Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Serba-serbi Bekerja di Jepang

1 Desember 2018   07:00 Diperbarui: 1 Desember 2018   21:49 2653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.republika.co.id

Menurut data JNTO, pada tahun 2018 sampai dengan bulan Oktober lalu, total jumlah orang Indonesia yang berkunjung ke Jepang sekitar 310 ribu orang. Jumlah ini meningkat 14,5 persen dari jumlah total kunjungan sampai dengan bulan yang sama tahun lalu. 

Dari statistik ini kita tahu bahwa Jepang memang negara yang sedang naik daun sebagai objek kunjungan orang Indonesia.

Tujuan dari kunjungan ke Jepang bermacam-macam. Jepang yang mempunyai 4 musim, memang menarik untuk dijadikan target kunjungan wisata di musim apapun.

Misalnya di musim semi, wisatawan dapat menikmati indahnya sakura bermekaran di seantero Jepang. Di musim panas, selain ada banyak festival musim panas yang bisa dinikmati wisatawan, pesta kembang api pun bisa disaksikan di beberapa daerah. 

Di musim gugur, menikmati daun Momiji yang berwarna-warni bisa menjadi pilihan yang tidak bisa dilewatkan. Dan di musim dingin, wisatawan dapat menikmati lampu warna-warni yang indah, menghiasi pusat perbelanjaan, stasiun, pusat rekreasi maupun di jalan.

Selain tujuan wisata, banyak juga orang asing yang datang ke Jepang untuk mencari pekerjaan. 

Bekerja di Jepang

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini banyak pekerja asing yang bekerja di Jepang, baik yang berstatus sebagai pekerja tetap maupun sambilan (dalam Bahasa Jepang biasanya disebut dengan arubaito). 

Jumlah pekerja asing ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, karena saat ini pemerintah Jepang sedang menggodok peraturan untuk mempersiapkan jenis visa baru, dengan tujuan untuk mempermudah bagi orang asing yang ingin bekerja di Jepang.

Yang saya amati, memang di Tokyo, maupun ketika saya berkunjung ke kota besar yang lain seperti Osaka dan Kyoto, banyak pekerja asing yang bekerja (arubaito) pada sektor industri makanan dan bisnis retail seperti 7-Eleven, Family Mart, dan Lawson. 

Bahkan boleh dikatakan, saat ini memang tidak mudah untuk menemukan pekerja Jepang di sektor retail yang bertugas sebagai kasir, lalu sebagai pramusaji di restoran maupun misalnya sebagai resepsionis di hotel.

Beberapa tahun yang lalu, istilah "3K" yaitu "Kitanai-Kitsui-Kiken" populer di Jepang. "Kitanai" digunakan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan membersihkan sesuatu yang kotor, misalnya mencuci (piring), petugas kebersihan. "Kitsui" berhubungan dengan pekerjaan yang membutuhkan fisik yang tangguh untuk melakukannya, seperti pekerjaan yang harus dilakukan dengan berdiri terus misalnya penjaga toko, maupun resepsionis. Terakhir, "kiken" berhubungan dengan pekerjaan yang beresiko tinggi, seperti pekerja yang berhubungan dengan industri konstruksi.

Pekerjaan jenis "3K" ini tidak digemari oleh orang Jepang, termasuk orang mudanya.

Menurut Biro Statistik Jepang, sampai dengan bulan Juni tahun ini, jumlah penduduk Jepang muda usia di bawah 15 tahun adalah 15.484.000 orang, usia 15 sampai 64 tahun sekitar 75.581.000 orang dan penduduk dengan usia 65 tahun keatas adalah 35.445.000 orang. 

Ilustrasi : wedge.ismedia.jp
Ilustrasi : wedge.ismedia.jp
Jumlah penduduk usia sampai 15 tahun mengalami penurunan sebanyak 1,14 persen, usia sampai 64 tahun penurunannya 0,71 persen, namun usia diatas 65 tahun terjadi hal yang sebaliknya, yaitu mengalami kenaikan sebesar 1,32 persen bila dibandingkan dengan tahun lalu pada bulan yang sama.

Dari data tersebut, kita bisa melihat bahwa jumlah penduduk Jepang yang berusia kerja mengalami penurunan dan jumlah penduduk yang berusia 65 tahun keatas mengalami kenaikan. Akibat turunnya jumlah orang usia "kerja", ditambah dengan berkurangnya secara drastis minat orang muda Jepang untuk bekerja di sektor yang disebut "3K" seperti sudah saya tulis diparagraf sebelumnya, maka saat ini banyak orang asing yang dipekerjakan, atau lebih tepatnya, banyak tersedia lowongan kerja bagi pekerja asing di Jepang.

Jepang menyediakan visa yang jenisnya beragam sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Berbeda dengan negara tetangganya seperti Korea maupun Hongkong, Jepang memang agak sedikit ketat dan memiliki peraturan yang rumit untuk urusan ijin visa pekerjaan. 

Salah satu contoh, ada kategori visa yang memperbolehkan orang asing bekerja di beberapa sektor industri dalam rangka transfer teknologi. Visa jenis ini bernama "ginou" atau "ginou jisshuu" dalam Bahasa Jepang, yang artinya visa untuk ketrampilan khusus atau visa training. Visa jenis ini adalah visa terbanyak yang digunakan setelah visa belajar (ryuugaku), selain visa permanent residence.

Dengan menggunakan status visa tersebut, saat ini banyak orang asing yang bekerja (dipekerjakan) pada beberapa jenis industri, mulai dari industri manufaktur (misalnya pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan), maupun industri jasa (perawatan kesehatan, restoran dan hotel).

Jangka waktu berlakunya visa jenis ini berkisar antara 1 sampai 3 tahun. Visa jenis ini tujuannya sekilas terkesan bagus, yaitu untuk transfer teknologi, melalui training yang dilakukan pada tempat-tempat dimana kegiatan industri (pabrik) itu berada seantero Jepang. 

Tapi menurut hemat saya, ini hanya akal-akalan pemerintah Jepang saja untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dengan mudah. Ujung-ujungnya, terkadang tidak ada transfer teknologi yang dilakukan. Bahkan pada beberapa kasus, seperti yang pernah saya baca di koran maupun melihat berita di televisi, terkadang ada pekerja yang harus bekerja keras dengan libur yang minimal dan gaji dibawah standar. 

Bagi pelajar, baik yang sedang belajar di sekolah bahasa (biasanya dengan jangka waktu setahun) maupun kuliah di universitas untuk mengambil gelar (yang berjangka waktu maksimal 5 tahun untuk program undergraduate), bisa bekerja sambilan (arubaito) kalau sudah menyerahkan form yang berisi permohonan untuk melalukan kegiatan diluar status visa yang dipunyai saat ini (dalam Bahasa Jepangnya disebut shikakugai katsudou kyoka). 

Formulirnya tersedia di kantor imigrasi. Dan berdasarkan peraturan, pelajar hanya boleh bekerja selama 28 jam dalam seminggu, atau bila sedang libur panjang hanya boleh bekerja selama 8 jam dalam sehari.

Kendala Bekerja di Jepang

Hal yang saya tuliskan dibawah ini mungkin bukan kendala secara khusus di Jepang. 

Namun berdasarkan pengalaman, berhubung masyarakat Jepang memang agak tertutup bila dibandingkan dengan masyarakat dari negara selain Jepang, maka hal berikut mungkin bisa jadi catatan bagi yang berminat untuk bekerja di Jepang.

Pertama adalah masalah bahasa
Bahasa Jepang memang unik, karena selain menggunakan 3 jenis huruf yang berbeda dan dipakai bersamaan, yaitu huruf Katakana, Hiragana dan Kanji, cara pengejaan satu huruf Kanji misalnya, ada bermacam-macam. Huruf Kanji yang sama bisa dilafalkan berbeda apabila disambung (di belakang atau di depan) huruf Kanji yang berbeda.

Sehingga bagi yang berminat untuk bekerja di Jepang setidaknya harus bersiap-siap, karena selain harus mempersiapkan fisik yang kuat untuk menghadapi pekerjaan, persiapan tenaga "ekstra" juga dibutuhkan untuk menguasai bahasanya. Walaupun, tingkat penguasaan Bahasa Jepang yang dibutuhkan akan berbeda, tergantung dari apa dan bagaimana pekerjaannya. 

Kemudian masalah kebudayaan
Bahasa memang menjadi salah satu unsur hasil dari kebudayaan itu sendiri. Namun di sini saya mau menekankan sisi etika dan moral pada budaya masyarakat Jepang. 

Etika yang berlaku di Jepang, tentunya berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Walaupun Indonesia dan Jepang sama-sama negara kepulauan, sehingga masyarakatnya sama-sama mempunyai kebudayaan yang erat hubungannya dengan maritim sekaligus agraris.

Etika di Jepang kebanyakan berlaku untuk segala sesuatu yang dilakukan oleh kelompok. Misalnya saja, jika kita sama-sama pergi ke cafetaria kantor dengan 4 orang rekan, maka sebelum 4 orang ini lengkap berkumpul di meja (karena masing-masing orang akan mengambil makanan yang berbeda), maka tidak ada seorangpun yang akan mulai makan, walaupun sudah lapar berat. Mereka akan menunggu rekan lain yang sedang antri makanan sampai kumpul bersama.

Ada lagi etika dalam bisnis, misalnya bagaimana bertukar kartu nama, menulis email kepada rekanan bisnis, posisi duduk dalam rapat dan sebagainya. Etika dalam pergaulan juga banyak, misalnya tidak sopan kalau kita bertanya umur kepada orang yang baru kita temui.

Mengenai masalah moral, dengan terbatasnya ruang penulisan dan pertimbangan tema tulisan, maka saya akan sampaikan contohnya saja. Di Jepang, orang tidak akan mengambil barang yang tertinggal, entah barang itu handphone termahal atau yang lainnya yang kelupaan atau terjatuh di jalan, di taman, di kereta api, maupun di tempat umum yang lain.

Tentunya ada banyak lagi contoh dari etika dan moral ini, yang juga harus dipahami oleh orang yang ingin bekerja di Jepang. Sehingga, kalau mereka sudah berada di Jepang, selain dapat melakukan pekerjaaannya dengan baik, juga dapat diterima oleh masyarakat (Jepang) baik dalam lingkungan kerja maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Banyak contoh dari orang yang tidak bisa menyesuaikan dengan masalah etika dan moral ini, kemudian melarikan diri dari pekerjaannya, karena tidak tahan godaan yang lebih bagus, atau bisa juga merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 

Peran pemerintah

Saat ini, ada beberapa badan usaha swasta yang mengurusi calon tenaga kerja untuk dikirim ke Jepang. Namun dari kebanyakan kasus yang terjadi, dalam pengiriman tenaga kerja ke Jepang (atau ke luar negeri secara umum), kebanyakan pihak swasta hanya memikirkan masalah "keuntungan"nya saja. 

Seperti pengalaman saya pernah berbincang dengan rekan-rekan pekerja yang dikirim oleh badan usaha swasta, para pekerja mengatakan kadang-kadang badan usaha swasta yang mengirim mereka, tidak responsif akan permasalahan atau kendala yang dihadapi pekerja setelah mereka tiba dan bekerja di Jepang.

Oleh karena itu, kiranya akan lebih baik lagi jika pemerintah bisa berperan (lebih) aktif untuk membantu persiapan calon tenaga kerja. Apalagi karena lingkungan dimana mereka akan bekerja nantinya mempunyai kebudayaan yang berbeda, maka selain pembekalan teknis, pembekalan yang bersifat non-teknis yang berhubungan dengan kebudayaan, moral serta etika merupakan hal yang penting dan harus diajarkan juga. 

Hal inilah yang terkadang dilupakan, atau tidak dilakukan dengan serius oleh badan usaha swasta yang mengirim pekerja. Padahal, para calon tenaga kerja adalah orang muda, yang masih membutuhkan banyak bimbingan untuk hal-hal yang sifatnya non-teknis.

Penutup

Bekerja memang bisa dilakukan dimana saja. Namun bila ada kesempatan yang terbuka, khususnya bila ada lowongan bekerja di Jepang, tidak ada salahnya untuk mencoba. Apalagi pemerintah Jepang berencana akan membuka keran selebar-lebarnya bagi pekerja asing, karena mereka memang keadaan yang menyebabkannya, seperti yang telah saya tulis di awal. 

Saya yakin tidak ada yang mustahil untuk dilakukan. Tentunya dibarengi dengan iktikad baik dan semangat pantang menyerah, serta tidak lupa dengan persiapan fisik sekaligus mental yang mencukupi.

Selamat mencoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun