Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Musik, Kabinet, dan Keseimbangan

27 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 27 Juli 2019   08:20 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orkestra (sumber: Bobo - Grid.ID)

Apakah pembaca suka jalan-jalan di mal? Walaupun banyak toko yang menjual produk (barang) di mal, sekadar jalan-jalan di sana tanpa berbelanja, termasuk kegiatan yang mengasyikkan lho.

Berbagai fasilitas bisa kita temukan di mal. Selain toko yang menjual berbagai macam kebutuhan, ada juga restoran, perspustakaan, tempat berolahraga, bahkan ada cabang kantor kelurahan untuk mengurus berbagai macam administrasi.

Apalagi di musim panas seperti ini. Saya suka mengunjungi mal sekadar untuk nebeng duduk supaya tidak kepanasan, dan mengamati orang yang lalu lalang sambil mendengarkan musik yang diputar.

Ya. musik memang selalu diputar di mal. Karena Jepang adalah negara dengan 4 musim, maka musik yang diputar disesuaikan dengan musim.

Minggu lalu saya jalan-jalan ke sebuah mal di Tokyo, dan kebetulan musik yang diputar adalah alunan komposisi karya Antonio Vivaldi yang berjudul "Summer", yang merupakan bagian dari konserto "Four Season".

Mungkin tidak banyak diketahui bahwa selain menggemari enka (salah satu genre pop Jepang), masyarakat Jepang gemar mendengarkan musik dunia, tidak terkecuali musik klasik. Bahkan musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Mereka sudah akrab dengan musik sejak dari sekolah (terutama SMP dan SMA), karena musik diajarkan komplet dengan praktiknya sekaligus, misalnya main piano atau alat musik lain.

Saya tidak tahu nama orkestra yang memainkan konserto pada musik yang diputar. Namun karena musiknya sangat apik didengar, maka saya berpikir anggota orkestra adalah orang-orang berpengalaman. Dan yang paling penting adalah, sang konduktor juga orang yang sangat paham dan ahli atas karya komposisi Vivaldi.

Berbicara mengenai orkestra, mumpung hari Sabtu, boleh kan kalau saya menganalogikan orkestra sebagai kabinet? Lalu mengandaikan bahwa pemain dalam orkestra adalah para menteri, dan sang konduktor adalah presiden.

Anggota orkestra harus bisa memainkan alat musik. Bisa dibayangkan jika ada orang yang tidak mahir memainkan biola (atau dia bohong mengatakan mahir main biola, padahal tidak), kemudian dia diserahi tugas untuk memainkan biola dalam satu orkestra. Maka sudah bisa dipastikan akan muncul nada sumbang. Sehingga musiknya sudah pasti tidak enak untuk didengar bukan?

Seorang menteri harus menguasai bidangnya. Itu saja belum cukup, karena pikiran harus terus diasah agar memiliki kepekaan dalam melaksanakan pekerjaan.

Peka terhadap kejadian yang sedang berlangsung dalam masyarakat, akan membuat dia mampu mengambil keputusan dengan tepat (bukan cuma asal reaktif yang asal-asalan). Dan yang paling penting adalah fokus pada pekerjaan, dan tidak terpengaruh oleh berbagai macam kepentingan (yang dalam praktiknya akan susah, apalagi jika menteri dipilih dari partai).

Lalu, bagaimana kalau ada orang yang merengek-rengek (walaupun bukan bayi) untuk ikut orkestra dan mau memainkan alat musik, misalnya selo? Apa kita mau begitu saja membiarkan dia bermain selo?

Tidak bisa semudah itu. Karena konser musik bukanlah untuk sesuatu yang coba-coba. Walaupun sebelum konser digelar, bisa dilakukan beberapa kali latihan (rehearsal) untuk melihat apakah orang itu cakap bermain biola atau tidak.

Begitu juga untuk jabatan menteri.

Jabatan menteri--kalau dipikir dengan akal sehat--tidak bisa untuk diminta. Ah, zaman sekarang mungkin sudah kuno kalau berbicara tentang akal sehat. Istilahnya, "akal sehat" kalau diobral pun, belum tentu ada yang mau beli.

Karena tidak menggunakan akal sehat, jadi ya lumrah saja jika banyak yang minta jabatan menteri. Padahal, kita tahu bahwa kabinet itu tidak ada rehearsal dan masa probation (alias tidak bisa coba-coba).

Dalam orkestra, anggota harus paham dan bisa membaca partitur not balok. Tiap anggota orkestra diserahi tugas untuk memegang suatu alat musik, dan dia harus bisa memainkan alat tersebut hanya pada saat gilirannya. 

Contohnya, kalau dia ditugasi untuk memegang piano, tentu harus memainkan nada yang ditandai untuk bagian piano pada partitur. Bukan saat tanda untuk memainkan biola, maupun trompet.

Jadi, kalau dia pengang piano, tapi dia memainkan bagian yang seharusnya dimainkan oleh biola, hasilnya akan kedengaran aneh.

Sehingga pasti aneh kalau ada menteri yang melakukan pekerjaan yang bukan wewenangnya, atau turut campur dengan memberikan komentar kepada hal yang bukan wewenangnya.

Harmoni adalah bagian yang terpenting dalam suatu orkestra. Jika ada satu saja anggota yang tidak bermain sesuai dengan birama waktu yang ditentukan dalam partitur, atau tidak mengacuhkan tanda kontras atau dinamika, misalnya tanda "piano" (dari Bahasa Italia yang berarti dimainkan pelan/lembut), maka musik yang dimainkan bisa menjadi kacau. Akibatnya, tidak enak untuk didengar.

Dan yang terutama, untuk menjaga harmoni, maka anggota orkestra harus mematuhi aba-aba dari konduktor.

Begitu juga bagi para menteri dalam kabinet. Jika ada menteri yang bekerja tidak sesuai "ritme" kabinet, apalagi menyimpang dari arahan presiden, maka selain hubungan menjadi tidak harmonis, hasil kerja tidak akan bisa maksimal. 

Contohnya, jika presiden memberikan arahan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cepat, maka dia harus segera mengambil langkah yang tepat dan efektif untuk menyelesaikannya.

Jangan lupa, menikmati pertunjukan orkestra tidak bisa gratis. Orang diharuskan untuk membayar harga tanda masuk. Sehingga jika pertunjukan disajikan secara tidak rapi, misalnya ada kesalahan atau musik tidak enak untuk didengar, maka penonton akan merasa tidak puas. Yang paling apes adalah, penonton bisa menuntut pengembalian uang.

Hal yang sama berlaku juga untuk kabinet. Kalau prestasi kerja kabinet dipandang (secara objektif--ini penting) tidak bagus, maka rakyat pasti tidak puas. Kalau sudah begini, bolehkah kita menuntut pengembalian uang yang sudah kita bayar (misalnya pajak), kalau kita tidak puas akan kerja kabinet?

Satu hal yang harus diingat, ketidakpuasan tersebut harus diungkapkan dengan etika. Tidak bisa hanya dengan asal nyerocos tanpa masukan yang bersifat konstruktif.

Seperti telah saya tulis sebelumnya, konduktor memegang peranan yang amat penting dalam suatu orkestra. Kita mengenal ada beberapa konduktor handal di dunia, seperti Karajan, Karl Bohm, Ozawa Seiji, dan sebagainya. Tiap konduktor punya keahlian dan kemahiran tersendiri untuk "menterjemahkan" karya komposer kelas dunia. Ini bisa menjadi ciri sang konduktor.

Sehingga, untuk komposisi yang sama (karya komposer yang sama), harmoni yang diciptakan oleh beberapa orkestra akan berbeda, yang dipengaruhi juga karena ciri masing-masing konduktor.

Presiden sebagai "konduktor" dari kabinet, punya caranya sendiri untuk merekrut siapa yang layak menjadi "pembantu" untuk mengurusi jalannya roda pemerintahan nanti. Tiap presiden mempunyai gaya dan caranya sendiri, yang menjadi cirinya dalam memimpin dan mengatur kabinet.

Bagi presiden yang akan menjalankan masa pemerintahan periode keduanya, tentu beliau sudah punya pengalaman. Sehingga akan lebih mudah baginya untuk memilih siapa saja yang kompeten untuk menempati beberapa posisi di kementrian yang ada di Indonesia.

Sebagai penutup, analogi orkestra dan kabinet dalam pelaksanaannya tidak mudah, dibanding kalau cuma menuliskan seperti artikel ini.

Namun tidak bisa dimungkiri bahwa orkestra--secara umum, musik--dan politik memang mempunyai hubungan. Tahukah pembaca bahwa enka, yang digemari oleh orang tua di Jepang, pada awalnya digunakan untuk menyuarakan politik di era Meiji.

Tom Morello, gitaris grup rock Rage Against the Machine mengatakan "100 persen musik bersifat politis. Ada musik yang mendukung status quo atau sebaliknya menantang status quo. Jadi setiap artis adalah politis."

Nyatanya, musik memang bisa digunakan untuk mengungkapkan ketidakpuasan sang artis pada keadaan dunia. Keadaan itu dapat memicu kreatifitas artis untuk menghasilkan musik yang menyuarakan misalnya anti rasisme, anti nuklir, anti kemapanan sosial, menyuarakan kerusakan lingkungan, bahkan menyuarakan anti perang.

Kalau kita tinjau lebih jauh lagi, kreatifitas adalah domain dari otak kanan. Sementara politik, lebih mengarah pada kegiatan otak kiri kita. Jadi sebenarnya, kalau dipikir-pikir, antara musik (hasil dari kreatifitas) dan politik itu adalah hubungan yang seimbang. 

Karena di dunia ini, semua hal butuh keseimbangan. Misalnya, jika ada malam maka ada siang, ada terang maka disana ada gelap. Ada kanan, maka disana harus hadir juga kiri.

Sehingga, terlepas dari pendapat Tom, saya sangat setuju kalau anggota kabinet juga perlu mendengarkan musik. Apalagi kalau mereka malah mahir memainkan alat musik. Supaya ada keseimbangan, antara otak bagian kanan dan kiri. 

Omong-omong, pernahkah pembaca mendengar permainan "Elek Yo Band", yang sempat bermain di Java Jazz Festival tahun lalu? Band ini anggotanya adalah para menteri yang duduk di kabinet saat ini. Jika belum pernah, coba deh anda dengar sebelum memulai kegiatan hari ini. 

Kalau tidak suka (atau tidak mau), ya paling tidak, mari kita mulai hari ini dengan mendengar musik kesukaan anda, apapun itu. Tujuannya, untuk sekadar menjaga keseimbangan.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun