Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Serba-serbi Jadi Gaijin sekaligus WNI di Jepang

23 Januari 2021   14:39 Diperbarui: 27 Januari 2021   17:57 2529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pertokoan di Jepang. (Foto: pat krupa/unsplash via ohayojepang.kompas.com)

Jika pergi ke pelosok Jepang, jangan kaget kalau ada orang tua yang langsung mencerocos berbahasa Jepang saat bertemu Anda. Jangan salahkan mereka juga.

Salah satu sebab mengapa mereka bisa begitu, karena semua film impor yang disiarkan televisi (dan pastinya orang tua tersebut sering menonton), sudah sulih suara bahasa Jepang.

Sehingga harap maklum kalau mereka menganggap semua orang tanpa memandang ras, bisa berbahasa Jepang.

Orang asing (WNA) di Jepang disebut gaijin. Sebenarnya kata lengkapnya adalah gaikoku-jin. Namun kata "koku" bisa dihapus, dan disingkat menjadi gaijin.

Sebagai catatan, ada beberapa orang yang memandang gaijin sebagai ungkapan rasialis. Ada juga yang berpendapat gaikoku-jin tidak selayaknya disingkat menjadi gaijin, dengan berbagai teori.

Disini saya tidak akan membahas hal tersebut. Lagipula saya tidak ada masalah dengan kata gaijin, malah dengan sukarela memposisikan diri sendiri sebagai gaijin, karena memang artinya adalah "orang (dari) luar" Jepang.

Jumlah gaijin terdaftar di kantor imigrasi sekitar 2,9 juta orang. Persentasenya, jumlah ini sekitar 2,25% dari total jumlah orang Jepang. Kalau ada yang penasaran, jumlah WNI sekitar 66 ribu orang, dan menempati urutan ke-6. Ada banyak suka dan duka saya alami sebagai gaijin, sekaligus sebagai WNI di Jepang.

Namun sebelum cerita lebih jauh, boleh kan kalau saya cerita sedikit tentang perasaan saat perjalanan pertama ke Jepang?

Waktu berada di pesawat pada perjalanan pertama kali ke sini, saya sempat panik. 

Alasannya, menu makan malam (saya menggunakan penerbangan yang berangkat malam) adalah soba dingin, dan sashimi (makanan laut tersaji mentah).

Saya sempat berpikir, bagaimana bisa hidup di Jepang nanti kalau makanannya seperti ini? Apa saya tidak mati kelaparan? Semua serba dingin dan rasanya, asin!

Makanan yang ditaruh di meja lipat, tidak saya sentuh sedikit pun. 

Walaupun ada pasangan suami istri Jepang yang duduk di sebelah mencoba menerangkan tentang sesuatu. Apa hendak dikata, kemampuan bahasa Jepang saya pada waktu itu masih belum memadai untuk bisa paham percakapan.

Makan malam tetap utuh ketika pramugari mengambilnya dari hadapan saya. Untunglah menu makan pagi ada omelet hangat dan sayuran. Sehingga rasa panik saya sedikit bisa hilang.

Saat itu, tak terbayang sedikit pun bahwa soba (terutama juuwari soba, dibuat dengan bahan 100% tepung soba tanpa campuran) dan sashimi, nantinya akan menjadi makanan favorit. 

Saya tidak gamang lagi untuk menelan makanan mentah (tanpa dimasak). Bahkan daging kuda mentah yang disebut  ba-sashi pun, pernah saya makan.

Sebagai WNI saya beruntung (orang Indonesia memang merasa untung terus), karena dianugerahi lidah yang "luwes".

www.city.ueda.nagano.jp
www.city.ueda.nagano.jp
Bayangkan saja. Saya yang doyan makanan pedas maupun dengan bumbu rempah-rempah, tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menyentuh, mengunyah, bahkan menggilakan makanan dingin dan mempunyai rasa asin saja.

Lidah WNI ternyata bisa cepat beradaptasi dengan makanan khas daerah di negara mereka berada. Masih berhubungan dengan lidah, ternyata lidah WNI juga bisa cepat menyesuaikan dengan logat bahasa setempat. 

Barangkali sebagian dari Anda sudah mengetahui, bahwa Jepang bukan kota "ramah" bagi gaijin dalam hal bahasa.

Kalau di kota besar seperti Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, Hiroshima, Fukuoka, Sapporo, mungkin tidak begitu masalah jika Anda tidak bisa berbahasa Jepang. Karena petunjuk jalan dan beberapa menu di restoran, bahkan penghuni kota pun ada yang bisa berbahasa Inggris.

Namun jika Anda pergi ke tempat jauh dari kota besar, kemampuan bahasa Jepang adalah salah satu "senjata" wajib.

Bahasa Jepang, selain menggunakan huruf yang bagi WNI sedikit eksentrik dalam bentuk (karena kita terbiasa dengan huruf Romawi), untuk melafalkan kata per kata pun agak sulit karena sebagian mempunyai aksen unik.

Seperti pengucapan kata "tsu" pada ta-tsu (berdiri), "chuu" pada kata u-chuu (luar angkasa),  "sha" pada "jiten-sha" (sepeda) dan sebagainya. Bagi lidah WNI, ternyata tidak ada kesulitan berarti ketika harus mengucapkan kata-kata yang mengandung lafal agak sulit seperti itu.

Saya sangat bersyukur atas hal ini.

Karena gaijin dari negara lain misalnya rekan berasal dari daratan Tiongkok, agak sulit melafalkan "da" (ucapan untuk huruf dengan dua tanda petik, yang dalam bahasa Jepang disebut daku-on). Seperti pada kata tada (gratis), mereka biasanya melafalkan dengan, ta-ta.

Sekarang, kita tinggalkan sebentar urusan lidah.

Seperti sudah saya utarakan pada awal tulisan, jumlah gaijin di Jepang sekitar 2,25% dari total orang Jepang. Mungkin, bagi Anda itu jumlah yang tidak begitu banyak.

Akan tetapi karena kebanyakan gaijin tinggal di kota besar, dan Jepang bukan negara yang memiliki area luas, maka kita bisa dengan mudah bertemu gaijin.

Lagi- lagi sebagai WNI saya merasa beruntung, karena Tuhan mengaruniai kita keluwesan agar mudah bergaul. Sehingga saya pun, mudah berteman dan bergaul dengan gaijin dari berbagai negara.

Pengalaman saya bergaul dengan sesama gaijin, memberikan banyak pelajaran berharga dan tidak ternilai. Misalnya saja ketika saya bergaul dengan teman bernama Romny, dari Kamboja. 

Dalam pengalaman akademiknya, Romny sudah menulis skripsi S1 dalam bahasa Rusia, tesis S2 dalam bahasa Perancis, dan di Jepang dia berkutat dengan bahasa Jepang untuk menulis tesis doktor.

Kemampuan bahasa dari Romny, memicu saya untuk lebih giat lagi belajar bahasa Jepang. Ada juga teman saya dari India bernama Vighneswar. Karena namanya agak susah, dia lebih suka dipanggil dengan nama Vicky. 

Vicky orangnya ceria. Apapun kejadian yang dialami, bahkan saat sial sekalipun, dia tidak pernah murung dan bete. Menikmati hidup setiap hari, adalah kata kunci yang dia katakan ketika saya bertanya apa rahasianya. 

Carpe Diem, kata Quintus Horatius, penyair terkenal pada era kekaisaran Romawi. Pelajaran hidup inilah yang saya dapat darinya.

Begitu juga ada pelajaran hidup dari Mika, rekan kelahiran Finlandia. Atau Mark dari Inggris, William orang Amerika, Abdelazis dari Aljazair, dan rekan gaijin lain.

Selain dari sesama gaijin, saya banyak mendapat pelajaran dari orang Jepang, karena mayoritas teman saya adalah orang Jepang. Salah satunya dari teman yang bernama Koma san.

Pertama bertemu dengannya, saya pikir dia pendiam. Ternyata, perkiraan saya meleset. Koma san gemar bercerita segala hal. Dia bahkan sering mampir ke lab sebelum waktu mulai bekerja jam 9 pagi, sekadar untuk mengobrol. 

Yang membuat saya terkejut, ketika dia mengatakan suka dengan musik, terutama aliran rock.

Pada waktu Koma san mengantar saya membeli gitar Gibson Les Paul di daerah Ochanomizu, saya juga baru tahu kalau dia bisa bermain gitar ala petikan "jari setan" Yngwie Malmsteen!

Salah satu yang membuat saya angkat topi kepada Koma san adalah, dia hanya mengambil satu atau paling banyak dua hari, dari 20 hari jatah cuti, setiap tahun.

Sedangkan saya, selalu "menguras" habis jatah cuti (malah kalau bisa ditambah), untuk keperluan "ritual" pulang kampung setiap tahun. 

Saya pernah bertanya alasan kepada Koma san.  Katanya, dia tidak mau ambil cuti banyak, karena tidak mau membebani orang lain dengan pekerjaan yang seharusnya dia lakukan.

Tidak membuat repot orang lain, merupakan pelajaran berharga yang bisa saya ambil dari Koma san. Dan masih banyak lagi pelajaran dan pengalaman berharga saya alami sebagai gaijin dan sekaligus WNI, di Jepang. 

Semua pelajaran yang pasti bisa menjadi pedoman untuk menjalani kehidupan. Sebagai rangkuman dan penutup, tingkah laku dan sifat seseorang tidak tergantung dari ras atau sukunya.

Ada gaijin dengan perangai jelek seperti akhir-akhir ini viral di Bali, banyak juga yang tidak. Karena tingkah laku, untuk menegaskan sekali lagi, tidak tergantung apakah dia itu gaijin (WNA) atau WNI.

Sebagai gaijin dan sekaligus WNI, tentu saya akan mengambil contoh baik, dan membuang yang tidak perlu. Karena saya pikir, hidup adalah masalah pilihan. Dan kita diberi kebebasan penuh untuk memilih. 

Apakah kita mau meniru hal-hal jelek? Atau kita mau memilih dan meniru yang baik, dan menerapkan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Semuanya terserah Anda.

Carpe Diem, dan selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun