Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dostoevsky dan "Kegilaan" Masyarakat Zaman Sekarang

1 September 2018   07:00 Diperbarui: 1 September 2018   10:35 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu tidak perlu penjelasan lagi bahwa pendidikan disini tujuannya bukan agar manusia menjadi "tampak" baik dan bagus dari luar (bungkusnya) saja. Namun pendidikan dalam 3 level itu harus bisa menjadikan manusia berperilaku sesuai dengan kodratnya yang hakiki, yaitu berakal-budi.

Bagaimana rujukannya agar manusia bisa dididik dengan baik? 

Kita tidak perlu jauh-jauh belajar dari luar Indonesia, misalnya dalam hal disiplin/kebersihan dengan rujukan Jepang/Korea, dimana kedua negara itu banyak disebut karena kegiatan bersih-bersih di stadion yang sempat viral belakangan ini. 

Indonesia sebagai masyarakat yang hidup agraris sekaligus juga maritim sudah mempunyai kearifan lokal, jauh sebelum kebudayaan luar (asing) masuk ke Indonesia. 

Kearifan lokal yang telah turun temurun diteruskan melalui beberapa generasi itu bisa menjadi salah satu rujukan. Kearifan lokal ini diantaranya adalah bagaimana hidup berumah tangga dengan baik, etika sopan santun dalam pergaulan (bermasyarakat), etika dalam pemerintahan, dan sebagainya, yang tentunya juga masih relevan untuk bisa digunakan/diaplikasikan saat ini, baik dalam kehidupan kita yang nyata sehari-hari bermasyarakat, maupun dalam dunia maya/internet.

Penekanan saya pada perlunya pendidikan seperti yang telah saya sebutkan diatas, karena saat ini kita tidak bisa menutup mata, bahwa di Indonesia memang banyak sekali kegaduhan-kegaduhan yang terjadi. Bahkan tidak berlebihan jika saya mengatakan ada banyak "kegilaan" terjadi di masyarakat. Pendidikan yang baik pada 3 level yang telah saya sebutkan diharapkan mampu untuk meredam "kegilaan" itu.

Apakah orang-orang yang melakukan "kegilaan" dengan cara, misalnya melakukan kegiatan yang tidak berguna diluar akal sehat itu, secara berulang-ulang, kemudian mereka akan menggantung diri (atau mungkin loncat dari monas) seperti yang ditulis oleh Dostoevsky di paragraf awal tulisan saya?

Entahlah, saya tidak tahu jawabannya.

Bisa jadi, mereka hanya berpura-pura berperilaku seperti tidak memiliki akal sehat. Mungkin saja, menciptakan kegaduhanlah yang menjadi tujuan utama mereka. Sebagai manusia yang sudah (dianggap) dewasa, menciptakan kegaduhan tentunya bukan pilihan yang bijak. Kecuali orang itu memang "bungkusnya" saja yang dewasa, namun di dalamnya (misalnya pikirannya) masih "kanak-kanak".

Dulu, ada ungkapan bahwa yang waras (yang masih mempunyai akal sehat) mengalah. Akan tetapi, saya pikir ini tidak bisa dilakukan lagi sekarang. Yang waras harus terus mewartakan kewarasannya, dan tidak boleh lelah (apalagi ikutan "gila") untuk terus menerus mengajak dan mengingatkan yang tidak waras untuk jadi waras, walaupun mungkin sulit seperti mencari jarum yang jatuh di kali item, eh, jatuh di tumpukan jerami. 

Saya ingin menutup tulisan dengan sebuah cuplikan dari Serenity Prayer yang ditulis oleh Reinhold Niebuhr, yang mungkin bisa menjadi acuan untuk mengatasi "kegilaan" zaman now.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun