawan Covid-19.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun