Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"The Fear Instinct" dan Surat Pak Guru Kepala dari Italia

7 Maret 2020   11:00 Diperbarui: 7 Maret 2020   14:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sekarang, informasi melimpah ruah bak air bah. Sehingga kita tidak mungkin mampu untuk mengunyah semua dengan sempurna. Oleh karena itu manusia mempunyai saringan, untuk memilih mana saja informasi yang akan diambil dan dicerna. 

Hans Rosling dalam buku "Factfulness" menyebutkan ada filter pembatas sebagai dasar untuk memilih, antara informasi di luar kita, dan otak untuk mengolah informasi. Dia menyebutnya sebagai "attention filter".

Setiap orang tentu mempunyai ketertarikan (plus reaksi) berbeda terhadap suatu informasi. Namun saya bisa memastikan bahwa jika informasi itu berhubungan dengan sesuatu yang menghebohkan, maka hasrat manusia akan meningkat untuk menyerap informasi tersebut.

Contohnya, saat ini orang akan lebih tertarik untuk menyimak informasi tentang wabah COVID-19, dibandingkan menyimak berita tentang malam grand final Puteri Indonesia 2020. Tentu ini hanya contoh lho, karena saya tidak menafikan ada kemungkinan orang yang suka kebalikannya.

Menurut Hans, media tentu paham tentang hal tersebut. Sehingga mereka pasti tidak segan menghabiskan tenaga dan biaya untuk mengangkat berita-berita yang menghebohkan. Tujuannya tentu agar bisa menembus "attention filter" manusia.

Kita bisa membuktikan sendiri, bahwa berita-berita heboh tentang bencana alam (banjir, gempa bumi), perang, kebakaran, wabah, teror dan sebagainya amat diminati, dan akan dengan mudah menembus "attention filter" kita.

Hans mengidentifikasi lagi, bahwa kebanyakan berita heboh buatan media memanfaatkan insting rasa takut manusia. Dia menyebutnya sebagai "fear instinct".

Pendiri lembaga nonprofit Gapminder juga mengingatkan, bahwa "fear instinct" ini penyebab orang tidak fokus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Dengan kata lain, "fear instinct" menyebabkan orang lebih menaruh perhatian kepada suatu risiko kecil yang sebetulnya tidak perlu untuk dipikirkan dan diantisipasi, namun menjadi abai akan risiko besar yang wajib untuk diketahui.

"Fear instinct" kebanyakan menyesatkan, karena membuat orang memikirkan risiko yang sebenarnya hanya ada dalam perasaan atau angannya saja. Sedangkan kita seharusnya memikirkan risiko riil, atau bahaya yang bisa diakibatkan. Rasa takut dan bahaya, adalah dua hal berbeda. 

Kalau kita terlalu mendasarkan segala tindakan kita atas rasa takut, maka energi kita bisa habis dan bahkan bisa menjerumuskan kita ke arah yang salah. 

Contohnya, walaupun beberapa media sudah menyajikan fakta tentang wabah COVID-19, rasa takut telah menyebabkan orang di Indonesia dan beberapa negara lain melakukan aksi memborong makanan/minuman dan barang kebutuhan sehari-hari dengan berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun