Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dostoevsky dan "Kegilaan" Masyarakat Zaman Sekarang

1 September 2018   07:00 Diperbarui: 1 September 2018   10:35 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau para penjahat di dalam tahanan diberi hukuman harus memindahkan tanah dari suatu gunung, lalu setelah tanah itu dipindahkan, dia harus mengembalikan tanah itu ketempat semula, kemudian dia harus memindahkannya lagi ke tempat lain dan mengembalikan ketempat yang semula, dan begitu seterusnya berulang-ulang, pada akhirnya penjahat itu bisa-bisa menggantung diri. 

Begitulah kira-kira yang ditulis oleh Dostoevsky, seorang Sastrawan Rusia dalam (semi-autobiographical) novelnya yang berjudul "The House of the Dead".

Kenapa sampai menggantung diri? 

Alasannya tentu bermacam-macam. Mungkin dia capek dan merasa tidak kuat lagi untuk meneruskan hukuman itu. Bisa jadi, dia menjadi "gila", karena disuruh melakukan sesuatu hal yang tidak ada gunanya, secara berulang-ulang.

Manusia yang "sehat" akalnya, tentunya akan menggunakan segenap akal dan tenaganya untuk sesuatu yang berguna, entah itu berguna bagi dia sendiri, bagi keluarganya, atau dalam lingkupan yang lebih besar, misalnya berguna bagi lingkungan RT maupun RW tempat tinggalnya, lingkungan dia di sekolah atau di kantor, bahkan untuk negara (tanah air) nya. 

Jika manusia masih terus berusaha melakukan sesuatu yang tidak berguna (sia-sia), maka tentunya dia melawan kodratnya sendiri sebagai makhluk yang berakal budi, yaitu makhluk yang mempunyai akal sehat, yang berkedudukan paling tinggi diatas makhluk-makhluk ciptaanNya yang lain.

Akan tetapi, meskipun kedudukannya paling tinggi, tampaknya manusia paling "rewel" (bahkan, boleh dibilang paling ruwet)  dan butuh banyak perhatian kalau untuk urusan beradaptasi di lingkungannya setelah lahir, dibanding dengan ciptaanNya yang lain, misalnya hewan.

Coba kita ambil perbandingannya dengan Jerapah. Memang Jerapah membutuhkan masa kehamilan yang lama yaitu sekitar 350 hari. Namun, setelah anak Jerapah lahir, hanya butuh waktu sekitar 2 atau 3 jam saja maka anaknya sudah bisa berdiri. Bahkan Jerapah bisa berlari-lari kecil, beberapa jam lagi setelahnya.

Lain lagi jika dibandingkan dengan binatang buas. Singa, membutuhkan waktu yang lebih singkat dari Jerapah yaitu sekitar 100 hari untuk masa kehamilannya. Walaupun setelah lahir, anak Singa belum bisa melihat bahkan mendengar, namun dalam hitungan beberapa hari setelah itu, maka anak Singa akan bisa berjalan. 

Setelah binatang-binatang itu bisa berjalan, bahkan berlari, dalam waktu yang sama induknya pun sudah langsung mengajarinya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dan, hewan-hewan ini tidak membutuhkan waktu lama untuk membekali diri dengan kemampuan adaptasinya itu.

Sekarang mari kita simak tentang manusia. Manusia butuh kurang lebih 280 hari untuk masa kehamilan. Walaupun masa kehamilannya hanya berbeda kurang lebih 2 bulan dari Jerapah (bahkan lebih lama dibandingkan Singa), akan tetapi setelah lahir, manusia belum mampu untuk berdiri, apalagi untuk berjalan. 

Orangtua harus terus memperhatikan tanpa boleh sedikitpun lengah (bahkan terkadang harus bergadang) kurang lebih 1 tahun setelah itu. Setelah berangsur bisa merangkak dan kemudian berjalan, maka manusia masih harus dilatih untuk berbicara, membaca, dan menulis. Baru kemudian manusia lambat laun akan bisa beradaptasi dengan baik di lingkungannya.

Lebih jauh lagi, menurut ukuran undang-undang, manusia (khususnya di Indonesia) boleh dibilang "dewasa" jika telah berumur 17 tahun (Jepang lebih lama lagi yaitu 20 tahun). Kebanyakan sampai pada umur yang disebut "dewasa" itu, manusia masih bergantung (makan, minum, dan lainnya) pada induknya yaitu orangtua. Bahkan ada beberapa yang masih terus bergantung kepada orangtua setelah mereka "dewasa".

Dari perbandingan diatas, kita bisa tahu bahwa hewan memang disiapkan untuk bisa hidup dalam lingkungannya semenjak dari dalam kandungan. Sehingga setelah mereka lahir, biasanya hewan bisa "mandiri" dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya lebih cepat dibanding manusia. 

Kenapa hewan mampu beradaptasi dengan lingkungan lebih cepat, sedangkan manusia butuh waktu lebih lama?

Salah satu sebabnya adalah lingkungan kehidupan yang berbeda antara hewan dan manusia. Manusia dihadapkan pada lingkungan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hewan. Apalagi sebagai makhluk sosial, cakupan lingkungan dimana manusia itu hidup juga lebih luas, mulai dari lingkungan dimana dia tinggal, sampai di lingkungan dia sekolah/bekerja, yang terkadang berbeda daerah/provinsi, bahkan bisa juga berbeda negara.

Lalu, darimana manusia bisa belajar agar bisa beradaptasi dan bergaul dalam masyarakat (lingkungan sosialnya) dengan baik?

Pertama dan yang paling utama adalah dalam keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil lingkungan kehidupan sosial manusia, merupakan salah satu penentu yang ikut membentuk sikap dan perbuatan sang pribadi manusia tersebut. Orangtua memegang peran utama bagi pendidikan manusia disini, misalnya dalam pendidikan etika, sikap dan gaya hidup, disiplin dan masih banyak lagi yang lain.

Selanjutnya di sekolah, dimana sekolah mempunyai andil yang tidak bisa dikesampingkan dalam membentuk dan mengembangkan intelektualitas sang manusia. 

Intelektualitas bukan hal yang utama, namun bisa mempengaruhi cara berpikir manusia kelak jika dia sudah lulus dari sekolah dan melakukan berbagai aktivitas kehidupan dalam masyarakat, entah sebagai karyawan, wiraswasta, pegawai pemerintahan, bahkan sampai akhirnya menjadi pejabat atau petinggi di tempatnya bekerja.

Kemudian juga para pemuka agama, mempunyai peran yang penting untuk mendidik dan membentuk mental manusia yang baik terutama dalam bidang spiritual. Terlebih, dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia, pemuka agama ditempatkan dalam posisi yang mulia (tinggi), yang kata-katanya kebanyakan pasti tidak akan dibantah.

Pendidikan yang baik dan berguna bagi si pribadi manusia dalam lingkungan tempat hidupnya (dalam level keluarga, sekolah dan dalam level spiritual) seperti yang saya sebutkan diatas merupakan hal prinsipiil yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab, jika salah mendidik, meskipun hanya dalam salah satu dari 3 level itu, maka akibatnya bisa fatal nanti. 

Tentu tidak perlu penjelasan lagi bahwa pendidikan disini tujuannya bukan agar manusia menjadi "tampak" baik dan bagus dari luar (bungkusnya) saja. Namun pendidikan dalam 3 level itu harus bisa menjadikan manusia berperilaku sesuai dengan kodratnya yang hakiki, yaitu berakal-budi.

Bagaimana rujukannya agar manusia bisa dididik dengan baik? 

Kita tidak perlu jauh-jauh belajar dari luar Indonesia, misalnya dalam hal disiplin/kebersihan dengan rujukan Jepang/Korea, dimana kedua negara itu banyak disebut karena kegiatan bersih-bersih di stadion yang sempat viral belakangan ini. 

Indonesia sebagai masyarakat yang hidup agraris sekaligus juga maritim sudah mempunyai kearifan lokal, jauh sebelum kebudayaan luar (asing) masuk ke Indonesia. 

Kearifan lokal yang telah turun temurun diteruskan melalui beberapa generasi itu bisa menjadi salah satu rujukan. Kearifan lokal ini diantaranya adalah bagaimana hidup berumah tangga dengan baik, etika sopan santun dalam pergaulan (bermasyarakat), etika dalam pemerintahan, dan sebagainya, yang tentunya juga masih relevan untuk bisa digunakan/diaplikasikan saat ini, baik dalam kehidupan kita yang nyata sehari-hari bermasyarakat, maupun dalam dunia maya/internet.

Penekanan saya pada perlunya pendidikan seperti yang telah saya sebutkan diatas, karena saat ini kita tidak bisa menutup mata, bahwa di Indonesia memang banyak sekali kegaduhan-kegaduhan yang terjadi. Bahkan tidak berlebihan jika saya mengatakan ada banyak "kegilaan" terjadi di masyarakat. Pendidikan yang baik pada 3 level yang telah saya sebutkan diharapkan mampu untuk meredam "kegilaan" itu.

Apakah orang-orang yang melakukan "kegilaan" dengan cara, misalnya melakukan kegiatan yang tidak berguna diluar akal sehat itu, secara berulang-ulang, kemudian mereka akan menggantung diri (atau mungkin loncat dari monas) seperti yang ditulis oleh Dostoevsky di paragraf awal tulisan saya?

Entahlah, saya tidak tahu jawabannya.

Bisa jadi, mereka hanya berpura-pura berperilaku seperti tidak memiliki akal sehat. Mungkin saja, menciptakan kegaduhanlah yang menjadi tujuan utama mereka. Sebagai manusia yang sudah (dianggap) dewasa, menciptakan kegaduhan tentunya bukan pilihan yang bijak. Kecuali orang itu memang "bungkusnya" saja yang dewasa, namun di dalamnya (misalnya pikirannya) masih "kanak-kanak".

Dulu, ada ungkapan bahwa yang waras (yang masih mempunyai akal sehat) mengalah. Akan tetapi, saya pikir ini tidak bisa dilakukan lagi sekarang. Yang waras harus terus mewartakan kewarasannya, dan tidak boleh lelah (apalagi ikutan "gila") untuk terus menerus mengajak dan mengingatkan yang tidak waras untuk jadi waras, walaupun mungkin sulit seperti mencari jarum yang jatuh di kali item, eh, jatuh di tumpukan jerami. 

Saya ingin menutup tulisan dengan sebuah cuplikan dari Serenity Prayer yang ditulis oleh Reinhold Niebuhr, yang mungkin bisa menjadi acuan untuk mengatasi "kegilaan" zaman now.

"Tuhan, berikanlah kepada kami rahmat untuk menerima dengan tenang hal-hal yang tidak bisa diubah, Keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa dirubah, dan kebijaksanaan untuk bisa membedakan yang satu dari yang lainnya."

Selamat berakhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun