Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengintip Masa Depan Game di Tokyo Game Show 2019

16 September 2019   21:39 Diperbarui: 22 September 2019   08:43 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk TGS 2019 (dokpri)

Tokyo Game Show (TGS) adalah acara bergengsi dan terbesar di Jepang untuk industri game, digelar secara tahunan di Makuhari Messe Convention Center di prefektur Chiba. 

TGS 2019 yang berlangsung dari tanggal 12 sampai 15 September 2019, selain merupakan ajang bagi para produsen game untuk mempromosikan game terbaru mereka, namun juga menjadi ajang bagi para pelaku bisnis game (misalnya produsen gawai, peralatan komputer penunjang game, vendor teknologi dan lainnya) untuk memperkenalkan produk mereka.

Saya mempunyai kesempatan untuk melihat-lihat TGS pada hari Minggu tanggal 15 September kemarin. Kesan pertama adalah pengunjung membeludak jika dibandingkan dengan TGS 2017 (tulisan saya tentang TGS2017 bisa dibaca disini). Mungkin karena jumlah peserta pameran juga terbanyak sepanjang sejarah TGS, yaitu 655 perusahaan dan badan usaha pelaku bisnis game.

Bagaimana dan ada apa saja disana? Berikut ini adalah sedikit catatan saya tentang TGS 2019.


Promosi Game Baru
Berbicara mengenai game, tentu kita tidak bisa melupakan Sony. Mereka akan merilis game terbaru "Death Stranding" untuk Play Station 4. Game ini merupakan hasil karya kreator game ternama di Jepang yaitu Kojima Hideo. Dia banyak menghasilkan game populer. Mungkin ada pembaca yang pernah main game "Metal Gear Solid"? Game ini merupakan salah satu hasil karya Kojima.

Kemudian Bandai Namco berencana merilis game "Gundam" dan "One Piece", dimana keduanya merupakan anime Jepang dengan banyak penggemar di dunia. Kalau ada pembaca yang suka dengan Dragon Ball, maka Anda bisa tunggu sampai tanggal 16 Januari 2020, karena mereka akan merilis game dengan berjudul "Dragon Ball Z Kakarot". Pengunjung TGS beruntung karena bisa mencoba game lebih ini lebih dahulu selama acara berlangsung.

Jika anda gemar main game sejak tahun 90-an, tentu tahu game "Sakura Taisen" (Sakura Wars) dirilis tahun tahun 1996 oleh Sega. Nah, Seri terbaru dari "Sakura Wars" ini rencananya akan dirilis pada musim dingin tahun ini. Sega juga akan merilis seri ke-7 dari game "Ryuu ga gotoku", game laris di Jepang dengan genre action fighting.

Beberapa game vendor lain juga promosi produk terbarunya. Berhubung banyak sekali jumlahnya, saya tidak bisa menyebutkan satu per satu. Misalnya saja, Konami yang akan meluncurkan game "Contra Rogue Corps", dan game untuk gawai "Love Plus"seri terbaru. Ada juga game "Cyberpunk 2017" buatan Spike Chunsoft, dimana game ini bisa dimainkan dengan teknologi VR/MR. Square Enix akan merilis remake dari Final Fantasy VII bulan Maret tahun depan.

Ada juga puluhan game dari produsen game indies, dimana pada TGS kali ini ada stan yang memang khusus untuk promosi game-game indies. Kemudian beberapa negara juga ikut ambil bagian untuk mempromosikan game hasil karya masing-masing, termasuk Indonesia (sayang kali ini saya tidak sempat mengunjunginya).

Karcis masuk TGS2019 (dokpri)
Karcis masuk TGS2019 (dokpri)

Game dan Teknologi
Saya ingin menitikberatkan tulisan pada tema TGS 2019 kali ini, yaitu "One World, Infinite Joy". Jawaban untuk bagaimana itu bisa terwujud, bisa kita lihat pada poster yang banyak dipasang disana, serta mengunjungi stan DoCoMo sebagai salah satu sponsor TGS.

Ya, teknologi telekomunikasi terbaru 5G (Fifth Generation) adalah jawaban untuk mewujudkan tema tersebut.

Sebelum masuk kepada bahasan mengenai hubungan game dengan 5G, teknologi secara umum memang tidak bisa lepas dari (mempunyai hubungan erat dengan) bisnis game. Bahkan, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa game merupakan inkubator bagi teknologi baru.

Kalau kita kilas balik sejenak, teknologi 3D CG (Computer Graphic) sudah dimanfaatkan pada produk game Final Fantasy VII buatan Square (sekarang bernama Square Enix) pada tahun 1997. Kemudian Kinect yang merupakan teknologi motion/voice sensor dari Microsoft, mulai digunakan untuk game sejak tahun 2010.

Teknologi virtual reality yang diaplikasikan pada game, dirilis oleh Sony pada tahun 2016. Teknologi ini bisa menjadi tren bagi game beberapa tahun kedepan, dimana saat ini biasanya ditambah dengan augmented reality menjadi mixed reality. 

Nilai pasar game juga menggiurkan bagi penggiat teknologi, dimana pada tahun 2018 lalu, pasar untuk game berada pada urutan teratas dengan nilai 137,9 miliar dolar Amerika.

Nominal ini jauh di atas industri musik dan film, yang masing-masing berada di peringkat kedua dan ketiga. 

Proyeksi nilai pasar untuk game juga akan naik, dan diperkirakan akan bernilai 196 miliar dolar Amerika pada tahun 2022 mendatang, seperti dirilis oleh situs Newzoo. 

Hal itu juga membuat GAFA sebagai raksasa teknologi tidak tinggal diam. Kita tahu bahwa Google baru saja mengumumkan Stadia, proyek game dengan basis cloud. Apple sudah mau masuk melalui Apple Arcade.

Sementara Facebook, sudah punya halaman khusus untuk kumpulan siaran game streaming. Dan kabarnya, Amazon sedang menggodok proyek game berbasis cloud.

Kekuatan modal GAFA tentu berbeda jauh dalam nilai nominal modal, dibanding dengan perusahaan yang hanya berkutat dalam bisnis game.

Hal ini juga mungkin membuat produsen game (atau perusahaan dengan industri game sebagai salah satu tumpuan bisnis) melakukan cara baru, dimana hal itu mustahil bisa terwujud sebelumnya. 

Misalnya saja, Sony rela berkolaborasi dengan Microsoft untuk pengembangan game. Walaupun bukan termasuk GAFA, namun kita tahu bahwa Microsoft punya modal besar dan memang lebih unggul dalam bisnis/teknologi cloud.

Sementara Microsoft tentu butuh keahlian dan pengalaman Sony dalam pengembangan industri game.

Kepadatan Pengunjung di TGS2019 (dokpri)
Kepadatan Pengunjung di TGS2019 (dokpri)

5G dan Game di Masa Depan
Teknologi 5G tidak bisa diragukan lagi akan menjadi penentu perkembangan, sekaligus masa depan industri game di dunia. Dengan kecepatan (secara teori) downlink bisa mencapai 20 Gbps (uplink 10 Gbps) dan latency hanya sekitar 1ms, maka 5G juga sekaligus menjadi game changer bagi industri game.

Dengan kemampuan tersebut, tidak hanya pengguna saja yang bisa mendapatkan keuntungan. Para game creator pun, bisa lebih leluasa untuk berkreasi membuat game menarik, tanpa memikirkan kendala misalnya kecepatan mengunduh data, terutama untuk game online. 

Apalagi, game saat ini mempunyai tampilan menarik dengan resolusi tinggi, yang tentunya "boros" data. Pada masa datang, tampilan game diharapkan bisa mempunyai resolusi 4K atau bahkan 8K (dengan kemampuan tayangan gambar 120fps).

Game dan 5G di stan DoCoMo (dokpri)
Game dan 5G di stan DoCoMo (dokpri)

Bisnis model GaaS (Game as a Service) akan menjadi arus utama perusahaan game untuk memasarkan produknya. Dan kita tentu tahu bahwa teknologi 5G memang menjadi tulang punggung bisnis dengan model XaaS (sila simak disini untuk ulasan lebih jauh tentang XaaS).

GaaS akan menyediakan produk game pada cloud, sehingga user tidak perlu khawatir lagi tentang hardware yang digunakan, misalnya apakah dia memakai gawai (android dan iOS) atau PC dengan sistem windows/linux atau MacOS, bahkan game console.

Semua proses akan dilakukan pada cloud, dengan sinergi melalui server/pengolah data yang lokasinya paling dekat dengan user. Istilah teknis untuk ini biasa disebut MEC (Mobile/Multi-access Edge Computing). Teknologi edge computing ini merupakan komponen utama dalam implementasi teknologi 5G nantinya.

Dengan game berbasis cloud dan edge computing, maka hardware/console game seperti Play Station atau Nintendo, mungkin sudah tidak diperlukan lagi nantinya. Variasi dari game hasil sinergi dengan teknologi 5G, pasti akan memberikan kepuasan dan kegembiraan yang tak terbatas pada pengguna di seluruh dunia, pada saat bersamaan. 

Sehingga memang klop dengan tema TGS 2019 kali ini, yaitu "One World, Infinite Joy". Namun ada hal yang harus diingat, semua itu tentu tidak bisa dicapai dalam waktu dekat. 

Alasannya adalah, pertama, layanan perdana 5G tentu hanya bisa dinikmati pada tempat-tempat terbatas. Kedua, gawai untuk 5G pun masih terbatas.

Kemudian yang terakhir dan terpenting adalah, diperlukan penyempurnaan beberapa tahun lagi agar performa kecepatan 5G bisa mencapai, atau paling tidak mendekati kecepatan maksimal.

Ada gula ada semut versi TGS2019 (dokpri)
Ada gula ada semut versi TGS2019 (dokpri)

Penutup
Bagi Indonesia, mungkin masih harus menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa menikmati layanan game yang bersinergi dengan teknologi 5G. Sebagai persiapan, saat ini penting untuk memikirkan dan merancang game yang bagaimana agar bisa dinikmati oleh semua orang nantinya.

Beberapa saat lalu ada polemik tentang larangan main game online PUBG. Saya tidak mau komentar mengenai hal pelarangannya. 

Ada hal lebih penting yaitu memikirkan solusi, apa alternatifnya agar para pelaku bisnis game (terutama produsen lokal) dan pengguna juga tentunya, lebih tertarik untuk merancang dan membuat (bermain) game yang tidak melulu mementingkan hiburan (baca : sisi komersial). Terutama untuk game pada gawai, karena saat ini anak usia sekolah dasar pun (bahkan pra sekolah) sudah terbiasa bermain gawai.

Agar nanti jika kita sudah bisa menikmati teknologi 5G, kita bisa bermain game yang lebih menitikberatkan sisi edukasi, dengan tidak mengurangi rasa kepuasan dan kegembiraan (baca:tidak membosankan) saat user memainkannya.

Saya yakin tentu ada banyak kendala untuk itu, sehingga belum banyak perusahaan mau terjun kesana. Salah satu alasannya adalah, mungkin, tidak begitu banyak pundi-pundi (keuntungan) dari game dengan genre pendidikan. 

Di sinilah pemerintah harus bekerja dan turun tangan, misalnya dengan memberi insentif atau hal lain yang bisa mendorong para pelaku bisnis lokal, agar mau menciptakan game bermutu dengan genre pendidikan.

Apalagi jika nantinya game tersebut juga bisa kita promosikan, kemudian diminati oleh masyarakat internasional.

Dadar Gulung dan Putu Ayu sebagai camilan saat istirahat (Dokpri)
Dadar Gulung dan Putu Ayu sebagai camilan saat istirahat (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun