Mohon tunggu...
Tulus Abadi
Tulus Abadi Mohon Tunggu... Lainnya - Ketua Pengurus Harian YLKI

Lahir dan besar di Purworejo, Jateng. Alumni SMA Muhammadiyah Kutoarjo, dan alumni Falultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Jateng. Aktivis perlindungan konsumen sejak 1996, kini sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan Pemerhati Kebijakan Publik. Email: tulus.ylki@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

BBM Ramah Lingkungan dan Langit Biru

17 September 2020   13:00 Diperbarui: 17 September 2020   13:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi kebutuhan yang ada, baik pada skala nasional, regional dan bahkan internasional, BBM dengan standar Euro 4 (RON 95)  juga merupakan keniscayaan. Sebab di wilayah ASEAN seperti Malaysia, dan Vietnam, sudah menggunakan BBM Euro 4 tersebut.  Dalam hal ini, menjadikan penggunaan BBM di Indonesia akan makin tertinggal, karena masih dominan menggunakan BBM jenis premium, pertalite, dan solar. Padahal, untuk disebut sebagai BBM ramah lingkungan dan berstandar Euro 2, cukup dengan BBM RON 91 saja, dan atau CN 51 untuk jenis diesel. Oleh karena itu, guna mewujudkan program langit biru, maka menggunakan jenis BBM yang berstandar Euro menjadi keharusan. Keberadaan BBM jenis seperti premium seharusnya sudah dikandangkan sejak 2003, sejak pemerintah mengeluarkan Kepmen LH No. 141/2003 tersebut.

Saat ini hanya di beberapa negara saja yang masih menggunakan BBM jenis premium, selain Indonesia, ada juga Bangladesh, Kolombia, Madagaskar, dan Kroasia. Komite anti mafia migas (2015) yang waktu itu dikomandani ekonom Faisal Basri, sudah merekomendasikan agar bensin premium dihilangkan. Waktu itu managemen PT Pertamina menyanggupi, dan minta diberikan toleransi waktu 2 (dua) tahun, yaitu 2017.  Kembali kepada komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi produksi emisi gas karbon hingga 29-40 persen pada 2050, menjadi sulit terwujud. Bahkan bisa menjadi mimpi di siang bolong. Apalagi di sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan pembangkit batu bara, PLTU.

Kesimpulannya, guna mewujudkan program langit biru dan juga mereduksi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris (2015), maka mau tidak mau target untuk mewujudkan jenis BBM yang berstandar Euro, minimal Euro 2, menjadi solusi yang paling ideal.

Sebaliknya jika hal tersebut tak bisa diwujudkan, maka polusi udara di Indonesia, terkhusus di kota kota besar akan makin pekat. Bahkan, Kota Jakarta menurut standar Air Quality Indeks, sudah menjadi kota yang tidak sehat (unhealthy), karena indeks kualitas udaranya mencapai skor 175 untuk PM 2.5.  Hal serupa akan mengena kepada kota aglomerasi lain di area  Bodetabek, dikarenakan karakter Jakarta dengan Bodetabek adalah sama, baik dari sisi sosial, ekonomi dan pergerakan lalu lintasnya. Demikian juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Medan, Makasar; bahkan Bandung, dan Semarang.

Dalam konteks melindungi warganya, mandat untuk untuk mewujudkan program langit biru dengan cara mengurangi emisi gas karbon, adalah bukan hanya mandat pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah punya tanggung jawab yang sama, yang secara regulasi bisa melakukan dan mewujudkankanya. Tingginya pencemaran dan polusi udara, bukan hanya berdampak pada biru atau hitamnya langit saja, tetapi berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut data dan analisa dari ahli kesehatan masyarakat, 60 persen prevalensi penyakit tidak menular justru dipicu oleh pencemaran udara. Dengan demikian pencemaran udara berkontribusi signifikan terhadap kesehatan masyarakat, dengan memicu tingginya prevalensi penyakit tidak menular tersebut.

Masyarakat pun harus konsisten menggunakan jenis BBM yang kompatibel dengan mesin kendaraannya. Jangan mendzolimi mesin kendaraannya jika memang mesin kendaraannya harus menggunakan tipe BBM Euro 2. Lagipula jika tujuannya menghemat anggaran, maka yang terjadi sebaliknya. BBM kualitas rendah (premium) kilo kalori yang terkandung berbeda jauh dengan pertamaks, sehingga akan menghasilkan energi yang rendah. Belum lagi jika harus merogoh kocek lebih banyak untuk biaya perawatan. Sebab BBM kualitas rendah sangat korosif terhadap mesin kendaraan, menggerogoti onderdil tertentu. Niatnya hemat, malah boncos.

Sekali lagi, mewujudkan konsumsi BBM yang ramah lingkungan sesuai standard Euro 2 dan Euro 4, adalah pilihan yang tak terelakkan. Sebaliknya, jangan mimpi program langit biru dan atau mengurangi produksi emisi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris, bisa dipenuhi jika BBM yang digunakan masih substandar, seperti premium.

Alih-alih malah kota kota di Indonesia akan semakin tercemar, semakin pekat oleh polusi udara dan prevalensi penyakit tidak menular; seperti stroke, darah tinggi, diabetes melitus, ISPA; akan semakin tinggi. Kita berharap kota kota di Indonesia konsisten mewujudkankan program langit biru, demi melindungi warganya. Bukan malah sebaliknya, meracuni warganya dengan BBM yang tidak berkualitas dan tidak ramah lingkungan (premium). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun