Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKIÂ
Merebaknya virus Corona atau Covid-19 di Indonesia, telah melahirkan banyak kebaruan (transformasi) di berbagai bidang. Salah satuhnya adalah di bidang pendidikan dengan fenomena Pembelajaran Jarak Jauh, alias PJJ. Sejatinya secara historis PJJ bukan hal yang baru-baru amat, sebab sejak era 90-an, PJJ telah diterapkan untuk kalangan perguruan tinggi, yakni Universitas Terbuka (UT). Bedanya, PJJ model UT tersebut (kala itu) masih berbasis konvensional (buku), sedangkan PJJ era kekinian adalah berbasis online (internet).Â
Harus kita akui, PJJ berbasis online itu mencerminkan adanya spirit modernitas, dan instrumen kebijakan yang canggih. Namun dibalik spirit modernitas itu  faktualnya, sebagai sebuah kebijakan yang lahir secara ujug-ujug (karena pandemi), PJJ melahirkan sejumput persoalan pelik nan complicated.Â
Jika mengacu pada kondisi faktual kesehatan masyarakat, yakni pandemi Covid-19 yang hingga kini belum terkendali, PJJ adalah sebuah keniscayaan. Namun jika wujud PJJ itu kudu berbasis online, inilah persoalan krusialnya. Dari sisi konsep kebijakan, efektivitas PJJ berbasis online layak dipersoalkan, bahkan digugat. Minimal ada 3 (tiga) aspek untuk menyoal/menggugat PJJ berbasis online, seperti berikut ini.
Pertama, dari sisi Product Knowledge dan sumber daya manusia. Kendati pemegang telepon di Indonesia lebih dari 350 juta, lebih banyak dari jumlah penduduk; dan 142 juta manusia Indonesia sudah mampu mengakses internet, faktanya literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. Akibatnya saat PJJ berbasis online ini diterapkan, banyak pihak tergagap karenanya, khususnya di level pendidikan dasar, yakni SD, SMP bahkan hingga SMA.Â
Orang tua, peserta didik, bahkan pihak sekolah; tergagap-gagap untuk menerapkan PJJ berbasis online ini. Bahkan Kemendikbud dan Diknas di masing-masing pemerintah daerah pun, terlihat belum punya konsep yang jelas. Merujuk pada sisi Product Knowledge dan rendahnya literasi digital itu, perilaku ketergagagpan ini bisa dimengerti.Â
PJJ berbasis online meluncur bak air bah, yang tanpa dinyana dan tanpa kendali. Â Plus keluhan orang tua, khususnya ibunda anak-anak, yang waktunya tersedot untuk mendampingi anak-anaknya belajar. Jika tanpa pendampingan, potensi anak lepas tak mah belajar online sangat besar.
Kedua, dari sisi infrastruktur. PJJ berbasis online membutuhkan akses dan keandalan infrastruktur di sektor telekomunikasi. Apalagi sejalan dengan itu, WfH (Work from Home) juga masih menjadi keharusan. Kedua aktivitas ini sangat bergantung pada  akses dan keandalan internet itu.Â
Namun faktanya masih banyak daerah yang belum terakses oleh jaringan internet dengan baik. Dan lagipula hanya operator tertentu yang bisa diakses dan mau beroperasi ke seluruh penjuru Indonesia, yakni PT Telkom dan PT Telkomsel. Sedangkan operator telekomunikasi yang lain, Â hanya terfokus di perkotaan dan area-area yang dianggap menguntungkan.Â
Akibatnya, warga tak ada pilihan akses dan juga biaya pulsa untuk akses internet itu. Selain akses, keandalannya pun masih sering menjadi masalah. Seperti jaringan internet tiba-tiba down, atau bahkan mengalami diskoneksi (tiba-tiba putus).Â
Dan tak kurang mengenaskan adalah, sekalipun di Pulau Jawa, masih banyak area-area yang blank spot, alias tidak ada sinyal internet. Sehingga tidak aneh, jika warga harus bejibaku untuk menemukan jaringan dan sinyal internet di daerahnya. Contoh, seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Tidar (Magelang, Jateng) harus mengerjakan tugasnya di pinggir jalan, karena di situlah ada sinyal internetnya. Mahasiswi tersebut tak memikirkan bahaya mengintai demi tugas-tugas kuliahnya.Â