Pengguna internet (bahasa kerennya netizen) Indonesia heboh (lagi)!
Kali ini tentang kedatangan nelayan Tiongkok yang dikawal oleh kapal penjaga pantai (coast guard) ke zona ekonomi ekslusif (selanjutnya saya tulis ZEE) Indonesia di perairan Natuna.
Sebenarnya saya nggak heran sih. Karena kalau masalah heboh, memang kitalah (termasuk saya, dan mungkin juga Anda) jagonya. Semua urusan baik domestik maupun internasional, kalau bisa dibikin heboh ala netizen, kenapa enggak?
Tentu kita masih belum lupa betapa hebohnya saat Pilpres yang lalu. Kemudian kehebohan tentang Uyghurs (Uighurs), masalah banjir di Jakarta, dan kedatangan nelayan Tiongkok yang sudah saya sebut pada awal tulisan.
Saya tidak akan berspekulasi tentang maksud kedatangan "tamu" yang tidak kita undang itu. Disini saya hanya ingin bercerita tentang suatu filosofi yang mungkin kita sudah mengenalnya dengan baik, kemudian sedikit spekulasi tentang taktik Tiongkok untuk "menguasai" dunia.
Baiklah, saya mulai dari Sun Tzu.
Sun Tzu (atau Son-shi dalam bahasa Jepang) adalah buku dengan komposisi 13 bab berisi tentang taktik perang. Menurut penelitian terakhir, buku ini ditulis oleh orang yang bernama Sun Wu (Son Bu dalam bahasa Jepang).
Hal-hal pokok dalam Sun Tzu mulai ditulis sekitar 500 tahun sebelum masehi. Jadi kalau dihitung-hitung, semua ide yang tertulis disana sudah berusia lebih dari 2500 tahun!
Buku yang ditemukan dan menjadi referensi kita saat ini, sudah banyak ditambah dengan berbagai macam penjelasan oleh beragam orang. Kemudian buku juga sudah banyak diperbaharui disana-sini, dan mulai diatur sehingga tersusun dalam bab demi bab.
Secara umum, semua taktik yang tertulis pada Sun Tzu sebenarnya mempunyai satu tujuan. Yaitu bagaimana cara memenangkan peperangan dengan tidak berperang.
Kelihatannya, menang tapi tidak perang adalah dua hal yang bertentangan. Tetapi kalau dipikir-pikir dengan dua alasan dibawah ini, logis juga sih.
Pertama, dalam adu kekuatan (perang) secara fisik, bukan hanya pihak yang kalah saja bisa menanggung kerugian. Pihak yang menang pun menanggung kerugian. Seperti kita mengenalnya dengan peribahasa "kalah jadi abu, menang jadi arang".
Kemudian yang kedua, tidak ada untungnya perseteruan frontal karena kita juga mengenal istilah "tidak ada musuh atau teman yang abadi". Saat ini mungkin kita bisa bersitegang. Namun di lain waktu, bukan tidak mungkin kita bisa kerja sama (menjadi teman) bukan?
Tentang "tidak ada musuh yang abadi", kita tidak bisa memungkiri karena ini nyata dalam kehidupan sehari-hari.Â
Mau tahu contohnya? Kan ada tuh yang namanya banyak disebut juga (karena beliau yang bertanggung jawab terhadap pertahanan negara) dalam hubungannya dengan "invasi" jangka pendek ZEE Indonesia di Natuna oleh nelayan Tiongkok.
Dahulu Sun Tzu memang banyak digunakan sebagai referensi peperangan yang sifatnya fisik, misalnya dengan mengerahkan kekuatan militer.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman (dan perkembangan teknologi tentunya), saat ini taktik yang dituliskan pada Sun Tzu digunakan juga untuk kepentingan selain itu.Â
Mungkin juga karena memang kekuatan "urat" (atau fisik) misalnya dengan menggunakan militer, tidak menarik lagi untuk digunakan saat ini. Terlebih, ada kerugian kepada dua belah pihak seperti dua alasan yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Saat ini, filosofi Sun Tzu digunakan juga dalam urusan bisnis, misalnya manajemen dan marketing. Kemudian digunakan dalam bidang hukum, maupun untuk kehidupan sehari-hari.
Orang terkenal pun banyak yang menggunakan referensi buku ini dalam menjalankan bisnis. Sebutlah Bill Gates pendiri Microsoft. Kemudian ada Larry Ellison yang mendirikan Oracle. Tiongkok juga paham dengan baik, bahwa "urat" bukanlah pilihan bijak untuk mencapai tujuan. Kan nenek moyang mereka sendiri yang menulis buku Sun Tzu.Â
Mereka berpikiran bahwa kekuatan "otak" lah yang penting, dan saat ini sudah menerapkannya dalam segala strategi. Sehingga saya pikir kecil kemungkinan kalau Tiongkok mau menggunakan kekuatan militer (nanti) untuk menyerobot ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Ada beberapa fakta yang patut disimak tentang bagaimana Tiongkok menggunakan kekuatan otak untuk menguasai dunia.
Menurut Forbes Japan edisi online, pada tahun 2018 yang lalu, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan AI (Artificial Intelligence) di Tiongkok menempati peringkat satu dengan jumlah 28% dari total tulisan sejenis di dunia. Sementara Eropa berada di urutan berikutnya dengan jumlah total sebanyak 27%.
Ditambah lagi, jumlah dana yang digelontorkan oleh start-up untuk pengembangan AI di Tiongkok dalam kurun waktu antara Juli 2018 sampai dengan Juli 2019 bernilai sebesar 152 juta dolar Amerika. Jumlah ini adalah dua kali lipat dari nominal yang dialokasikan oleh start-up di Amerika untuk pengembangan AI.
Dari situ kita bisa menilai, bagaimana keseriusan Tiongkok menggunakan otak, untuk menguasai dunia. Tiongkok tahu dengan persis bahwa teknologi AI merupakan teknologi primadona, yang memang dibutuhkan dan sudah diaplikasikan dalam berbagai aspek di segala bidang yang erat hubungannya dengan kehidupan saat ini.
Dengan menguasai AI tentu merupakan salah satu jalan bagi Tiongkok untuk menguasai dunia. Seperti juga saat ini Tiongkok sudah menguasai dunia manufaktur dengan gelarnya sebagai "pabrik dunia".
Oh ya, sebagai penyandang gelar "pabrik dunia", Tiongkok tentu membutuhkan jalur distribusi yang memadai untuk memastikan pasokan bahan tersedia dan dapat tersalur, kemudian pemasaran nantinya bisa dilakukan dengan baik.
Untuk tujuan tersebut, mereka sudah mencanangkan strategi OBOR (One Belt One Road). Yaitu membangun jalur ekonomi seperti jalur perdagangan sutra (Silk Road) yang dibangun oleh nenek moyang mereka dahulu.
Ini juga bagian dari strategi "otak" untuk menguasai dunia.
Jalur ekonomi yang menghubungkan Tiongkok ke Eropa melewati Eurasia (benua Eropa dan Asia) dinamakan Jalur ekonomi Silk Road (Silk Road Economic Belt). Dan jalur laut yang menghubungkan pantai Tiongkok ke Asia Tenggara, Teluk Arab sampai dengan pantai sebelah Timur Afrika dinamakan jalur maritim Silk Road abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road).
Tiongkok juga tidak segan menggunakan "alat" untuk memperkuat dan melebarkan jangkauan strategi otak, yaitu melalui BATH.Â
BATH menjadi alat yang efektif karena orang butuh sarana untuk komunikasi antara satu dengan lainnya. Itu bisa diwujudkan misalnya dengan Huawei, salah satu unsur dari BATH. Sebagai catatan, untuk penjelasan lebih jauh mengenai BATH, sila membaca tulisan saya terdahulu disini.
Dengan BATH Tiongkok mengembangkan imperialisme model baru. Imperialisme dengan menggunakan teknologi terbaru, yang banyak digunakan oleh orang melalui peralatan elektronik modern yang berbasis digital. Sehingga, saya akan menyebutkannya sebagai Imperialisme Digital.
Omong-omong, apakah Anda juga sudah menjadi "korban" dari Imperialisme Digital ala Tiongkok? Kekuatan otak adalah bagian dari filosofi Sun Tzu, dan Tiongkok tahu betul bagaimana menerapkan itu saat ini.
Sebagai penutup, saya mau bercerita secuil analisis tentang sebagian orang (sebenarnya sih orangnya ya itu-itu saja dari dulu) yang gemar membuat heboh dan berteriak asing aseng untuk segala hal yang terjadi. Contohnya pada masa Pilpres yang lalu.
Yang membuat saya heran, kenyataannya hal yang terjadi tidak ada hubungannya dengan asing maupun aseng. Tetapi kalau saya membaca ulang buku Son-shi (Sun Tzu yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang), ada bagian tentang strategi yang dalam bahasa Jepangnya dinamakan Manten-kakai. Mungkin kalau pakai istilah kekinian, namanya kamuflase.
Strateginya adalah dengan membuat (mengatakan) suatu hal berulang-ulang (seperti soal asing aseng itu), padahal kenyataannya hal itu tidak terjadi.Â
Dengan begitu, saat kejadian itu terjadi sungguhan, orang tidak akan menanggapinya dan menganggap itu angin lalu karena sudah bosan telah diucapkan/dibahas secara berulang kali.
Kalau begitu adanya, maka analisis saya, orang-orang yang heboh asing aseng itu sebenarnya sudah menerapkan dengan baik filosofi Sun Tzu. Mereka sudah mempunyai jalan pikiran yang tidak jauh dari orang Tiongkok sendiri.
Baguslah kalau begitu.Â
Mungkin mereka juga harus membaca bab-bab lain dari buku Sun Tzu. Sebab ada 36 strategi lain, yang tentunya orang-orang itu bisa simak sebagai referensi.Â
Siapa tahu dengan begitu tidak perlu lagi aksi turun ke jalan dan berkoar-koar dengan TOA (kalau menyebut TOA, sepertinya benda ini juga menjadi objek heboh saat ini) yang bisa bikin suara serak dan badan berkeringat.
Mereka bisa menerapkan strateginya tidak dengan heboh yang bikin ruwet, namun hanya dengan memainkan otak sambil duduk-duduk saja di ruangan ber-AC, menyeruput kopi dan ngemil kuaci.
Selamat bersantai menikmati akhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H