Kemudian yang kedua, tidak ada untungnya perseteruan frontal karena kita juga mengenal istilah "tidak ada musuh atau teman yang abadi". Saat ini mungkin kita bisa bersitegang. Namun di lain waktu, bukan tidak mungkin kita bisa kerja sama (menjadi teman) bukan?
Tentang "tidak ada musuh yang abadi", kita tidak bisa memungkiri karena ini nyata dalam kehidupan sehari-hari.Â
Mau tahu contohnya? Kan ada tuh yang namanya banyak disebut juga (karena beliau yang bertanggung jawab terhadap pertahanan negara) dalam hubungannya dengan "invasi" jangka pendek ZEE Indonesia di Natuna oleh nelayan Tiongkok.
Dahulu Sun Tzu memang banyak digunakan sebagai referensi peperangan yang sifatnya fisik, misalnya dengan mengerahkan kekuatan militer.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman (dan perkembangan teknologi tentunya), saat ini taktik yang dituliskan pada Sun Tzu digunakan juga untuk kepentingan selain itu.Â
Mungkin juga karena memang kekuatan "urat" (atau fisik) misalnya dengan menggunakan militer, tidak menarik lagi untuk digunakan saat ini. Terlebih, ada kerugian kepada dua belah pihak seperti dua alasan yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Saat ini, filosofi Sun Tzu digunakan juga dalam urusan bisnis, misalnya manajemen dan marketing. Kemudian digunakan dalam bidang hukum, maupun untuk kehidupan sehari-hari.
Orang terkenal pun banyak yang menggunakan referensi buku ini dalam menjalankan bisnis. Sebutlah Bill Gates pendiri Microsoft. Kemudian ada Larry Ellison yang mendirikan Oracle. Tiongkok juga paham dengan baik, bahwa "urat" bukanlah pilihan bijak untuk mencapai tujuan. Kan nenek moyang mereka sendiri yang menulis buku Sun Tzu.Â
Mereka berpikiran bahwa kekuatan "otak" lah yang penting, dan saat ini sudah menerapkannya dalam segala strategi. Sehingga saya pikir kecil kemungkinan kalau Tiongkok mau menggunakan kekuatan militer (nanti) untuk menyerobot ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Ada beberapa fakta yang patut disimak tentang bagaimana Tiongkok menggunakan kekuatan otak untuk menguasai dunia.
Menurut Forbes Japan edisi online, pada tahun 2018 yang lalu, tulisan ilmiah yang berhubungan dengan AI (Artificial Intelligence) di Tiongkok menempati peringkat satu dengan jumlah 28% dari total tulisan sejenis di dunia. Sementara Eropa berada di urutan berikutnya dengan jumlah total sebanyak 27%.