Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Napak Tilas Basho ke Yamadera, Perjalanan ke "Jagat Raya"

26 Mei 2018   08:35 Diperbarui: 26 Mei 2018   19:11 2331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konponchuudou (Dokumentasi Pribadi)

Di Jepang, musim panas memang musim yang mengasyikkan karena kita bisa menikmati festival musim panas yang banyak diadakan di seantero Jepang. Tentu saya juga suka dan menikmati musim panas. Hanya saja, saya tidak begitu suka hawa panasnya karena kelembapan yang tinggi, sehingga keringat akan selalu mengucur deras serasa mandi uap walaupun kita berjalan di bawah teduhnya pepohonan.

Pada musim panas beberapa tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan keliling daerah Tohoku, Jepang utara. Ada beberapa hal yang mendorong saya untuk melakukan perjalanan kesana.

Pertama, karena saya suka fotografi, memang saya sering berkeliling untuk sekedar mencari spot yang menarik untuk difoto. Tohoku sudah saya kenal sejak lama dari foto-foto yang bertebaran di internet, maupun yang saya lihat di majalah fotografi. Dari suasana yang terlihat dan rasakan dari foto-foto tersebut membuat saya kepingin mengunjunginya.

Kedua, dan yang membuat saya kemudian mempunyai keinginan yang amat sangat menggebu untuk pergi ke sana adalah, karena saya melihat foto-foto yang diambil oleh Michael Yamashita --seorang fotografer Amerika keturunan Jepang-- berkeliling di daerah Tohoku.

Dia kemudian merilis foto yang diambil di perjalanannya dalam seri foto Basho's Trail. Saya langsung berkeinginan untuk "meniru"-nya, melakukan napak tilas perjalanan yang pernah dilakukan oleh Basho.

Basho, kependekan dari Matsuo Basho, merupakan penyair Haiku (Haikai) yang terkenal di era Edo awal. Basho bukan nama sebenarnya, melainkan nama yang dipakai dalam karya Haiku-nya. Nama aslinya adalah Munefusa (lengkapnya Matsuo Munefusa). Dia melakukan perjalanan di mana salah satu tempat yang disinggahi adalah daerah Tohoku, yang kemudian membukukan catatan perjalanannya dalam buku yang diberi judul Oku no Hosomichi. 

Di buku itu juga dia menuliskan banyak Haiku, yang kemudian menjadi dikenal dan populer di masyarakat sampai saat ini. Saya pernah mengambil satu semester mengikuti perkuliahan yang membahas karya Haiku dalam buku Oku no Hosomichi tersebut, walaupun sastra bukan bidang saya.

Salah satu bagian tangga menuju puncak (Dokumentasi Pribadi)
Salah satu bagian tangga menuju puncak (Dokumentasi Pribadi)
Karya Haiku dalam buku tersebut memang unik karena topik utamanya adalah tentang alam dan keindahannya, yang berlawanan 180 derajat dengan Haiku mainstream di masa itu yang kebanyakan mengusung tema gemerlap kemewahan. Deretan kata dalam karya Haiku dari Basho memang terlihat sederhana, namun mempunyai makna yang dalam.

Saya kemudian berpikir, dengan membacanya saja sudah bisa merasakan "keindahan" dan "makna" mendalam yang tersirat pada Haiku-nya. Apalagi kalau bisa mengunjungi langsung tempat-tempat dimana Basho menemukan inspirasi untuk menulis itu. Tentunya, "sensasi"-nya bisa bertambah. Dan ini merupakan alasan ketiga saya untuk mengunjungi Tohoku.

Di sini saya ingin bercerita tentang Yamadera, salah satu tempat di Tohoku yang pernah disinggahi Basho dan juga salah satu tempat dimana Basho mendapat inspirasi dan melahirkan satu Haiku yang terkenal yang berbunyi "shizukasaya iwanisimiiru seminokoe."

Yamadera kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah Kuil Gunung. Nama asli dari Yamadera adalah "Houjusan Rissyakuji." Tempat ini dibangun oleh Biksu yang bernama En-Nin atas perintah dari Kaisar Seiwa. Seluruh gunung adalah bagian dari kuil, dimana ada sekitar 30 kuil kecil yang terpisah satu sama lain di area sekitar 109 hektar. Ada sekitar 1000 lebih tangga batu dari pintu masuk (san-mon) sampai bagian kuil yang berada di puncak gunung yang disebut Oku-no-in. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk bisa mencapai puncak gunung.

Letak Yamadera di prefektur Yamagata, yang berjarak kurang lebih 380 Km di utara Tokyo. Walaupun saat saya ke sana waktu musim panas, namun berbeda dengan Tokyo, di Yamagata tidak terasa panas dengan kelembapan tinggi. Mungkin karena saya berada di Yamadera yang memang merupakan sebuah gunung dengan banyak pepohonan yang tumbuh disitu sehingga banyak menghasilkan negative ion yang agak menyejukkan.

Tidak susah untuk mengunjungi Yamadera, karena untuk aksesnya kita bisa menggunakan kereta api. Stasiun terdekatnya bernama Yamadera juga, dan dari sini kita bisa berjalan kaki melewati sungai dan menikmati pemandangan alam, karena memang Yamadera letaknya jauh dari keramaian pusat kota. Kita bisa menemukan beberapa toko, dan juga warung yang menjual makanan sepanjang perjalanan dari stasiun. 

Sehingga kalau yang suka kuliner, bisa sambil mencicipi makanan khas daerah Yamagata seperti tama-konyaku (makanan dari tepung atau sari ubi yang kenyal) atau imoni (ubi yang direbus dengan daging dan sayuran).

Konponchuudou (Dokumentasi Pribadi)
Konponchuudou (Dokumentasi Pribadi)
Perjalanan di Yamadera dimulai dari pintu masuk gunung yang disebut touzanguchi. Di sini ada bangunan yang bernama Konponchuudo. Bangunannya mempunyai struktur atap yang disebut Irimoya-dzukuri, yang kerap kita jumpai pada bangunan kuil-kuil di Jepang. Yang membuat bangunan ini istimewa adalah, Konponchuudo di Yamadera merupakan bangunan tertua di Jepang yang dibuat dengan bahan kayu Buna (Fagus crenata). Karena itu bangunan ini ditetapkan sebagai salah satu dari National Treasure.

Di dalamnya, kita juga bisa melihat patung Yakushi Nyourai Zazou (Buddha duduk) yang dibuat oleh pendiri kuil dan Houto yang merupakan lentera yang (dibuat dan dijaga agar) tidak pernah padam sejak ratusan tahun yang lalu.

Kemudian berjalan beberapa meter dari Konponchuudo, ada toko kecil dan di situ tersedia beberapa bangku untuk tempat beristirahat. Karena banyak pohon yang besar, maka pengunjung tidak perlu takut kepanasan dan bisa makan camilan sambil beristirahat sebentar untuk mengisi tenaga sebelum naik ke puncak gunung. Saya juga beristirahat sebentar disini sambil membeli air mineral, untuk berjaga-jaga kalau nanti merasa haus dalam pendakian. 

Di dekatnya kita bisa menemukan patung Matsuo Basho dan prasasti batu dengan pahatan Haiku seperti yang saya tulis pada paragraf di atas.

Pemandangan ke bawah dengan Noukyoudou di kanan atas (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan ke bawah dengan Noukyoudou di kanan atas (Dokumentasi Pribadi)
Pendakian yang sebenarnya bermula dari gerbang Yamadera yang disebut san-mon. Di sini kita membayar biaya masuk sebesar 300 yen untuk naik ke atas gunung. Setelah melalui san-mon, tangga yang memanjang ke atas sudah menanti. Yamadera merupakan gunung cadas, dan dalam pendakian kita bisa menemukan banyak batu yang besar di sisi kiri dan kanan jalan yang kita lalui. 

Sebenarnya tidak semua jalan pendakian ke atas melalui tangga buatan, karena di beberapa tempat kita juga menemukan batu-batu yang memang sudah ada secara alami dan bisa kita gunakan untuk pijakan jalan. Karena ada lebih dari 30 buah kuil kecil yang terpisah, maka di beberapa tempat kita juga bisa berjalan menyamping menyusuri gunung untuk melihat beberapa dari kuil itu.

Kuil kecil di dalam lubang (Dokumentasi Pribadi)
Kuil kecil di dalam lubang (Dokumentasi Pribadi)
Tentu tidak semua kuil bisa kita kunjungi sekarang, karena ada beberapa yang lokasinya amat sangat sulit dicapai oleh orang "biasa." Beberapa dari kuil kecil ini ada dalam galian lubang di badan gunung, bahkan ada juga beberapa yang bertengger di tempat curam. Hal ini adalah biasa, karena memang Yamadera dahulunya digunakan sebagai tempat untuk penggemblengan orang-orang yang ingin menjadi obousan (biksu).

Sehingga mereka harus berjuang supaya lolos ujian dengan berjalan ke kuil-kuil yang letaknya amat susah dijangkau itu. Saat ini beberapa dari kuil ditutup untuk kunjungan, karena lokasinya berbahaya, terlebih beberapa juga sudah menelan korban karena jatuh di masa lalu.

Kira-kira di pertengahan jalan, kita bisa menemukan batu besar yang tingginya 4.6 meter yang disebut Midabora, yang bentuknya dikatakan mirip Amidanyourai (Buddha). Di sini banyak diukir nama orang yang telah meninggal, karena menurut kepercayaan setempat, arwah orang yang sudah meninggal akan kembali ke Yamadera.

Godaidou (Dokumentasi Pribadi)
Godaidou (Dokumentasi Pribadi)
Sebelum mencapai puncak gunung, ada tempat favorit yang saya suka di Yamadera yaitu bangunan yang bernama Godaidou. Dari sini kita bisa melihat pemandangan panorama keadaan sekeliling Yamadera.

Rasa penat karena naik ratusan tangga hilang dengan sekejap karena terbayar dengan pemandangan indah yang bisa kita saksikan. Bangunan Godaidou ini semua terbuat dari kayu (termasuk juga semua bangunan lainnya), dan letaknya menjorok ke depan. Walaupun dari kayu, hebatnya bangunan ini masih berdiri kokoh semenjak ratusan tahun yang lalu.

Di sebelahnya ada Kaisandou, yang di dalamnya ada patung kayu dari En-nin, Biksu yang membuka Yamadera. Di depan patungnya ditaruh dupa setiap pagi dan sore, dan masih dilakukan sampai sekarang.

Di halaman Kaisando ada Noukyoudou, yang merupakan bangunan tertua di Yamadera, yang digunakan untuk tempat menyimpan O-kyou (sutra). Warna merah Noukyoudou yang mencolok menjadikannya sebagai salah satu objek fotografi yang tidak bisa dilewatkan.

Akhirnya, pendakian berakhir di puncak gunung ketika kita sampai di bangunan yang bernama Oku-no-in. Kebetulan cuaca cerah ketika saya berkunjung ke sana. Suara serangga terdengar nyaring bersahutan karena memang di Jepang, serangga banyak yang mengeluarkan bunyi ketika musim panas.

Saya merenungkan kembali makna dari Haiku Basho di puncak gunung ini. Terjemahan bebas dari Haiku-nya adalah "di dalam keheningan, suara serangga masuk ke dalam batu". Kenapa Basho mengatakan hening, padahal Basho kesini saat musim panas juga. Jadi dia pasti sama keadaannya seperti saya saat itu, mendengar banyak suara serangga (bahkan waktu itu mungkin lebih berisik).

Oku-no-in (Dokumentasi Pribadi)
Oku-no-in (Dokumentasi Pribadi)
Kemudian saya melihat langit yang terasa begitu dekat di atas karena memang saya berada di puncak tertinggi gunung. Cuaca cerah ketika saya berkunjung dan langit yang biru membentang di atas kepala menambah rasa kedekatan itu.

Lalu saya berpikir, mungkin saat Basho sampai di puncak gunung seperti saya sekarang ini, dia (merasa) "terbang" dan kemudian merasakan keheningan yang mendalam dari "atas sana", walaupun "di bawah" banyak serangga yang berbunyi. Pastinya skala ukuran yang dia pakai ketika merasakan "keheningan" itu bukan lah dunia, melainkan sudah melampaui itu, bahkan sampai ke jagat raya.

Kita memang sering menjadi seperti serangga yang berbunyi riuh rendah dalam hidup sehari-hari di dunia. 

Namun mungkin ada saatnya kita harus menarik diri dari keriuh rendahan ini, untuk merasakan kesunyian, yang dimensinya jauh dan melampaui keriuh rendahan itu sendiri. Dan melalukan hal-hal yang tidak melulu duniawi, dengan cara yang bisa dipilih oleh masing-masing orang menurut kemampuannya.

Selamat berakhir pekan.

Pemandangan panorama dari Godaidou (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan panorama dari Godaidou (Dokumentasi Pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun