Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Oh Koran Cetak, Riwayatmu Kini

22 Juni 2019   05:30 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:15 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koran Nikkei edisi 16 Juni 2019 (dokpri)

Saat ini, informasi dalam bentuk digital amat banyak tersedia. 

Saya teringat lirik lagu Bengawan Solo, yang terkenal juga di Jepang (khususnya bagi generasi yang mengalami Perang Dunia kedua). Kemudian saya membayangkan bahwa seperti di lirik lagu, informasi (dalam bentuk digital) itu sudah "meluap" sampai kemana-mana, seperti air di sungai Bengawan Solo.

Namun pada tulisan ini, saya tidak membahas tentang informasi dalam bentuk digital. Kali ini saya ingin memberi penekanan pada bahasan tentang koran cetak, yang merupakan salah satu wujud dari informasi dalam bentuk analog.

Omong-omong tentang koran cetak, berapa banyak dari pembaca yang masih berlangganan koran cetak? Atau, mungkin kadang-kadang membeli koran cetak eceran, misalnya edisi hari Sabtu atau Minggu? (Saya menggunakan istilah koran cetak pada tulisan, untuk membedakannya dengan koran elektronik (dalam bentuk digital) seperti berita koran di web).

Di Jepang, oplah koran cetak tiap tahun terus menurun. Tahun lalu saja, dibanding tahun sebelumnya, total oplah koran turun sebanyak 2,2 juta eksemplar! Koran cetak memang tidak banyak diminati dengan berbagai alasan.

Misalnya saja, karena seperti namanya yang harus melalui proses percetakan, maka berita yang disajikan koran cetak menjadi lambat dan kurang aktual dibandingkan dengan berita yang disajikan lewat media elektronik. Dari sisi pembaca, tentu mereka lebih suka membaca berita yang penyajiannya lebih cepat, bahkan dalam hitungan menit setelah peristiwa terjadi. 

Sebenarnya dari sisi penerbit pun, mereka lebih untung menerbitkan koran melalui media elektronik, dengan berbagai alasan. Misalnya, media elektronik lebih fleksibel karena mereka bisa mengedit ulang (memperbaiki) bila ada kesalahan tulis. Hal yang sama tidak mungkin dilakukan pada koran cetak.

Apalagi, koran cetak penyebarannya amat lambat, karena membutuhkan jalur distribusi dan media secara fisik harus diantar kepada pembaca atau agen. Sehingga kondisi cuaca, kondisi jalan pada jalur distribusi, dan banyak hal lain, mempengaruhi kelancaran distribusi berita. Dan ini juga otomatis menjadi beban ongkos yang tidak sedikit bagi penerbit.

Mengenai kendala distribusi berita, tentu tidak berlaku untuk media elektronik. Karena bagi media elektronik, yang dibutuhkan hanya koneksi Internet. Tidak ada masalah hari hujan atau panas, maupun ketika jalan macet, berita bisa disampaikan langsung kepada pembaca. Bahkan berita kemudian bisa disebarkan lebih luas lagi, misalnya melalui saluran media sosial dalam hitungan detik, hanya dengan sekali klik!

Kalau ditanya apakah saya masih membaca koran cetak, maka jawabannya adalah ya, saya masih membaca koran cetak sampai sekarang. Walaupun karena kesibukan, saya hanya membeli koran cetak edisi Sabtu dan Minggu, dari beberapa penerbit koran.

Kemudian kalau ditanya alasan kenapa masih membaca koran cetak, saya bisa sebutkan beberapa di antaranya seperti berikut.

Pertama, koran cetak sangat praktis karena saya bisa membaca beragam informasi sekaligus pada satu halaman. Terlebih, saya bisa dengan leluasa membaca sekilas judul dan paragraf permulaan saja, dari semua halaman koran. Kemudian saya bisa kembali lagi ke halaman dengan topik yang saya kira menarik, untuk membaca beritanya secara lebih detail. 

Sebagai catatan, berita koran Jepang tidak ada yang bersambung ke halaman lain. Sehingga, berita akan tuntas ditulis ditempat yang ada judul berita.

Yang kedua, dengan membaca koran cetak, kadang saya juga menemukan berita yang tak terduga. Hal ini merupakan salah satu "wow factor" yang membuat perasaan "gembira", karena seperti menemukan sesuatu yang baru.

Misalnya, saya tidak begitu tertarik membaca berita mengenai masalah politik, sehingga saya biasa melihat judulnya saja, lalu pindah ke judul lain tanpa membaca isi berita. Namun ternyata, ketika saya iseng membaca secara detail, beritanya menceritakan perjuangan seorang politikus, yang menarik untuk dibaca sampai akhir. Dari situ saya "gembira" karena bisa menemukan sesuatu yang "baru", diluar perkiraan saya sebelumnya.

Hal-hal semacam ini memakan waktu jika dilakukan pada koran elektronik, karena keterbatasan tampilan pada layar gawai maupun komputer. Bahkan setelah lewat beberapa klik, dan teringat ingin membaca secara detail berita yang judulnya tampak menarik namun tadi hanya dibaca sekilas, terkadang kita lupa di halaman mana, atau malah jadi tidak ketemu. 

Yang ketiga, entah mengapa saya lebih ingat berita yang saya baca pada koran cetak, dibanding dengan koran elektronik. Mungkin karena saya menggunakan pancaindra sewaktu membaca koran, misalnya indra perasa seperti jari meraba kertas koran, hidung mencium bau kertas dan tinta, kuping mendengarkan bunyi lembar demi lembar koran yang saya bolak-balik. Sehingga aktivitas dari beberapa indra itu, membuat berita bisa meresap kedalam memori.

Terakhir adalah, kenyamanan dalam membaca yang bisa saya rasakan. Koran cetak tentunya sudah melewati beberapa pemeriksaan mulai dari penulis berita (wartawan) itu sendiri, lalu editor, terakhir tentunya keputusan dari pimpinan redaksi. Sehingga, kesalahan tulis (baik penulisan kata maupun isi berita) amat minim. Terlebih, koran cetak dari penerbit ternama tentu tidak bisa diragukan lagi kredibilitasnya.

Dan yang terpenting, koran cetak aman dari peretas. Karena saya belum pernah mendengar ada koran cetak yang dibuat oleh orang usil memakai nama koran yang sama dengan yang ditiru.

Berbicara mengenai koran cetak, ada hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu masalah biaya cetak. Misalnya, bagaimana penerbit koran cetak bisa menutup ongkos untuk percetakan (termasuk menggaji wartawan) plus ongkos sirkulasi?

Yang saya tahu, untuk menutup ongkos cetak dan sirkulasi, selain pendapatan dari penjualan koran, penerbit juga sangat tergantung dari (pemasukan uang hasil) iklan yang dipasang di media koran cetak.

Lalu kalau berbicara iklan dan hubungannya dengan koran cetak, maka kita harus berbicara juga mengenai oplah dan sirkulasi dari koran cetak. Karena makin besar oplah, maka kemungkinan orang membaca iklan juga makin banyak. Begitu juga dengan sirkulasi, apalagi menyangkut iklan yang menyasar pada segmen masyarakat tertentu.

Koran dengan oplah besar dan pas sasaran (artinya kita bisa berasumsi, misalnya yang membaca koran itu adalah masyarakat dari target iklan), tentunya memasang harga yang tidak murah bagi pengiklan. Sehingga ini menguntungkan penerbit.

Begitu juga sebaliknya, jika oplahnya sedikit, dan koran diasumsikan hanya menyasar kepada masyarakat dengan kelas tertentu (terbatas), maka harga yang dipatok untuk pemasangan iklan juga relatif lebih ekonomis.

Oplah koran tidak bisa dianggap remeh, karena selain mempengaruhi pemasukan dari iklan, juga menyangkut gengsi dari penerbit. Semakin tinggi oplah, bisa menjadi bukti bahwa koran itu banyak diminati oleh pembaca. Sehingga penerbit akan berusaha untuk menjaga oplah, yang terkadang juga menimbulkan masalah karena kadang dilakukan dengan cara-cara yang tidak "sehat".

Misalnya di Jepang ada yang dinamakan oshigami, yaitu oplah koran cetak yang dipaksakan untuk dijual kepada agen koran. Contohnya, ada agen yang hanya mampu menjual (mendistribusikan) 700 koran, tetapi penerbit "memaksa" agen untuk menjual koran sebanyak 1000 eksemplar. Sehingga agen harus menutup kerugian sebanyak 300 eksemplar koran yang tidak laku untuk dijual.

Hal ini sudah lama menjadi perbincangan, dan saat ini juga masih terjadi. Tujuan utama dari oshigami ini adalah, strategi dari penerbit demi menaikkan (atau menjaga) total oplah koran cetak. Karena jumlah koran yang dicetak otomatis akan menjadi oplah koran yang bisa diklaim oleh penerbit. 

Di era digital sekarang, untuk bisa menjaga kelangsungan hidup perusahaan, tentunya penerbit koran (cetak) sudah banyak menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Misalnya, dengan membuat edisi digital dari koran, sehingga pembaca bisa membaca koran elektronik, baik yang gratis maupun yang berbayar.

Lalu ada juga yang membuat media campuran, antara media analog (cetak) dan digital. Contohnya adalah Nikkei Shinbun, yang mulai akhir tahun lalu, menggunakan teknologi AR (Augmented Reality) untuk memberikan informasi tambahan multimedia kepada pembaca.

Caranya adalah, pembaca terlebih dahulu harus mengunduh aplikasi Nikkei AR yang telah disediakan melalui Google Play maupun Apple Store. Kemudian dengan aplikasi itu, pembaca memindai gambar/grafik untuk melihat informasi tambahan.

Seperti berita halaman depan Nikkei Shinbun pada tanggal 16 Juni 2019 yang lalu. Jika kita memindai gambar grafik berita koran seperti dibawah.

Koran Nikkei edisi 16 Juni 2019 (dokpri)
Koran Nikkei edisi 16 Juni 2019 (dokpri)

Maka bisa kita lihat tambahan informasi seperti video ini.


Pada era digital saat ini, penerbit memang dituntut untuk pandai memasang strategi. Di satu sisi, agar tidak ketinggalan zaman, namun sekaligus di sisi lain juga agar tidak ditinggal oleh pembaca yang masih memilih (gemar) membaca koran cetak.

Bagaimana riwayat koran cetak di masa depan? Saya tidak bisa memperkirakan. Namun, saya yakin penerbit tetap memproduksi koran cetak karena masih ada orang-orang yang gemar membaca koran (termasuk majalah atau buku) yang ada wujudnya, alias bukan dalam bentuk digital. Dan saya kira, penerbit tidak akan mengesampingkan orang-orang seperti ini.

Terakhir dan hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah, koran cetak masih mempunyai nilai (alias masih bisa digunakan) meskipun sudah lewat waktu (atau namanya sudah menjadi koran bekas). 

Di Jepang, selain untuk kliping atau prakarya anak sekolah, koran bekas dipakai juga untuk membungkus bunga, atau untuk bungkus ubi rebus yang dijual berkeliling pakai mobil. 

Pembaca juga pasti setuju bahwa koran (bekas) sangat praktis untuk menggebuk serangga (misalnya kecoak) yang "nakal" masuk ke rumah, bukan?

Kembali ke lagu yang saya tulis diawal. Pada akhir lirik lagu Bengawan Solo, tertulis kaum pedagang dulu sering menggunakan perahu yang menyusuri laut, dimana air laut adalah muara dari (luapan) air sungai Bengawan Solo.

Saat ini, "lautan" informasi sudah tercipta dimana-mana sebagai akibat dari "banjir" informasi. Tentu kita semua harus berhati-hati menggunakan "perahu" untuk menyusuri lautan informasi. 

Dan saya akan terus membaca koran cetak sebagai pengimbang, agar "perahu" yang saya naiki tidak oleng, ketika berlayar menjelajahi "lautan" informasi.

Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun