Jumlah transistor yang dapat ditaruh dalam cip dengan proses ini juga mengalami kenaikan yang signifikan. Misalnya saja, pada Kirin 980 jumlah transistornya ada sekitar 6,9 miliar. Sementara pada cip A12 Bionic, jumlah transistornya sekitar 6,8 miliar.Â
Peningkatan jumlah transistor ini tentunya berbanding lurus dengan kemampuan kecepatan proses dalam cip. Huawei mengatakan bahwa cip Kirin 980 bisa memproses sebanyak 600 miliar OPS (Operation Per Second, atau operasi per detik).
Melalui proses pembuatan cip yang semakin canggih, maka selain memperbanyak jumlah transistor didalamnya, ukuran dari cip itu sendiri juga semakin kecil.
Kita bisa mengamati, bahwa PC (Personal Computer) yang booming di era 80-an, rata-rata mempunyai cip dengan ukuran 10^6 mm3 (10 pangkat 6 milimeter kubik). Kemudian ukurannya mengecil pada cip yang dipakai pada laptop menjadi sekitar 10^4 mm3, lalu mengecil lagi menjadi hanya 100 mm3 pada cip yang dipakai pada smartphone, dan seterusnya.
Selain itu, teknologi tersebut mempunyai beberapa kendala. Salah satunya adalah, makin kecil ukuran cip (dan makin padat jumlah transistor di dalamnya), maka otomatis makin susah juga untuk menyalurkan daya, yaitu arus listrik ke transistor yang menjadi komponen dari cip. Karena makin rapat (banyak) kandungan transistornya, maka dalam cip akan tercipta area yang tidak bisa dialiri arus listrik yang disebut area dark silicon.
Kalau produksi cip diharuskan terus menuruti Hukum Moore, maka pada tahun 2030, ilmuwan memprediksi bahwa mau tidak mau produsen cip harus mengimplementasi process rule 2nm. Seberapa kecilkah ini?
Kita bisa membayangkan bahwa ukurannya hanya sebesar 10 atom yang dijejerkan. Tentunya dengan ukuran sekecil ini, maka selain persoalan dark silicon seperti yang sudah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya, persoalan stabilitas komponen yang membentuk cip juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Jadi sekarang, masalahnya bukan hanya terbatas pada, makin diperkecil ukurannya maka semakin bagus performanya (misalnya kecepatan dalam proses data).
Terlebih, biaya untuk membuat (mulai dari biaya riset untuk merancang, kemudian membuat prototipe dan testing) cip dengan ukuran makin kecil dan kepadatan transistor yang tinggi, amat mahal. Oleh sebab itu, seperti yang sudah diberitakan media, salah satu dari produsen foundry (yang menghasilkan lempengan cip) yaitu GlobalFoundries, bahkan sudah memutuskan untuk menghentikan riset dan rencana produksi cip dengan process rule 7nm karena masalah biaya.
Dengan kenyataan tersebut, maka kita bisa melihat bahwa ada keterbatasan kemampuan dari produsen cip untuk mewujudkan Hukum Moore. Sehingga, mau tidak mau Hukum Moore diprediksi akan berakhir. Lalu, apakah kemudian kemampuan cip juga akan terhenti?
Karena kita tahu, bahwa ketahanan daya baterai adalah hal yang paling utama yang diinginkan oleh pengguna. Tentunya menjadi kurang sreg kalau, misalnya kita bisa menggunakan smartphone yang tercanggih, tapi baterainya cepat habis bukan?
Untuk mengatasi hal itu pada tahap permulaan, ada upaya dari produsen untuk menyatukan berbagai cip terpisah yang dipergunakan oleh masing-masing komponen. Karena kita tahu bahwa masing-masing komponen yang membentuk komputer (atau smartphone), misalnya CPU, memori, komponen wireless, komponen grafik, mempunyai cipnya masing-masing. Dengan menyatukan cip yang terpisah dari masing-masing komponen itu, maka diharapkan bisa menghemat daya yang dipakai.