Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKIÂ
Selama pandemi Covid-19, terutama saat pelaksanaan lockdown atau minimal PSBB, langit cakrawala di kota kota besar dunia tampak lebih biru, dan cuaca pun terasa lebih segar. Termasuk di Jakarta, dan kota kota besar lainnya di Indonesia. Namun setelah lockdown dan PSBB dicabut, dan masyarakat kembali melakukan aktivitas New normal, langit cakrawala kembali menghitam, seperti ada selaput yang melingkupinya. Itu semua adalah dampak dari penggunaan BBM yang digunakan oleh masyarakat, terutama via kendaraan bermotor pribadinya. Semakin baik kualitas BBM yang digunakan semakin kecil dampaknya terhadap lingkungan, dan sebaliknya. Dan puncaknya masifnya penggunaan BBM (yang berkualitas rendah) adalah menghasilkan emisi gas buang (gas karbon) yang memicu perubahan iklim global, atau global climate change.Â
Fenomena perubahan iklim global (Global Climate Change), kini menjadi perhatian oleh seluruh warga dunia. Bukan hanya oleh pemerintah suatu negara saja, tetapi juga seluruh kekuatan masyarakat sipil. Semua stakeholder bahu-membahu memerangi fenomena perubahan iklim global tersebut. Sebab tanpa diperangi bersama, alam dan seisinya kian rusak bahkan hancur oleh perilaku manusia yang melahirkan dampak perubahan iklim global itu. Dan kerusakan/kehancuran alam oleh dampak perubahan iklim global ini akan mewujudkan berbagai krisis, seperti krisis lingkungan, krisis pangan, krisis energi, krisis air bersih, dan endingnya adalah krisis kemanusiaan (dehumanisasi).
Menyikapi hal ini pemerintah sejatinya tidak tinggal diam, buktinya pada 11/2015 Presiden Jokowi nglurug ke Paris, untuk menghadiri dan sekaligus menandatangani Paris Protocol, terkait kesanggupannya mereduksi emisi gas karbon. Bahkan Pak Jokowi begitu pede, dalam komitmen yang ditandatangani itu. Presiden Jokowi menyorongkan kesanggupannya untuk mengurangi emisi gas karbon antara 29-40 persen pada 2050. Komitmen Presiden Jokowi oleh banyak pihak dianggap over confidence, alias sulit dicapai apa yang dijanjikan itu.
Bahkan sebelum hiruk-pikuk soal global climate change, 24 tahun silam, sejatinya pemerintah Indonesia sudah lebih dahulu menggagas kebijakan yang spiritnya sama, yaitu via instrumen kebijakan Program Langit Biru. Program ini digawangi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, via Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 1996.
Spirit Program Langit Biru adalah upaya untuk mengantisipasi adanya krisis lingkungan, khususnya polusi udara, yang dicetuskan oleh multi sebab, baik karena benda/barang tidak bergerak, dan atau benda/barang bergerak. Benda tidak bergerak seperti aktivitas bisnis, perkantoran, industri, pembangkit listrik (khususnya PLTU), dan juga aktivitas domestik rumah tangga, termasuk membakar sampah. Adapun sumber pencetus benda/barang bergerak adalah sektor transportasi darat.
Saat ini sektor transportasi darat bahkan berkontribusi sangat dominan/signifikan yaitu lebih dari 75 persen sebagai sumber polusi udara, khususnya di kota-kota besar. Begitu dominannya sektor trsnsportasi darat berkontribusi terhadap polusi udara, dan menjadi penentu terwujudnya Program Langit Biru, maka Menteri Lingkungan Hidup mengelaborasi dalam sebuah kebijakan berupa Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup No. 141 Tahun 2003 yang intinya mengatur ambang batas emisi kendaraan bermotor, yang harus menggunakan BBM jenis Euro 2.
Dari gambaran di atas, ada beberapa catatan utama yaitu; pertama, bahwa concern pemerintah terhadap masalah pencemaran udara dan upaya penanggulangannya sudah berlangsung sejak lama. Setidaknya sudah 24 tahun lalu, sejak ditelurkannya program langit biru. Kedua, bahwa pencetus pencemaran udara sangat beragam, dari berbagai sumber. Namun jika merujuk pada data empirik yang ada, maka faktor bahan bakar minyak menjadi kontributor utama, lebih dari 75 persen. Dan sejatinya dalam hal ini pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup sudah cukup tanggap, yakni dengan dikeluarkannya Kepmen LH No. 141 tahun 2003, bahwa untuk mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor, maka jenis BBM yang digunakan harus berstandar Euro 2.
Dari sisi spesifikasi, BBM standar Euro 2 adalah beroktan 92 seperti pertamaks, dan CN 51 seperti Pertamina Dex (jenis diesel). Dan ketiga, ini yang ironis, kebijakan yang bagus dan visioner itu sepertinya mati suri, tak jelas juntrungannya, hingga kini. Untuk mempertegas poin ketiga indikatornya jelas, yaitu; upaya pemerintah untuk mewujudkan program langit biru berjalan di tempat, bahkan stop sama sekali. Antar kementerian dan lembaga tidak jelas, tidak ada koordinasi dan sinergi serius. Terutama menyangkut jenis dan kualitas BBM, terkhusus soal BBM jenis Euro 2 tersebut.
Lihatlah, kewajiban bahwa kendaraan bermotor pribadi sejatinya sejak 2003 harus menggunakan BBM berstandar Euro 2, seperti pertamaks, dan sejenisnya. Tetapi di pasaran membuktikan lain, bahwa serapan konsumsi BBM berstandar Euro 2 masih sangat sedikit. Jenis BBM yang dibuat, dipasarkan dan dikonsumsi konsumen masih jenis premium dengan oktan number (RON) 88, atau pertalite dengan RON 90. Padahal kedua jenis BBM ini jelas bukan tipe Euro 2, bahkan Euro 1 saja belum lulus.Â
Belum tuntas urusan BBM standar Euro 2, Kementerian KLHK pun sudah memandatkan bahwa jenis BBM yang digunakan mulai 2017 harus berstandar Euro 4, yakni via Kepmen KLHK No. 20 Tahun 2017.
Dari sisi kebutuhan yang ada, baik pada skala nasional, regional dan bahkan internasional, BBM dengan standar Euro 4 (RON 95) Â juga merupakan keniscayaan. Sebab di wilayah ASEAN seperti Malaysia, dan Vietnam, sudah menggunakan BBM Euro 4 tersebut. Â Dalam hal ini, menjadikan penggunaan BBM di Indonesia akan makin tertinggal, karena masih dominan menggunakan BBM jenis premium, pertalite, dan solar. Padahal, untuk disebut sebagai BBM ramah lingkungan dan berstandar Euro 2, cukup dengan BBM RON 91 saja, dan atau CN 51 untuk jenis diesel. Oleh karena itu, guna mewujudkan program langit biru, maka menggunakan jenis BBM yang berstandar Euro menjadi keharusan. Keberadaan BBM jenis seperti premium seharusnya sudah dikandangkan sejak 2003, sejak pemerintah mengeluarkan Kepmen LH No. 141/2003 tersebut.
Saat ini hanya di beberapa negara saja yang masih menggunakan BBM jenis premium, selain Indonesia, ada juga Bangladesh, Kolombia, Madagaskar, dan Kroasia. Komite anti mafia migas (2015) yang waktu itu dikomandani ekonom Faisal Basri, sudah merekomendasikan agar bensin premium dihilangkan. Waktu itu managemen PT Pertamina menyanggupi, dan minta diberikan toleransi waktu 2 (dua) tahun, yaitu 2017. Â Kembali kepada komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi produksi emisi gas karbon hingga 29-40 persen pada 2050, menjadi sulit terwujud. Bahkan bisa menjadi mimpi di siang bolong. Apalagi di sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan pembangkit batu bara, PLTU.
Kesimpulannya, guna mewujudkan program langit biru dan juga mereduksi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris (2015), maka mau tidak mau target untuk mewujudkan jenis BBM yang berstandar Euro, minimal Euro 2, menjadi solusi yang paling ideal.
Sebaliknya jika hal tersebut tak bisa diwujudkan, maka polusi udara di Indonesia, terkhusus di kota kota besar akan makin pekat. Bahkan, Kota Jakarta menurut standar Air Quality Indeks, sudah menjadi kota yang tidak sehat (unhealthy), karena indeks kualitas udaranya mencapai skor 175 untuk PM 2.5.  Hal serupa akan mengena kepada kota aglomerasi lain di area  Bodetabek, dikarenakan karakter Jakarta dengan Bodetabek adalah sama, baik dari sisi sosial, ekonomi dan pergerakan lalu lintasnya. Demikian juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Medan, Makasar; bahkan Bandung, dan Semarang.
Dalam konteks melindungi warganya, mandat untuk untuk mewujudkan program langit biru dengan cara mengurangi emisi gas karbon, adalah bukan hanya mandat pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah punya tanggung jawab yang sama, yang secara regulasi bisa melakukan dan mewujudkankanya. Tingginya pencemaran dan polusi udara, bukan hanya berdampak pada biru atau hitamnya langit saja, tetapi berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut data dan analisa dari ahli kesehatan masyarakat, 60 persen prevalensi penyakit tidak menular justru dipicu oleh pencemaran udara. Dengan demikian pencemaran udara berkontribusi signifikan terhadap kesehatan masyarakat, dengan memicu tingginya prevalensi penyakit tidak menular tersebut.
Masyarakat pun harus konsisten menggunakan jenis BBM yang kompatibel dengan mesin kendaraannya. Jangan mendzolimi mesin kendaraannya jika memang mesin kendaraannya harus menggunakan tipe BBM Euro 2. Lagipula jika tujuannya menghemat anggaran, maka yang terjadi sebaliknya. BBM kualitas rendah (premium) kilo kalori yang terkandung berbeda jauh dengan pertamaks, sehingga akan menghasilkan energi yang rendah. Belum lagi jika harus merogoh kocek lebih banyak untuk biaya perawatan. Sebab BBM kualitas rendah sangat korosif terhadap mesin kendaraan, menggerogoti onderdil tertentu. Niatnya hemat, malah boncos.
Sekali lagi, mewujudkan konsumsi BBM yang ramah lingkungan sesuai standard Euro 2 dan Euro 4, adalah pilihan yang tak terelakkan. Sebaliknya, jangan mimpi program langit biru dan atau mengurangi produksi emisi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris, bisa dipenuhi jika BBM yang digunakan masih substandar, seperti premium.
Alih-alih malah kota kota di Indonesia akan semakin tercemar, semakin pekat oleh polusi udara dan prevalensi penyakit tidak menular; seperti stroke, darah tinggi, diabetes melitus, ISPA; akan semakin tinggi. Kita berharap kota kota di Indonesia konsisten mewujudkankan program langit biru, demi melindungi warganya. Bukan malah sebaliknya, meracuni warganya dengan BBM yang tidak berkualitas dan tidak ramah lingkungan (premium). ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H