Pada era digital saat ini, penerbit memang dituntut untuk pandai memasang strategi. Di satu sisi, agar tidak ketinggalan zaman, namun sekaligus di sisi lain juga agar tidak ditinggal oleh pembaca yang masih memilih (gemar) membaca koran cetak.
Bagaimana riwayat koran cetak di masa depan? Saya tidak bisa memperkirakan. Namun, saya yakin penerbit tetap memproduksi koran cetak karena masih ada orang-orang yang gemar membaca koran (termasuk majalah atau buku) yang ada wujudnya, alias bukan dalam bentuk digital. Dan saya kira, penerbit tidak akan mengesampingkan orang-orang seperti ini.
Terakhir dan hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah, koran cetak masih mempunyai nilai (alias masih bisa digunakan) meskipun sudah lewat waktu (atau namanya sudah menjadi koran bekas).Â
Di Jepang, selain untuk kliping atau prakarya anak sekolah, koran bekas dipakai juga untuk membungkus bunga, atau untuk bungkus ubi rebus yang dijual berkeliling pakai mobil.Â
Pembaca juga pasti setuju bahwa koran (bekas) sangat praktis untuk menggebuk serangga (misalnya kecoak) yang "nakal" masuk ke rumah, bukan?
Kembali ke lagu yang saya tulis diawal. Pada akhir lirik lagu Bengawan Solo, tertulis kaum pedagang dulu sering menggunakan perahu yang menyusuri laut, dimana air laut adalah muara dari (luapan) air sungai Bengawan Solo.
Saat ini, "lautan" informasi sudah tercipta dimana-mana sebagai akibat dari "banjir" informasi. Tentu kita semua harus berhati-hati menggunakan "perahu" untuk menyusuri lautan informasi.Â
Dan saya akan terus membaca koran cetak sebagai pengimbang, agar "perahu" yang saya naiki tidak oleng, ketika berlayar menjelajahi "lautan" informasi.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H