Tahukah Anda bahwa "gang senggol" bukan cuma ada di sinetron Tukang Ojek Pengkolan? Di Jepang, juga ada lo!
Kali ini saya mengajak Anda jalan-jalan melewati "gang senggol" di daerah bernama Kagurazaka. Bagi pembaca yang belum pernah mendengar nama Kagurazaka, saya akan membawa Anda berkeliling, sambil cerita sedikit tentang sejarah daerah ini.
Kagurazaka sebenarnya nama daerah dengan lokasi di kelurahan Shinjuku. Letaknya di ujung timur, persis berbatasan dengan kelurahan Bunkyo.
Baiklah, langsung saja saya antar Anda berjalan dari stasiun terdekat, yaitu Stasiun JR Suidobashi. Setelah keluar dari stasiun, kita harus berjalan ke arah kanan untuk bisa sampai ke Kagurazaka.Â
Sebelum ke sana, kita belok kiri sebentar ya, untuk melihat tumpukan batu (bahasa Jepangnya, ishigaki), sisa dari gerbang ushigome-mon, yang merupakan salah satu akses penting menuju ke Kastel Edo.
Sambil melihat batu-batu besar yang tersusun rapi, saya mencoba membayangkan keramaian orang lalu lalang dengan gerobak maupun jalan kaki, sambil membawa berbagai macam barang kebutuhan. Kalau Anda suka sejarah, maka lokasi ini layak untuk Anda masukkan dalam daftar tujuan jika datang ke Jepang (Tokyo).
Setelah puas memandangi ishigaki, kita kembali lagi ke arah stasiun dan terus berjalan lurus. Kira-kira 50 meter berjalan, kita akan sampai di jalan masuk area Kagurazaka.Â
Kata "zaka" pada Kagurazaka, asalnya dari kata "saka" yang artinya tanjakan. Ini bisa kita lihat dengan mudah karena jalan utama di area Kagurazaka, namanya Jalan Kagurazaka (Kagurazaka-doori), adalah jalan menanjak yang menghubungkan Jalan Sotobori (Sotobori-doori) dengan Jalan Waseda (Waseda-doori) dan Jalan Ookubo (Ookubo-doori).
Kemudian pada area sekitar "ranting pohon" tersebut, kita bisa menemukan rumah penduduk, maupun tempat usaha, yang bisa kita anggap sebagai "daun".
Akan tetapi, seperti bisa Anda lihat pada foto di bawah ini, jalan utama yang sempit itu tidak pernah sepi orang. Apalagi ketika saya berkunjung ke sana, sedang ada acara tahunan setiap musim panas, yaitu Festival Kagurazaka (Kagurazaka Matsuri).Â
Anda bisa melihat banyak lampion (chouchin) berwarna merah dan putih dipasang sepanjang jalan, sebagai tanda festival sedang (atau akan) berlangsung.
Kagurazaka sudah berkembang sejak era Edo. Pada saat itu, di area ini banyak rumah samurai (buke-yashiki).Â
Samurai banyak tinggal di area ini karena seperti saya sudah ceritakan diawal tulisan, Kagurazaka merupakan salah satu jalur masuk ke Kastel Edo. Akan lebih mudah bagi samurai untuk bermukim di area ini karena dekat dengan jalan menuju ke tempat mereka bertugas, yaitu di kastel.
Akibatnya, samurai dengan tugas utama berbakti kepada shogun yang bermukim di area Kagurazaka, pulang ke daerahnya masing-masing. Sehingga penduduk Kagurazaka menjadi sedikit berkurang.Â
Bangunan yang dahulu digunakan sebagai rumah untuk samurai, kemudian dialihfungsikan menjadi restoran, tempat usaha (toko), bahkan untuk tempat usaha geisha.Â
Saat itu, umumnya toko akan tutup ketika matahari terbenam. Yang membuat kita menjadi lebih takjub lagi adalah, beberapa dari toko ini masih ada sampai sekarang!
Misalnya saja kita masih bisa menemukan toko Maruoka Touen, penyedia peralatan makan dari keramik yang didirikan pada tahun 1892. Ada toko belut bakar Shimakin, yang sudah membuka usaha mulai tahun 1869. Lalu toko Kinozen, yang mulai menjajakan kudapan manis pada tahun 1860.
Di era Meiji juga, beberapa orang pionir sastra Jepang modern, tinggal di Kagurazaka. Misalnya saja, Ozaki Kouyo, kemudian Natsume Souseki penulis novel Botchan, yang namanya mungkin pernah Anda dengar.Â
Hal ini menjadikan Kagurazaka bukan saja sebagai pusat kuliner dan hiburan, melainkan juga sebagai pusat kebudayaan.
Sebagai catatan, ryoutei adalah rumah makan yang mempunyai ruangan khusus bagi para tamu (tamu satu berbeda ruangan dengan tamu lain). Umumnya tamu berasal dari kalangan pejabat, politisi maupun selebriti.Â
Menu makanannya mewah, disajikan dengan alat makan yang juga mewah. Pada tiap ruangan, biasanya dipajang lukisan dan benda seni lain yang mempunyai nilai sejarah tinggi dan tentu harganya mahal.
Seperti bisa anda lihat pada foto, jalan di sekitar area Kagurazaka (selain jalan utama), tidak begitu lebar. Selain itu, jalannya berkelok-kelok bak labirin. Jika Anda terus saja melangkah tanpa memperhatikan arah jalan, maka bisa tersesat dan susah untuk kembali ke jalan utama.
Karena banyaknya belokan, maka pandangan akan terhalang. Sehingga jika ada orang yang berjalan di depan Anda, maka akan sulit untuk mengetahui ke mana orang itu pergi, ketika tiba-tiba dia menghilang setelah belokan.
Lagi pula orang yang tidak punya kepentingan jarang datang ke area ini, sebab jalannya sempit dan agak merepotkan jika kita berpapasan.
Karena topografinya, maka seperti sudah saya ceritakan, labirin yang menyebar dari jalur utama kebanyakan berupa jalan menurun dari jalan utama, yang merupakan area paling tinggi dibanding daerah sekitar. Dalam bahasa Jepang, topografi jalan seperti ini disebut onemichi.
Pada jalan utama yang letaknya di ketinggian bila dibandingkan dengan jalan labirin di sekitar, ada dua kuil utama yang sering dikunjungi orang. Yaitu Fushimi Inari Hibuse Jinja dan Zenkoku-ji (atau Bisyamonten). Dua kuil ini ramai dikunjungi, terutama oleh para geisha pada saat era kejayaan mereka di zaman Meiji dan Taisho.
Para geisha, umumnya mandi di tempat pemandian umum ini. Kemudian sebelum pergi ke tempat tamu yang mengundangnya, mereka biasanya mengunjungi kuil yang telah saya sebutkan di atas.
Saya kira perjalanan geisha menapaki tangga dari labirin menuju ke kuil, bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Ada beberapa alasan tentang itu.
Geisha yang umumnya memakai kimono, tentu agak sulit berjalan menapaki tangga. Karena kita semua tahu, jika orang memakai kimono, maka berjalan di jalan datar pun bukan perkara mudah.
Kemudian saya membayangkan, mungkin geisha itu mengalami pergolakan batin saat naik tangga menuju kuil, kemudian setelah itu turun tangga menuju ke tempat tamu menunggu.Â
Ah, saya kok jadi penasaran bagaimana cara mereka mengubah suasana hati dan pikiran saat naik tangga untuk pergi ke kuil, kemudian mengubahnya lagi nanti saat turun tangga menuju tempat tamu yang menunggu.
Ini persis seperti kehidupan. Adakala kita terperangkap di kehidupan duniawi di bawah, namun sesekali mungkin orang juga ingat akan hal sakral yang bisa mendekatkan jarak kepadaNya. Manusia sering kali mondar-mandir antara dua hal itu, seperti seorang geisha.
Meskipun saat hidup di dunia ini kita berhubungan erat dengan segala sesuatu yang sifatnya duniawi, namun hal-hal yang sifatnya sakral tidak bisa kita lupakan.
Kunci untuk membuat manusia bahagia lahir dan batin adalah, keseimbangan antara duniawi dan sakral.
Perjalanan menelusuri labirin di Kagurazaka, bukan hanya membawa saya menapaki sejarah. Akan tetapi, perjalanan itu bisa menjadi bahan untuk bermenung, tentang hal sakral dan duniawi, juga tentang apa yang bisa saya perbuat dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga Anda bisa memenungkan hal yang sama, jika ada kesempatan untuk mengunjungi Kagurazaka nanti.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H