Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jakarta, Penyair, dan Kompor "Mleduk"

7 September 2019   11:48 Diperbarui: 8 September 2019   01:05 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Teluk Jakarta dari ketinggian (Leica M3 on Ilford. Dokpri)

Puisi itu ditulis oleh Sobron Aidit pada tahun 1954. Kita tahu, bahwa Jakarta saat itu tentu jauh berbeda dengan sekarang. Penduduknya pun belum begitu padat, apalagi pasti belum ada yang namanya macet.

Namun, saya rasa bukan keadaan itu yang menjadikan hati sang penyair menjadi seperti terasing. Pasti alasan lain yang menjadikan dirinya seperti itu. 

Mungkin karena cuek nya masyarakat Jakarta terhadap keadaan sekeliling, seperti juga yang diungkapkan Rendra melalui puisi "Bulan Kota Jakarta".

Bulan telah pingsan
di atas Kota Jakarta
tapi tak seorangpun menatapnya

Tidak ada rasa keterikatan antara penduduk Jakarta, karena mereka mempunyai kepentingan pribadi. Yaitu masing-masing berusaha dengan sekuat tenaga, dengan tujuan semata-mata agar dapat bertahan hidup.

Lalu, apakah pembaca bisa merasakan puisi "Jakarta", yang ditulis oleh Medy Loekito dibawah ini.

Setiap pagi
kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi pusara-pusara makam maha luas
lalu kuukir nama-nama penuh cinta
yang tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap malam

Orang-orang dengan menahan kantuk setiap pagi (mungkin Anda adalah salah satu diantaranya), memenuhi bus dan kereta untuk pergi ke Jakarta. Sampai tempat tujuan pun, mereka membenamkan diri dalam kesibukan masing-masing, di dalam "makam" yang berujud gedung beton di seantero Jakarta.

Dengan segala ingar-bingar aktivitasnya sehari-hari, terkadang manusia hanya memikirkan hal-hal yang menyangkut duniawi saja. Seperti yang dikatakan oleh Asep Setiawan pada puisinya "Tentang Jakarta" berikut ini.

Bagaimana aku ingat baunya
Rumputan
Bila tanah tak pula kuinjak
Sedang manusia sendiri tak ingat
Kuburnya
Aku pun kadang alpa menjenguk
Rumah-mu
Lantaran aku juga manusia
Yang besar di rimbanya.

Walaupun Homo Jakartaensis (meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma bagi manusia Jakarta) super sibuk, tentu tidak boleh lupa bahwa dia juga bagian dari alam, sehingga tidak boleh lalai menjenguk rumahNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun