Mohon tunggu...
Tulus Abadi
Tulus Abadi Mohon Tunggu... Lainnya - Ketua Pengurus Harian YLKI

Lahir dan besar di Purworejo, Jateng. Alumni SMA Muhammadiyah Kutoarjo, dan alumni Falultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Jateng. Aktivis perlindungan konsumen sejak 1996, kini sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan Pemerhati Kebijakan Publik. Email: tulus.ylki@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Online

4 Agustus 2020   20:42 Diperbarui: 4 Agustus 2020   20:40 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau, sekelompok anak-anak SD di Kabupaten Simalungun (Sumut) harus bergelantungan memanjat pohon, juga demi mencari sinyal internet. Lagi-lagi soal bahaya tidak dihiraukan. Juga kisah pilu, bocah bernama Dimas, siswa SMPN 1 Rembang (Jawa Tengah), harus nglurug ke seolah untuk belajar secara tatap muka dengan gurunya, hanya karena Dimas tak mempunyai gawai (smartphone) untuk PJJ online itu. Berapa ribu bocah yang bernasib seperti Dimas? Tentu bejibun... 

Dan ketiga, dari sisi ketidakadilan ekonomi. Inilah poin krusial yang mengharu-biru, sebab menyangkut daya beli dan kondisi riil masyarakat, khususnya di kalangan menengah bawah (masyarakat miskin). Beban masyarakat ini melambung hanya untuk konsumsi pulsa, untuk akses kuota internetnya. 

Seorang orang tua bercerita kepada saya, anaknya yang baru masuk ke level SMP harus merogoh kocek hingga Rp 50.000 per tiga hari, untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dalam satu minggu, minim Rp 100.000 dan dalam satu bulan minimal Rp 400-500 ribu untuk biaya internetnya! Itu di rumah tangga pas-pasan lho ya, jadi, biaya sebanyak itu tentu hal yang signifikan. Belum lagi untuk biaya tagihan/pulsa listrik, yang juga tiba-tiba melambung, dengan alasan banyak WfH.

Lantas pertanyaannya, apakah kemudian PJJ layak ditiadakan dan kemudian anak-anak kembali ke sekolah untuk aktivitas belajar mengajar, sebagaimana biasanya? 

Jika merujuk pada kondisi faktual di lapangan, bahwa transmisi wabah Covid-19 masih sangat tinggi, maka meniadakan PJJ dan kemudian kembali aktivitas belajar mengajar secara normal, adalah tindakan yang berisiko tinggi. Sekalipun dengan protokol kesehatan tinggi, dan atau jumlah siswa dikurangi secara signifikan. Namun membiarkan PJJ secara online seperti sekarang, bisa jadi menjadi kebijakan muspro, alias sia-sia. Alih-alih selain tidak efektif untuk transfer of Knowledge, PJJ juga menjadi beban psikologis dan beban ekonomi masyarakat. 

Oleh karena itu, diperlukan jalan keluar yang win win solution. Misalnya, pertama, PJJ tetap diperlukan, tapi tidak harus berbasis online. Atau, jika berbasis online bisa dengan instrumen yang murah, seperti berbasis WhatsApp. Dan atau kombinasi antara PJJ dengan belajar off line, tetapi harus ada jaminan protokol kesehatan yang sangat ketat. 

Kedua, pemerintah harus menggelontorkan subsidi pulsa/subsidi internet untuk rumah tangga miskin. Hal ini bisa dilakukan dengan cara kerjasama dengan operator telekomunikasi, yang konon selama WfH, untung mereka malah naik segunung. Paradoks dengan operator sektor lainnya, yang nyaris collaps terdampak pandemi Covid-19. Bahkan banyak perusahaan yang gulung tikar, sekalipun perusahaan Multi nasional. 

Dan terakhir, masyarakat juga harus kreatif dan melakukan aktivitas berdasar skala prioritas.  Jika memang berat dengan beban internet untuk PJJ, masyarakat bisa migrasikan pengeluaran lainnya untuk konsumsi internet (asal jangan pengeluaran untuk bahan pangan yang direduksi. 

Tetapi, bagi rumah tangga perokok, misalnya ayahnya merokok sehari satu bungkus, maka dalam satu bulan bisa mencapai Rp 600 ribu untuk beli rokok. Dengan asumsi harga rokoknya Rp 20.000 per bungkus. Jumlah tersebut sangat cukup untuk memasok biaya internet anaknya melakukan PJJ. Lebih mencerdaskan dan menyehatkan sebab tidak terpapar asap rokok. 

Demikian sekelumit opini terkait implementasi PJJ. PJJ tetap diperlukan, tetapi seharusnya dengan desain dan konsep yang berbeda. Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir, dan aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas belajar mengajar, pun kembali normal. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun