Bahasa Jepang, selain menggunakan huruf yang bagi WNI sedikit eksentrik dalam bentuk (karena kita terbiasa dengan huruf Romawi), untuk melafalkan kata per kata pun agak sulit karena sebagian mempunyai aksen unik.
Seperti pengucapan kata "tsu" pada ta-tsu (berdiri), "chuu" pada kata u-chuu (luar angkasa), "sha" pada "jiten-sha" (sepeda) dan sebagainya. Bagi lidah WNI, ternyata tidak ada kesulitan berarti ketika harus mengucapkan kata-kata yang mengandung lafal agak sulit seperti itu.
Saya sangat bersyukur atas hal ini.
Karena gaijin dari negara lain misalnya rekan berasal dari daratan Tiongkok, agak sulit melafalkan "da" (ucapan untuk huruf dengan dua tanda petik, yang dalam bahasa Jepang disebut daku-on). Seperti pada kata tada (gratis), mereka biasanya melafalkan dengan, ta-ta.
Sekarang, kita tinggalkan sebentar urusan lidah.
Seperti sudah saya utarakan pada awal tulisan, jumlah gaijin di Jepang sekitar 2,25% dari total orang Jepang. Mungkin, bagi Anda itu jumlah yang tidak begitu banyak.
Akan tetapi karena kebanyakan gaijin tinggal di kota besar, dan Jepang bukan negara yang memiliki area luas, maka kita bisa dengan mudah bertemu gaijin.
Lagi- lagi sebagai WNI saya merasa beruntung, karena Tuhan mengaruniai kita keluwesan agar mudah bergaul. Sehingga saya pun, mudah berteman dan bergaul dengan gaijin dari berbagai negara.
Pengalaman saya bergaul dengan sesama gaijin, memberikan banyak pelajaran berharga dan tidak ternilai. Misalnya saja ketika saya bergaul dengan teman bernama Romny, dari Kamboja.
Dalam pengalaman akademiknya, Romny sudah menulis skripsi S1 dalam bahasa Rusia, tesis S2 dalam bahasa Perancis, dan di Jepang dia berkutat dengan bahasa Jepang untuk menulis tesis doktor.
Kemampuan bahasa dari Romny, memicu saya untuk lebih giat lagi belajar bahasa Jepang. Ada juga teman saya dari India bernama Vighneswar. Karena namanya agak susah, dia lebih suka dipanggil dengan nama Vicky.